Frilla
Frilla
Well... apa kabar?

Suhu sekitar 15 derajat di sini. Aku hampir tidak bisa merasakan semangat musim panas, hahaha. Aku ada di Tromso sekarang, menemani ayah berurusan dengan mayor entah untuk apa. Kurasa membicarakan izin pembangunan atau apa. Kurasa tidak akan ada orang yang percaya beliau sempat sakit sebelumnya kalau melihat tingkahnya sekarang. Kesana kemari mengurus urusan yang ayah tinggalkan selama beliau dirawat. Liburan musim panas dan dia lebih memilih untuk mengurus perusahaannya daripada bersenang-senang dengan keluarga, meskipun memang bisa dibilang kami ke Tromso untuk liburan. Cassandra (adikku) tampak senang datang ke sini. Kurasa ia sedikit bosan dengan Beauxbatons, terlalu ketat untuknya. Aku akan senang kalau dia masuk ke Hogwarts saja, tapi tampaknya ibu ingin Cass mendapat pendidikan etika yang 'sepantasnya'. Terserah lady saja, aku tidak ingin berdebat dengannya. Selama Cass juga merasa senang.

Tromso kota yang menakjubkan. Matahari tidak pernah tenggelam di musim panas, meskipun aku sedikit menyayangkannya. Kudengar pemandangan di sini bagus sewaktu malam, ada aurora di malam hari. Katanya Tromso adalah salah satu tempat terbaik di dunia untuk menyaksikan fenomena ini. Sayangnya di musim panas, tidak ada kata malam. Mungkin lain kali kita bisa kesini bersama, aku yakin kau pasti menyukai tempat ini. Terutama jika ada aurora itu. Cantik, dan pasti romantis kan? Hahaha. Lalu, liburanmu sendiri bagaimana? Tidak main mata dengan siapapun kan? Bercanda. Mungkin seharusnya kau yang bertanya, ya... Tapi tenang saja, kalau aku bertemu dengan perempuan lain yang berusaha mengajakku berkencan, aku akan mengatakan padanya aku sudah punya pacar cantik yang menunggu di Inggris. Hahaha. Aku akan ke Diagon Alley untuk membeli perlengkapan sekitar Agustus. Kuharap kita bisa bertemu nanti.

Pasti aneh sekali, jauh-jauh ke Inggris sementara ada Durmstrang yang begitu dekat. Aku seharusnya bersekolah di sana, tapi ibu tidak mengizinkan. Dulu kupikir itu salah satu caranya untuk menghalangi keinginanku. Tapi sekarang... kupikir dia hanya khawatir. Bekas sekolah Grindewald dan segalanya. Well, aku mencoba untuk berpikir positif akhir-akhir ini. Lagipula aku tidak menyesal dia melarangku ke sana. Di Hogwarts, aku jadi bisa bertemu denganmu dan yang lain. Salazar, can you believe that I've missed you already? Kurasa aku harus menyeret ayah untuk ke Inggris secepatnya.

Oh, aku baru menerima lencana prefek pagi ini. Sedikit mengejutkan, haha. Kau tahu aku bukan termasuk dalam kategori murid teladan, entah berapa poin yang sudah kukurangi dari asrama kita--dan detensi yang kudapatkan... well, aneh juga. Meskipun waktu itu aku sudah berjanji padamu, masih sulit bagiku. Kau tahu, untuk berpikir aku layak mendapat semua ini. Prefek, benar-benar kekuasaan yang cukup besar. Aku tidak yakin bisa menjalankan tugas ini dengan baik. Kau menerima lencana juga? Maksudku, mengingat kurasa kau murid terbaik di angkatan kita dan segalanya. Kurasa aku tidak perlu bertanya, kau pasti dipilih. Bukan kejutan, hahaha...

Jadi, kita bertemu di Diagon Alley nanti? Can't hardly wait. Mohon bantuannya, prefek Solathel!

Love,
Nate.



PS.
Kalau Fenrir (burung hantu elang ini) macam-macam dan mulai menyebalkan, masukan saja owl treat ke paruhnya. Semoga dia bisa diam. Aku benar-benar berpikir harus mencari burung hantu yang bisu. Atau men'silencio'nya permanen juga terdengar seperti solusi yang menarik.
Frilla
It started with once upon a time.

Nathan, in Hebrew it means gift of God. Berapa kalipun diulang rasanya masih sulit sekali untuk mempercayainya. Dia, yang sejak dulu selalu merasa dipandang sebelah mata, tapi ternyata semua itu hanyalah khayalan yang diciptakan oleh hatinya yang tidak mau memaafkan. Dia mencoba untuk percaya, menancapkan dalam-dalam pengetahuan yang baginya adalah suatu hal yang sama sekali baru... dan membuatnya lega. Bukan, terlalu mengecilkan jika ia berkata hanya merasa lega. Seperti menemukan oasis setelah tersesat di gurun berhari-hari. Klise. Melebih-lebihkan. Hiperbola. Mungkin. Tidak akan ada yang mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang Nate. Tapi yang jelas ia merasa bersyukur, karena Tuhan memang ada.

I will believe
so the two of us can be together in love


Dia akan berusaha mempercayai, bahwa hidupnya tidak perlu dihabiskan untuk sesuatu yang tidak ia sukai. Tidak perlu lagi ada kata-kata haus akan perhatian dan ingin sepasang kristal terang miliki sang ibu menatapnya. Bebas menentukan, tanpa ada batasan bernama 'pantas' dan 'tidak pantas'. Penentunya adalah diri sendiri. Karena dengan mempercayai itu, kini dia bisa menemukan kembali sang putri. Jadi katakan selamat datang pada Nathan Kehl Harvarth yang baru.

Anak laki-laki itu tersenyum kecil. Semuanya akan baik-baik saja sekarang. Ia menutup matanya, merasakan vibrasi dari tiap kata yang terlontar dari gadis di depannya. Suara sopran yang mengalun lembut, sentuhan di bahunya, dan aroma lili yang menyusup tanpa diundang. Membuat saraf-sarafnya menegang sesaat karena invasi yang lama tak terjadi. Sulit dipercaya. Amat sangat sulit. Seakan segala kegalauannya selama bertahun-tahun ini tidak pernah terjadi, tidak pernah ada dari awal. Lima belas menit yang penuh dengan antisipasi sebenarnya hanya sebuah imajinasi dari dunia berbeda. Waktu tidak pernah berjalan sejak 16 Maret 1979. Ia tidak ingin membuka matanya. Ia tidak ingin membuka matanya dan menyadari bahwa ternyata semuanya hanya mimpi. Yang mana kenyataan dan yang mana mimpi, sulit dibedakan sekarang. Tempatnya sekarang berada terasa nyata, tapi terlalu indah untuk sebuah kenyataan.

Tapi selama ia bersama Michelle, ia tidak peduli di alam mana ia berada. Mimpi atau kenyataan, persetan. Jika ini mimpi biarkan dia tidur selamanya, jika ini kenyataan... Jika ini kenyataan. Yah, sentuhan di bahunya terasa nyata. Untaian kata yang terdengar juga terasa nyata, meskipun dalam bayangannya ia mengira akan ada makian atau paling tidak penolakan. Kata yang menusuk dan membuatnya harus berlutut meminta maaf. Bukti bahwa ini bukan hanya sekedar imajinasinya saja.

Ia akan menjanjikan apapun untuk Michelle.

I’ll hold your hand forever, don’t let go
let’s make a promise, the two of us


"I swear," bisiknya menanggapi kalimat terakhir gadis berdarah campuran di depannya. Kelopak matanya membuka, memperlihatkan kilauan kristal cokelat yang dipenuhi emosi yang tak terdefinisikan. Nate menghela nafas, bersyukur ketakutannya untuk membuka mata tidak terbukti. Hangat. Aroma lili dan anemone berpadu menjadi satu. Lili, keeps unwanted visitors away. Anemone, unfading love. Mengerti pesannya? Kalian tidak diinginkan dalam kisah mereka berdua, pergi jauh-jauh selagi kalian bisa. Terima kasih, selamat tinggal. Pemuda itu nyengir melihat tingkah gadis yang bersandar padanya itu. Betapa dia merindukan saat-saat yang seperti ini. Kasih ini masih ada. Dan akan selalu ada.

Tidak peduli kau menginginkannya atau tidak, Tuan Putri. Karena sekarang Nate sudah memutuskan, apapun yang terjadi, apapun, ia tidak akan lari. Dan meskipun itu berarti ia harus menyakiti dirinya sendiri, pergi ke neraka sekalipun ia tidak peduli. Lagipula dia memang setan dari awal. Apapun, bagaimanapun. Ia tidak akan melepas Michelle lagi sekarang.

“A game. The most important match in my life.”
Nathan Kehl Harvart has caught the snitch.


Tiga tahun. Entah perlu diulang sampai berapa kali satuan waktu itu hingga Nate benar-benar terbiasa dengan fakta yang terbentang di hadapannya ini. Banyak keajaiban tahun ini. Mulai dari kejadian pribadi hingga yang menyangkut nasib seluruh dunia. Anehnya, semua keajaiban itu terjadi setelah Pangeran Kegelapan jatuh. Pertanda bahwa memang penyihir itu membawa malapetaka bagi semua orang bahkan yang tidak memiliki urusan dengannya? Mungkin. Tapi persetan dengan pangeran kegelapan dan nasib seluruh dunia. Ia bisa tidak peduli dengan semua itu. Saat ia di sini, bersama Michelle. Di bawah kerlip bintang. Konstelasi di malam musim semi. Vela, Crater, Virgo, Leo, Cancer. Coma Berenices. Sedikit dari konstelasi yang namanya diambil dari tokoh sejarah. Berenices, istri dari Ptolemy III Euergetes yang mengorbankan rambut kebanggaannya pada Dewi Aphrodite untuk keselamatan suaminya.

Bahkan langit juga mengalunkan nada-nada lembut mengenai kisah cinta. Malam yang sungguh tepat untuk menjalin rangkaian kasih. Crater, Corvus, Hydra. Langit memberikan nasehat mengenai kejujuran. Nate mengerti. Kebohongan hanya akan menjadi penyakit untuk semua orang.

So in order to light your light fill me
I hug you tightly


Nate belum mengatakan apa-apa lagi. Hanya degup jantung dan suara nafas lembut terdengar di sela-sela keheningan malam. Rasanya sayang jika dia harus memperdengarkan melodi lain yang bisa mengusik alunan orkestra malam. Tapi demi mereka berdua, apa salahnya merusak sedikit melodi yang bahkan tidak didengar orang lain selain mereka? Dengan pikiran itu Nate mengangkat tangannya dan merengkuh sang putri. Dekapan lembut yang membuat berpikir berulang-ulang alasan hingga ia bisa melakukan hal-hal bodoh yang membuatnya kehilangan Michelle dulu. Kapan terakhir kali ia menyentuh gadis itu? Fairest princess, never before he imagined they'd ended like this.

"So, this means we're okay now, right?"

Smile.

"Together, once again."

And they live happily ever after.
The end.
Frilla
Michelle kecil memiliki rambut pirang kecoklatan sebahu dengan ikal-kal besar menjuntai di sekeliling wajah, sorot tajam dan waspada nyaris selalu tersirat dari sepasang manik yang minim pendar keceriaan. Tingginya sekitar satu kepala lebih tinggi daripada anak-anak perempuan sebaya di pre-school, dan ia tidak pernah menemukan cara yang benar untuk meminjam boneka beruang milik anak lain tanpa membuat mereka menangis meraung-raung.

Since the day that we met
I ain't never had anyone make me feel this way
And my heart is sure it wants to be with you


Lalu omma akan tergopoh-gopoh datang untuk meminta maaf pada orangtua si korban sambil beberapa kali membungkukkan badan dan bertutur dengan logat Asia yang kental. Celemek dengan noda saus tomat masih tersampir di pinggang, dan dari tubuhnya menguar aroma today's menu cafe di sisi perempatan pusat kota. Surai hitam sang ibu kala itu masih panjang, rapi terikat menjadi satu kuncir di belakang punggung. Sementara poni tebal yang menutupi kening nampak sedikit lepek dan berantakan, mungkin karena peluh dan terpaan angin saat terburu-buru melintasi jalan menuju sekolah setelah menerima telepon dari kepala sekolah. Michelle sudah lupa namanya.

Dengan bibir mengerucut dan hidung mengernyit seakan merasa integritas lembaga pendidikan yang dibinanya akan tercemar apabila publik menyaksikan seorang pelayan berkulit kuning dan anak perempuannya yang tidak tahu adat berada di pekarangan sekolah lebih lama lagi, ia akan mengomel dalam Bahasa Perancis dengan cepat—entah apakah sindiran terhadap orang asing terkandung di dalamnya, karena jelas si gadis kecil dan ibunya tidak dapat menangkap keseluruhan maksud ucapan dari nenek tua itu—dan menyuruh Mrs. Kim untuk membawa putrinya pulang dengan catatan, anak itu wajib menerima wejangan sopan santun tentang cara bergaul ala seorang gadis Eropa.

Wanna give you the whole world
If you make that promise to me, You're gonna stay
Without you here with me, I'm lost and so confused


Tahun-tahun berlalu, namun fille berdarah campuran dua benua itu tidak pernah berubah. Ia masih keras kepala dan cuek, juga tak segan memukuli murid-murid lain di sekolah yang memandangnya setengah mata—hanya karena tidak banyak brunette jangkung bermata sipit tinggal di Avallon. Ketika kekuatan sihir mulai menampakkan diri, ia berhasil membuat seorang anak laki-laki pingsan saat bermain bola tangkap. Semua orang berpikir tidak mungkin sebuah bola karet mampu membuat seseorang sampai terkapar dengan benjol sebesar telur ayam di dahi, maka tersiarlah cerita bagaimana seorang gadis temperamental berhasil membalas dendam pada teman sekelasnya yang sering mengolok dengan menghantam kepala anak itu dengan pemukul bisbol saat semua sedang tidak memperhatikan.

Tapi sebagaimanapun buruk pandangan orang lain, ibunya tidak pernah mengeluh. Ia mempercayai dan menyayangi putri kecil yang dia lahirkan sepenuh hati, menerima pandangan negatif dari mereka tanpa mengeluhkan apapun. Sementara bermil-mil jauhnya dari tempat itu, sang ayah duduk berpangku tangan sembari menganggap si anak perempuan tidak cukup berharga untuk dijaga baik-baik karena warisan klan hanya akan diturunkan pada kaum lelaki. Dan Michelle tidak pernah membayangkan bagaimana wujud rupanya kini jika sepanjang masa-masa sulit itu, satu-satunya orang yang mendampingi bukanlah Kim Eun-soo. Atau sikap yang ditunjukkan omma kala itu tak ubahnya seperti kisah yang baru saja mengalun. Mungkin ia sudah dibuang ke panti asuhan antah-berantah atau bunuh diri.

Dan ia tidak percaya selama ini berani mengaku-ngaku sebagai seorang korban tanpa mengetahui kenyataan sebenarnya bahwa sang pangeran mengalami gejolak semacam itu berkecamuk dalam hati sepanjang waktu. Tatkala yang ada dalam pikirannya hanya konfrontasi atas adegan pemuda itu mencium gadis lain, Nate setengah mati menahan diri sebab merasa ia tak cukup pantas bersanding dengannya. Ia sendiri tak yakin jika berada di posisi pemuda itu, ia mampu melakukan hal serupa.

Now who's the little selfish princess, eh...?

I'm gonna be the love that's gonna last
And be the one that got your back
Ain't nothing ever that bad that we won't be together?


Hening. Meski tidak yakin apakah waktu berjalan lambat hanya ketika bergulir di sisinya, ia merasa detik telah jauh meninggalkan mereka dalam kehampaan ketika kesadaran kembali memecut. Ada keyakinan terpantul pada iris berlapis bening kornea milik bola mata cokelat sang fille, namun merangkai kata-kata dari bibir nampaknya bukan pekerjaan mudah pada situasi seperti ini. Gadis itu menggenggam erat buketnya, merasakan keringat dingin menjalari telapak, tapi ia tidak takut. A life with no regrets—setelah malam ini usai ia hanya menginginkan hadiah manis dari Morpheus. Ia bersyukur karena bukan kenyataan pahit yang disuguhkan kebenaran dari kisah panjang dan melelahkan milik mereka.

"And you're silly for keeping these out from me. You know it's not the perfect Nathan Harvarth that anyone else see whom I adore—it's you."

"This man,"
Michelle mengerjap sebentar, meletakkan tangan kanannya di pundak Nate. Mendongak untuk menatap lekat-lekat guratan sempurna wajah milik pemuda yang sama tiga tahun lalu—dan tercekat saat menyadari betapa orang yang dikasihinya telah bertambah dewasa. "along with his goods and his flaws; I accept him." Maniknya mengerling sepasang lain milik sang lawan bicara, terdiam, namun tidak menunjukkan tanda telah selesai bicara. Ia memejamkan mata. "But I won't forgive you—"

"—unless you swear that you will not let such thoughts come up in your mind again. Ever. I'd never be happy if it's not you."


Sesak, jadi jangan suruh ia berbicara lebih lanjut karena pastinya memang tidak mungkin. Selain karena merasa takut racauan akan membuatnya terdengar seperti aktris yang tengah memerankan sebuah roman picisan, Michelle sudah merasa jantungnya berpindah ke kepala—berdentum-dentum dalam rongga tempurung. Sedetik berselang, pemilik helaian gelombang tergerai itu menunduk, memandangi kelopak-kelopak cantik Anemone dengan pipi bersemu. Keningnya bersandar pada tubuh sosok di hadapan.

It's more than words to say.

And though we both made our mistakes
And some we never wish we made
But we'll be okay if we just stay together
Frilla
Once upon a time there was a little prince
He was so full of himself
that he never thought about anyone else

But one day, the prince met a beautiful princess
He offered his hand to the princess
and was happy when the she took his hand


Pemuda itu tidak bergeming. Hanya menatap dalam kebisuan, tidak ingin menemukan kata-kata yang mungkin bisa mengakhiri malam ini. Dan jika sang kala mau mengabulkan permintaannya untuk kali ini saja, bekukanlah waktu agar ia bisa menatap sang putri seperti ini selamanya. Sekalipun hanya sebuah ilusi semu, tenang sebelum badai. Tapi ia tidak perlu mendengar penolakan.

Nate bertanya-tanya sejak kapan ia menjadi orang yang seperti ini. Hidup sebagai anak seorang pengusaha yang kaya raya membuatnya mendapatkan semua hal yang bisa ia inginkan. Tapi justru hal yang ia inginkan adalah sesuatu yang tidak bisa didapatkan dengan emas. Kasih sang ibu sebagai contoh. Nate terbiasa untuk menyerah di saat ia tidak bisa mendapatkan sesuatu. Ia menyerah untuk kasih sayang, ia menyerah untuk kebahagiaan. Dan awalnya ia ingin menyerah untuk Michelle juga. Ia pernah menyerah untuk memiliki gadis itu. Tapi kali ini ia tidak bisa. Ia tidak bisa menyerah. Untuk pertama kalinya, ia ingin bertahan dan tidak berputus asa. Dia pernah kehilangan gadis itu sekali, ia tidak ingin kehilangannya lagi. Meski dihujam berkali-kali, meskipun pikirannya galau hingga ia hampir merasa tidak waras lagi, ia tidak ingin menyerahkan setitik harapan untuk mengulang kebersamaan mereka lagi.

Sejak kelas transfigurasi itu, pertama kali ia menemukan sosok seorang Michelle lewat bantuan Sylar. Banyak orang kurang ajar di sana. Mereka menjelek-jelekan gadis itu dan Nate ingin membelanya. Selain karena ia sendiri memang merasa tersinggung dengan ucapan mereka. Kisah mereka berdua berawal dari sana. Sebuah tantangan kecil dari sahabatnya, yang mengantarkannya pada sosok yang menghantui pikirannya selama hampir empat tahun kebelakang.


Time passed
and the prince had gotten attached to the princess
But no one knew, that the prince held a secret

His secret was his insecure feeling
Although he was acting proud and all
Actually he always thought that he was worth nothing
And he thought, he didn't deserve the princess

Then he took another girl
so that the princess would hate him
and live happily with other man who was better than him


Nathan, it means gift of God. Tidak pernah sekalipun ia punya pikiran bahwa dirinya adalah sesuatu yang baik, hadiah, karunia, apalagi dari suatu entitas Maha Kuasa seperti Tuhan. Apa yang ia bawa selain musibah? Tapi mendengar kalimat itu dari ayahnya dan pengetahuan bahwa sang ibu tidak pernah membencinya, memberikan suatu harapan baru baginya.

Harapan itu juga yang membawanya ke sini.

Sekali lagi. Berdua. Di bawah langit bertabur bintang yang menjadi saksi ikrar mereka tiga tahun lalu. Anehnya kali ini ia tidak merasa tegang atau gugup. Jantungnya tidak berdetak cepat atau apapun yang menunjukan tanda-tanda perasaan yang kacau seperti yang seharusnya ia rasakan. Aneh. Ia bisa tersenyum dengan mudah, seakan seluruh bebannya hilang tanpa bekas. Mungkin karena tanpa sadar, ia sudah siap menerima segala kemungkinan yang bisa terjadi. Meskipun ia masih juga merasa ingin melompat dari menara. Nate merasa sangat labil. Sebentar ia merasa tenang lalu di saat yang lain ia merasa kesal, sedih, gugup, frustasi. Ia benar-benar meragukan kewarasannya sekarang. Crazy in love, eh? Literally.

Kebisuan diantara mereka entah bagaimana justru membuatnya nyaman. Mungkin juga itu efek dari tatapan sepasang kristal gelap di depannya. Bagaimana bisa dulu ia sampai memikirkan untuk meninggalkan Michelle? Tolol benar dia sampai ingin menyerah. Apa yang ia lakukan dengan Crossroad waktu itu? Hanya karena si M itu berkata sesuatu yang membuatnya marah, hanya karena ia merasa begitu tidak bergunanya. Yah, itu alasannya. Karena ia merasa tidak bisa melakukan apa-apa. Lemah. Ia sangat kecil di hadapan dunia. Tapi ia tidak cukup lemah untuk menyerah sekarang.


Years passed, the prince had grown up
and he never once forgot about the princess
His heart was aching so much he couldn't bear it

And one day the prince realized
that he had paid so much for the princess' happiness
his love was beyond pain
...so maybe he did deserve her


Ia berharap bisa menafsirkan arti dari pandangan gadis di depannya. Helaan halus yang hanya bisa ia hubungkan dengan kata 'lelah'. Lelah dengannya keheningan di antara mereka, atau lelah padanyakah? Nate tahu dia adalah orang yang pesimis. Ia selalu mencoba menghapus pikiran buruknya dengan sugesti lain. Jika dia berkata dia orang yang hebat, mungkin ada keajaiban yang membuatnya menjadi orang yang berguna. Membohongi diri sendiri agar tidak merasakan sakitnya mengetahui bahwa kehadirannya di dunia tidak memiliki arti untuk siapapun. Tapi ada saat-saat dimana ia tahu bahwa sugestinya tidak akan berguna. Sifat pesimisnya sudah menancap begitu dalamnya hingga meskipun ia akhirnya tahu bahwa keluarganya tidak menganggapnya sebuah gangguan, ia tetap merasa khawatir. Dan kali ini ia khawatir bahwa sang putri merasa sudah lelah dengan gangguan yang ia timbulkan.

"Give me one reason."

Tertegun. Apa yang harus Nate katakan? Ia tidak memiliki alasan apa-apa. Terlebih lagi, alasan untuk apa? Alasan mengapa ia memanggil gadis itu kesini? Alasan mengapa ia pergi dulu? Alasan bagi gadis itu untuk tidak langsung menghujatnya? Ia berpikir terlalu dalam. Apa alasannya berada di sini, apa alasan ia ingin bertemu dengan Michelle, ada hal yang ingin ia katakan.

"I never told you that I hated my mother, did I?"

Pemuda itu membalikan tubuhnya memunggungi sang gadis. Nate tidak memiliki satu alasan yang diminta oleh gadis itu. Tapi ada hal yang ingin ia beritahukan pada Michelle. Rahasia yang tidak pernah ia katakan pada orang lain sebelumnnya. Tarikan nafas panjang terdengar dari sosok itu sebelum ia melanjutkan kalimatnya. "She told me that I'm unworthy, because I was another woman's. Constantly being told that made me believe it. I was happy to piss off my mother and just screw my life around. But then I met you. For the first time in my life, I wanted someone to see me as more than what I showed to the world. But as the time passed, I knew that you're too good for me. I had to leave, I had to leave you, otherwise you wouldn't be happy."


He ran, searched for the princess
When he found her,
he was scared that the princess didn't want him
But the prince thought that the pain worth the princess

So he offered his hand for the second time
and hoped that the princess would take it again
And maybe the story would end happily ever after


"I’m not making excuses for my actions," ujarnya cepat, ingin menekankan bahwa ia tahu tindakannya selama ini tidak bisa dibenarkan dan ia juga tidak punya niat untuk membenarkan apa yang sudah ia lakukan. Untuk meminta maaf sekarang pun rasanya sudah tidak pantas. Ia menoleh sedikit ke arah gadis itu sebelum kembali memalingkan wajahnya. Ia menghela nafas dan meneruskan kembali ucapannya, "but I have to show you the real me. I’m not a man without flaws, I am selfish, I am possessive, I am not proud of myself, I never think myself as a man who deserve someone like you. There are thousand of men out there who are far better fitted to be with you, than me."

Ya, ia tahu. Sangat tahu malah, meskipun itu tidak membuatnya kehilangan keinginan untuk mencabik-cabik pemuda mana saja yang mendekati sang putri. Cemburu, envy. Salah satu dari tujuh dosa pokok yang hukumannya adalah kedua mata dijahit dengan kawat. Ia tidak bisa memiliki sang putri, tapi ia tidak ingin ada orang lain yang memilikinya. Ia adalah orang yang sangat brengsek. Ia tahu. Ia sudah tahu hal itu bahkan ketika akhirnya ia membalikan tubuhnya dan menatap gadis berparas oriental di hadapannya.

"But even after knowing that, I'm still wanting you."
Frilla
"berani menghadapi musang macam itu... berani sekali kau, miss..."
"Nate, Nathan Harvarth."

"Michelle, sir. Michelline Fara Solathel."

"...want to be an item?"

Rasanya sudah lama tidak mengenang kejadian tersebut. Lama, lama sekali. Seakan telah lama terkubur dalam bagian paling tak terjamah dalam rongga tengkorak. Sampai-sampai ia tak lagi ingat kapan terakhir kali rekaan ulangnya terlukis dalam pikiran, hingga tanpa dinyana detik itu mendadak kilasan dirinya di masa lalu berkelebat, memeragakan dialog serupa dengan apa yang ia lakoni hampir empat tahun silam. Entah apakah seakan terpanggil oleh situasi yang tengah berlangsung saat ini, nostalgia begitu saja ramah menghampiri.

Tersenyum, Michelle membiarkan kesadarannya tenggelam dalam dunia awal mula, mengingat bagaimana ekspresi kekakuan penuh kekesalan Arvid, rupa Chucky dan potongan rambutnya saat berusia sebelas tahun dan kondisi kelas ketika itu. Hmm, dimana McG saat seorang pangeran berkuda putih mendarat ke tengah medan perang? Dan sungguh ia tidak pernah berhasil mempercayai bahwa sebuah kebetulan yang memperkenalkannya pada seorang anak laki-laki tertampan di kelas—lantas di kemudian hari menjadi pergunjingan setiap gadis di kastil—merupakan pertanda atas terjadinya perubahan hidup pada hidup gadis itu selamanya, bak kisah dongeng.

Thousands of your smile
Getting back when I look back on those days of us
Now I feel they are still calling me


Waktu itu tak sedikitpun terpikir bahwa sebuah jawaban sambil lalu yang menyambut ajakan bocah sebelas tahun untuk menjalin hubungan lebih dari sekedar teman, akan membuahkan perasaan yang begitu dalam. Siapa sangka semua bergulir begitu lancar, begitu manis, dan tanpa terasa rupanya butir waktu telah jauh meninggalkan. Mereka terpaut, mereka berbagi. Atau paling tidak salah satu sisi pernah merasakan demikian. Tadinya ia yakin tidak ada yang salah dari untaian cerita indah ini, begitu mempercayai setiap gurat ketulusan yang terperi. Namun kembali, kebetulan serupa muncul dan menghadapkan mereka pada persimpangan jalan—dan perpisahan menukik tajam.

Ya, kebetulan paling menakjubkan sekaligus ironis itu bernama Takdir.

Banyak hal yang terjadi selama nyaris satu tahun kebersamaan itu. Setiap hari bagaikan lembaran baru. Halaman kosong dalam diary untuk diisi dengan berbagai momen menyenangkan. Mulai dari hal-hal kecil hingga kejutan yang luarbiasa—tak ada yang tak berhasil menyentuh hati sang putri. Seluruhnya membekas, menyisakan banyak kenangan dalam memori. Tetapi di antara semua itu, rupanya hanya salah satu yang paling diingatnya. Karena ia bukan hanya meninggalkan jejak, namun sekaligus berhasil membenamkan setiap butiran kenangan yang lain, menyisakan kawah hitam menganga.

Looking for the word
Just a simple word
To open up closing door of my heart


Kalau saja siang itu takdir tidak begitu kejam menyuguhkan drama pengkhianatan sang pujaan hati, apakah detik ini mereka akan berada disini untuk tujuan yang berbeda? Apakah ia akan hidup dalam bayangan angan-angan dan kepalsuan setiap detik, setiap saat selama bersama dengan pemuda yang ia anggap segalanya? Ataukah pada lain kesempatan, takdir akan kembali mengunjungi untuk menghadiahkan pengungkapan dengan alternatif yang berbeda? We never knew.

Lalu apa yang akan kau kabarkan hari ini padaku, Tuan Takdir?

Ia tidak berhasil menebak perasaan dan isi pikiran pemilik tatapan manik cokelat di hadapannya tiga tahun lalu, dan juga tidak beranggapan akan dapat melakukan hal tersebut sekarang. Maka Michelle bertanya, apa yang takdir inginkan darinya, namun tentu saja tidak ada tanggapan—takdir tidak mengangkat telepon malam ini, seperti juga malam-malam yang lalu. Ia tidak pernah menjawab panggilan sang fille. Hanya mampu terpekur seorang diri bersama kuntum Anemone putih dalam genggaman, ia menghadapi hujaman kedua bola mata pemuda itu. Pemuda yang sama dengan setiap gambaran sosok dalam ingatan.

Sepertinya ia yang disodori tuntutan untuk memilih, mengulangi semuanya dari awal atau mengakhiri sampai disini. Mungkin sudah terlalu banyak tombol 'restart' tertera dalam jalinan kisahnya sampai tercipta dirinya yang sekarang. Kehilangan ingatan, kembalinya sang ayah, mengetahui keberadaan seorang adik dan menghapus jejak Crosette—setiap melalui percabangan, dan harus membuat satu keputusan ia bertekad untuk tidak lagi menoleh ke belakang atau merasa menyesal. Tidak pernah berpikir bahwa seharusnya the second option yang terpilih. Karena itulah, fondasi keyakinan menjadi hal yang mesti dibangun saat ini. Tiga tahun lalu janjinya dinodai, namun tidak akan lagi ia membiarkan untuk kedua kali, kejadian menyakitkan terulang.

Helaan napas kecil terdengar, diikuti anggukan kecil. Saat membuka mulutnya perlahan, sopran halus sang gadis memecah keheningan.

"Give me one reason."to say yes.

Let me dive into your heart once again
To try to keep our story going on
Is the key of heart
Frilla
I've been alone so many nights now
And I've been waiting for the stars to fall


Lima belas manit terpanjang dalam hidupnya. Dan keseluruhannya ia habiskan dengan terdiam menatap langit seperti orang bodoh. Mengecek arloji setiap menit, menanti jarum panjang tiba di angka dua belas. Di menit-menit terakhir pikirannya mulai semakin pelik. Puluhan kemungkinan mulai dari yang terburuk hingga yang terbaik sehingga rasanya amat mustahil untuk terjadi membanjiri benaknya. Begitu sibuknya ia dengan cerveaunya hingga hal yang ia ketahui selanjutnya adalah suara langkah di belakangnya. Dekat. Ada kemungkinan lain bahwa itu sama sekali bukan orang yang ia tunggu, memang. Bisa saja itu Filch, meskipun ia ragu karena kalau memang pak tua itu yang datang, pasti langkahnya lebih berantakan dan terlebih lagi pasti langsung berteriak marah melihat seorang siswa melanggar jam malam. Mungkin Profesor Sinistra yang tiba-tiba ada kencan romantis di bawah bintang dengan suaminya yang terhitung baru. Tapi kesunyian yang mengikuti suara langkah itu memberitahunya.

Dan tiba-tiba ia merasa yakin bahwa dia memang idiot.

Apa yang ia harapkan dengan datang ke sini, dengan mengirim bunga itu, dan pesan itu, dan... segalanya. Ia dicampakan, mencampakan. Nate dan Michelle, itu hanya mimpi. Sudah waktunya ia bangun dan menyadari hal itu. Bodoh. Tolol. Narre, dalam bahasa ibunya. Bisa-bisanya ia masih mengharapkan sesuatu yang begitu di luar jangkauannya setelah semua hal yang ia lakukan.

Nate mengepalkan tangannya. Ia ingin membalikan tubuhnya sekarang, melarikan diri dari tempatnya sekarang. Jauh dan jauh dari kenyataan. Demi Tuhan, seharusnya ia mengubur diri saja bersama mandrake-mandrake di rumah kaca. Tapi ketika ia membalikan tubuhnya dan menatap sepasang kristal cokelat yang ia rindukan. Ia merasa lebih bodoh daripada sebelumnya. Bagaimana mungkin ia bisa merasa bodoh dengan melakukan tindakan yang sama sekali tidak bodoh? Kalau kau mengerti maksud anak laki-laki itu. Dan lupakanlah persoalan mengenai sebenarnya dia idiot atau tidak, karena di depannya ada masalah yang lebih penting. She's standing there. Right in front of him, no kidding. Nate merasa nafasnya kembali tercekat, seperti yang selalu terjadi ketika ia kehilangan kata-kata. Betapa ia merindukan menatap gadis itu seperti sekarang, bukan hanya kilasan di kelas atau asrama, bukan hanya sepersekian detik di meja asrama atau lorong. Helen of Troy. Cleopatra. Neferiti. Phryne. Bathsheba. Marie Antoinette. Buat daftar nama-nama wanita di dunia ini yang dikatakan sebagai mahluk tercantik di bumi dan sisakan satu tempat untuk seorang Michelline Fara Solathel.

When you're standing here in front of me
That's when I know that God does exist


Tanpa sadar seulas senyum muncul di wajah pemuda itu. Semuanya akan baik-baik saja. Meskipun terlihat mustahil, meskipun setelah semua yang terjadi di antara mereka, kisah ini akan berakhir dengan bahagia. Nate dan Michelle. Michelle dan Nate. Berdua. Bukan hanya mimpi tapi dalam kenyataan. Happily ever after. Just like the story books.


"If you're trying to attract me into somekind of joke—this isn't funny, Harvarth."


Senyumnya hilang dalam sekejap. Tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih. Tentu saja. Sejak kapan kehidupan itu mudah dan sejalan dengan keinginannya? Tapi ia sudah sampai di sini, semua sudah terlanjur terjadi, dan ia tidak berniat untuk mundur lagi. Ia sendiri yang sudah bersumpah, demi sang putri, demi secercah harapan akan kebersamaan, apapun akan ia lakukan. Ia berharap, memohon, meminta, membutuhkan masa depan itu. Bersama menyusuri danau seperti dulu, senyum dan perbincangan yang membuat bahkan kelas paling membosankan sekalipun menjadi menyenangkan, berdua saja. Jika ia bisa mendapatkan hal itu, Nate bersumpah tidak akan pernah menginginkan hal lain. Hanya satu hal itu saja, yang ingin ia miliki.

"It wasn't meant to be funny," ujar Nate, menatap gadis itu tepat di kedua matanya. Untuk menunjukan bahwa dia serius kali ini, tanpa kebohongan. Bukankah mereka berdua sama-sama sudah muak dengan kebohongan?

And I can't imagine two worlds spinning apart,
Come together eventually


Tidak ada lelucon. Anemone, dalam bahasa bunga artinya unfading love--cinta yang tak pernah sirna. Dan Nate sungguh-sungguh merasa seperti itu. Sekalipun ia menjauh, menarik diri dari sang putri, tak pernah sekalipun ia melupakannya. Masih ada begitu besarnya rasa sayang itu hingga ia terkadang ingin mengiris-iris pemuda lain yang berada dalam radius lima meter dari sang putri. Ia tahu ia luar biasa egois, masih menganggap Michelle sebagai miliknya hingga saat ini. Tapi bukankah semua manusia memang egois? Dan malam ini, ia membulatkan tekadnya. Nate akan mendapatkan sang putri kembali. Demi Tuhan, bagaimana mungkin ia bisa merasa seperti ini, sih? Ia benar-benar rela melakukan apa saja, bahkan kalaupun harus membunuh seseorang--jangankan itu, disuruh loncat dari menara ini pun ia rela kalau itu artinya ia dan Michelle bisa kembali bersama. Kali ini ia benar-benar tidak peduli lagi pada apapun. Nate menginginkan putrinya kembali. Serius. Ia akan membunuh siapapun yang berani menghalanginya.


Tapi bagaimana jika memang sang putri yang menolak?


Lidahnya kelu. Setelah mengucapkan satu kalimat itu, Nate tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya menatap nanar gadis itu. Pedih rasanya jika berpikir bahwa ada kemungkinan Michelle menolaknya. Ia yang salah, ia tahu. Dari awal. Seandainya ia tidak melakukan semua hal di masa lalu itu... Tuhan, dia hanya bisa bermimpi ia bisa mengulang kembali sang kala. Antara harapan dan putus asa. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Apa yang harus ia katakan agar gadis itu mau melihatnnya seperti dulu? Galau, khawatir, takut, berharap.

Dan akhirnya ia tetap membisu.

But this journey, it was worth the fight
To be with you
Just to be with you
Frilla
Could it be you
Or do I lose my way?
I'm here but colorblind


—dan bukunya yang berjatuhan menimbulkan bunyi debam mengerikan, bergema di sepanjang lorong bawah tanah, menyusul ekspresi terperangah tak percaya saat sebuket besar kuntum kelopak putih disodorkan ke hadapan oleh salah seorang Slytherin tahun pertama bertubuh kecil.

Anemone.

Tapi bukan hanya itu alasan atas reaksi keterkejutan gadis jangkung dengan helaian ponytail panjang tersebut pada senja seusai pelajaran, suatu hari di awal musim semi. Isi pesan yang tertera bersama rangkaian bunga tersebut, beserta tulisan tangan sang pengirim—sekalipun tidak mengukirkan nama—merupakan penyebab utama menggelegaknya suatu perasaan yang sudah lama terkubur dalam-dalam. Ia sendiri tak yakin apakah harapan adalah tanggapan tepat untuk menyambut situasi yang tengah dihadapi, namun nampaknya kuasa menjawab sudah disabotase hati.

Beribu sanggahan yang berusaha digalinya sembari menghabiskan sisa hari dengan peringai gelisah tidak juga berhasil menyumpal. Setelah menghabiskan potongan burger pada jam makan malam dengan berusaha keras menahan gerak bola mata untuk tidak melirik ke salah satu arah, ia buru-buru ambil langkah seribu untuk memendam diri dalam kamar, memandangi langit-langit rendah sambil duduk bersila di atas tempat tidur berlapis selimut zamrud. Sebelah tangannya mengelus tengkuk Azure yang meringkuk dalam pangkuan, dan sudah tak terhitung berapa kali helaan napas terdengar selama hal ini berlangsung.

Another 03.16.1979

Tidak mungkin Santa Klaus begitu baik bersedia mengabulkan permintaan hadiah Natal konyol yang ia jejalkan ke dalam kaus kaki di perapian beberapa bulan lalu.

Close my eyes
I try to hide
I'm listening to my voice inside
What's on to tell me right or wrong


Pandangannya kembali mengerling pada seikat Anemone yang teronggok di sisi—kini tengah diendus oleh si kucing pandai dan selalu ingin tahu—untuk memastikan bahwa benda pemberian itu bukan ilusi semata. Perlahan jemari tangannya yang bebas menelusuri bagian-bagian bunga cantik tersebut, menyentuh tangkai, daun, mahkota, kemudian menghirup aroma lembut yang menguar ketika ia mendekatkan buket itu. Oke, wujudnya mungkin riil, nyata. Lantas bagaimana dengan maknanya? Unfading love—cinta yang tidak pudar—dia ingin Michelle mempercayai bahwa sejak awal rasa itu pernah ada, setelah semua yang dilakukannya?

Dilematis. Pemikiran yang membuat ia ingin berteriak histeris kalau saja tidak khawatir anak-anak perempuan di luar, seperti Sienna dan Laffy khususnya, akan segera berhamburan masuk untuk mencari tahu apa ada Banshee muncul di dalam kamar mereka. Di satu sisi kenyataan bahwa sang pangeran pernah mengkhianati; menolak, mencampakkan, telah sukses meninggalkan lubang besar pada rongga dada. Tapi tentu bagian lain dari dirinya segera menegaskan bahwa selamanya tak ada seorangpun mampu mengobati lubang tersebut, tak ada seorangpun yang lebih ia harapkan kehadirannya untuk kembali mengisi, kecuali orang yang bersangkutan.

Dan kenyataan jelas mengungkap bahwa keinginan untuk menutup kembali koyakan luka itu tak putus-putus selalu ia panjatkan. Hanya saja kini setelah kesempatan itu menganga, ketakutan mengalami rasa sakit yang lebih besar justru menghampiri. Membuatnya terlalu pengecut untuk bangkit dan memacu langkah. Bagaimana kalau semua ini hanyalah serangkaian permainan lain yang sengaja dirancang? Bagaimana kalau lagi-lagi ia dijebak dalam kenaifan untuk mengucap ikrar? Ia memang tidak pernah menyesali diri yang pernah menjanjikan segalanya pada sang kekasih, tidak sekalipun. Namun siapa yang membuatnya harus menelan kembali semua dalam kepahitan?

So leave the past behind
I only wanna feel the sunlight stop the fight and see it in your eyes
Wish I just knew what I should do


Bagaimanapun hanya ada satu cara untuk mengendus sisa-sisa ketulusan.

Maka disanalah kakinya terpancang. Di hadapan portal yang akan menghubungkannya ke dunia lain—dunia dimana hanya mereka berdua yang bermukim. Nate dan Michelle. Michelle dan Nate. Dunia milik mereka, tiga tahun silam. Sekalipun sebisa mungkin berlambat-lambat selama perjalanan meniti tangga menuju ke menara ini, tetap saja ia tiba lebih awal. Lima menit sebelum waktu perjanjian, demikian jam sakunya mengabarkan.

Gerakannya terhenti saat merapatkan sweater abu-abu yang tersampir di atas kaus lengan panjang putih dan twirly skirt biru muda selutut, karena menyadari tanpa bermaksud sengaja telah mengenakan peninggalan milik pemuda yang akan ia temui sesaat lagi. Tidak mungkin ditanggalkan sekarang, apa boleh buat. Ia mendengus, memejamkan mata, kemudian menarik napas dalam-dalam—berusaha mengendalikan degup yang berdentum, entah karena habis melanglang dari bagian terendah hingga tertinggi kastil, atau faktor lain. Diabaikannya cekat yang bercokol di faring, dan tangannya memutar gagang pintu menuju ruangan kelas Astronomi.

This is it.

Ruangan yang sama. Dengan langit bertabur bintang yang tak ubahnya serupa. Dan tatapan dari manik pekat berwarna identik dengan miliknya, menghujam dari sosok yang bersandar pada selusur jendela. Detik berjalan enggan, lambat-lambat merangkak dalam keremangan di bawah siraman kubah titik keperakan, tatkala kedua insan saling menyapa dalam geming. Sang tuan putri yang lantas memalingkan wajah, sementara kedua mary-jane menimbulkan ketukan ringan pada permukaan lantai. Menghantarkannya merekat bentangan jarak. Sampai kira-kira satu meter tertinggal, ia mendongak untuk kembali mendaratkan pandang pada gurat familiar di hadapan. Jauh lebih kacau, perasaannya, di banding sekuali ramuan yang tengah meletup.

"If you're trying to attract me into somekind of joke—this," uraian gelombang cokelatnya yang tergerai hingga mencampai pinggang berkilauan tertimpa cahaya, ketika genggaman kiri fille berdarah campuran itu mengacungkan buket Anemone kepada pengirimnya. "isn't funny, Harvarth." Oke, ia berhasil. Tidak ada emosi yang boleh bergerak sebelum logika berbicara. Hanya saja, aneh menyadari alih-alih menuntut, nada suara dan sorot mata gadis itu justru menyiratkan harapan dan kerinduan yang mendalam seolah mengatakan—"Mengapa baru sekarang?"

Because as long as you wish for it,
the promise will always be there.


Maybe it is me
Used to plan to see that it's you
For everything I am, everything I need, lies in you
Frilla
On the day I couldn’t see
my heart I felt insecure
The meaning of loving somebody
it’s something I decide myself


Detik, menit, jam. Waktu memang sudah ditakdirkan untuk berjalan dan tidak ada kehendak dari siapapun yang bisa menghentikannya. Layaknya butir jam pasir yang terus jatuh, kehidupan juga terus bergulir. Meskipun tiada detik yang tidak ia lewati tanpa penyesalan. Seakan seluruh perbuatannnya bertahun-tahun ini adalah kesalahan, hanya tersisa rasa sesal yang membuncah dan harapan untuk memutar kembali sang waktu. Tapi kala yang hilang juga telah menjadi gurunya. Dan kini Nathan Kehl Harvarth akan memperbaiki salah satu kesalahannya.

Pukul sembilan lewat lima puluh lima menit. Sepuluh menit berlalu sejak anak laki-laki itu tiba di menara. Setelah melewatkan musim dingin di Norwegia yang suhunya mencapai minus dua puluh derajat tahun ini, Nate sanggup ke luar di malam hari hanya dengan berlapis sweater putih tidak seberapa tebal di atas kemejanya. Meskipun memang hangat yang dibawa musim semi sudah mulai mencairkan salju di luar. Anak laki-laki itu berdiri dalam diam. Manik cokelatnya menatap pemandangan di luar jendela yang dari ketinggiannya sekarang, hanya tampak seperti dataran hampa, siap dipenuhi benih-benih baru keesokan hari, berkilauan dalam temaram rembulan. Rasa antisipasi menjalar ke tengkuknya. Bukan gelap malam yang menjadi musuhnya, bukan angin yang membuatnya gemetar. Degup yang sama, bukan, lebih menegangkan daripada saat mengejar kemahsyuran di lapangan quidditch. Mengejar dan menangkap snitch. Dan kali ini juga.


“You've been terribly chipper these days. May I ask what merits the occasion?”
“A game. The most important match in my life.”



Tiga tahun, kurang lebih. Siapa yang bisa percaya selama waktu itu hidupnya ia habiskan dalam sebuah dunia khayal. Curiga dan dengki, tak percaya bahwa ada artinya ia dilahirkan. Berpikir selamanya ia ditakdirkan berada dalam kegelapan, sendiri karena tidak ia tidak pantas untuk didampingi. Menatap penuh rindu apa yang ia pikir bukan untuknya. Sulit dipercaya begitu bodohnya otak yang selama ini ia banggakan itu. Andai saja dari awal ia bisa melihat dengan mata yang benar-benar terbuka, Nate tahu hidupnya sebenarnya sudah sempurna dari awal. Tapi dia telah mengacaukannya, dengan tangannya sendiri. Dan penyesalan yang seperti apapun tidak akan cukup untuk menghapus kebodohan yang telah dilakukannya.

Tapi ia masih bisa memperbaikinya bukan? Ia harap... masih. Dan dengan setitik harapan itulah, ia berdiri di tempat itu. Menunggu akan datangnya sang putri. Kalau itu masih mungkin. Tiga tahun penghindaran, sesak dan tersakiti namun tahu bahwa itu adalah yang terbaik untuk orang yang begitu berarti. Nate tidak peduli betapa sakitnya penderitaan yang harus ia rasakan. Anything for her happiness, anything. Tapi tampaknya justru sebaliknya. Nate telah menyakiti, melukai hati gadis itu. Ia tidak yakin, apakah kata-katanya, tindakannya, bisa membuat sang putri kembali menatapnya seperti dahulu. Hatinya terus memanggil, berdenyut untuk satu kemungkinan kecil. Bahwa apa yang dikatakan oleh gadis itu... pengakuan yang begitu tulus itu, masih ada. Masih nyata. Meskipun Nate sendiri yang sudah mencabik kepercayaan dan harapan. Ia berharap, meminta, memohon, agar setidaknya, belum terlambat baginya. Untuk jujur pada perasaannya, untuk jujur pada orang yang dikasihinya. Untuk mendapatkan kembali apa yang telah hilang. Sekalipun ia harus menjual jiwanya sekalipun.


Satu menit.

Tinggal enam puluh detik lagi.


Gemetar. Bagaimana seandainya semua harapan yang dipegangnya selama ini hanyalah kepalsuan belaka? Seandainya ia tidak datang. Apa lagi yang bisa diharapkannya sesudah itu? Hancur. Lebur. Ucapkan selamat tinggal pada Nathan Kehl Harvarth. Gemetar. Seandainya, seandainya janji itu palsu, terlupakan. Apa lagi yang bisa ia percayai? Ia tidak berpikir sejauh itu sebelumnya. Belum terlambat baginya untuk pergi. Lebih baik ia tidak tahu daripada harus mengetahui kebenaran yang menyakiti. Kakinya ingin membawanya lari dari sana. Secepatnya pergi dari tempat itu, ikrar yang pertama. Sumpah selamanya. Mereka, berdua. Tanpa orang lain. Dan ia ingat saat itu. Seakan baru, seakan tidak pernah terlewati. Saat ia percaya bahwa segalanya sempurna, karena mereka berdua, dan itu cukup. Untuknya, untuk mereka, untuk dunia. Percaya. Harapan. Janji. Kasih. Kemana perginya hal-hal itu selama ini? Apa ia yakin akan membuang mereka sekali lagi, tanpa pernah mempelajari bagaimana perasaan sang putri sebelumnya.

Ingin tertawa, ingin menangis. Kakinya tak sanggup melangkah, tubuhnya bersandar pada bingkai jendela. Malam itu juga cerah seperti saat ini. Bintang-bintang menjadi saksi dari ikrar rahasia mereka. Berdua. Dua. Dua. Tanpa orang lain. Tuhan, betapa ia menginginkan semua itu kembali. Perasaan memuncah ini, tak bisa ditahan. Biarkanlah. Betapapun sakitnya kebenaran. Selama itu yang diinginkan oleh sang putri. Nate menerimanya. Apapun konsekuensinya. Dan Nate menyadari betul posisinya sekarang. Seorang manusia. Merasa, menginginkan, mempercayai, mengharapkan. Sakit, kecewa, sedih, senang, bahagia. Ia tidak peduli, sekalipun kali ini yang diterimanya adalah penolakan. Ketidakhadiran, muak. Nate... akan menerimanya. Meskipun, setitik harapan itu tidak pernah hilang.

Three years ago, I gave you a proposal.
Tonight, I'm offering you my hope.



I promise you, I won’t wander off anymore
I’ll be strong...and prove myself to you
I won’t run away, I’ll turn around to face you
so I can see how you feel
Frilla
Di suatu tempat di bagian Eropa Utara, ada sebuah kerajaan yang memiliki seorang raja yang arif dan bijaksana. Didampingi oleh permaisuri yang tersohor karena kelembutan dan kecantikannya, mereka berdua membentuk pemerintahan yang adil dan dicintai oleh rakyatnya. Suatu ketika, sang ratu mengandung. Seluruh kerajaan bersuka cita, menunggu selama sembilan bulan untuk menyaksikan kelahiran putera mahkota yang akan meneruskan pemerintahan sang raja arif. Tapi penantian itu dikecewakan oleh kelahiran sang bayi yang ternyata adalah perempuan. Sang raja kecewa dan sang permaisuri bersedih. Seluruh kerajaan menyayangkan hal itu. Sampai akhirnya, sang permaisuri mengandung untuk yang kedua kalinya. Lagi-lagi semua bergembira, menanti penuh harapan akan kedatangan sang putera mahkota. Namun mereka harus menelan kekecewaan lagi. Karena kali ini juga yang lahir adalah seorang puteri.

Bertahun-tahun terlewat, namun kerajaan itu belum juga dikaruniai seorang putera. Dua kali sang permaisuri mengandung, dan dua kali bayinya gugur. Pedih hati sang permaisuri karena tidak bisa melaksanakan tugasnya untuk melahirkan putera mahkota. Namun tidak sekalipun ia menyesali kelahiran kedua putrinya yang cantik. Lain halnya dengan sang raja. Rasa kecewa yang sedemikian besar membuatnya rikuh. Tanpa adanya penerus, bagaimana nasib kerajaan yang sudah ia bangun sedemikian rupa ini?

Suatu ketika, sang raja pergi mengunjungi kerajaan lain guna mempererat persahabatan di antara keduanya. Di sana, sang raja terpana oleh sosok seorang wanita. Wanita itu adalah bangsawan muda yang memiliki semangat hidup yang tinggi. Keceriaan sang bangsawan begitu memikatnya hingga sang raja pun takluk. Permaisuri yang mengetahui hal ini terkejut dan merasa telah dikhianati. Dendamnya terus menyala pada bangsawan yang telah berani merebut rajanya. Terutama, ketika ternyata bangsawan itu melahirkan seorang anak laki-laki. Sang raja berbahagia akan kelahiran penerusnya. Rakyat gembira dengan kedatangan sang putera mahkota. Tapi permaisuri yang masih memendam kebencian pada sang bangsawan yang meninggal setelah melahirkan puteranya tidak ikut senang. Kendatipun objek kebenciannya telah tiada ia meneruskan perasaannya itu pada sang putera mahkota. Rakyat dan penghuni istana yang lain juga berbisik-bisik. 'Pangeran yang tidak pantas mendapatkan kedudukannya'. Karena dia dilahirkan oleh wanita yang bahkan belum menjadi istri raja. Anak haram.


Tidak pernah ada akhir yang bahagia untuk sang pangeran.

Dan itu sebabnya, Nate memiliki ketidak sukaan tersendiri pada dongeng. Memikirkannya saja sudah membuat alisnya berkerut. Manik kecokelatan miliknya menatap lekat pada api di perapian seakan menimpakan kesalahan pada energi kemerahan yang menimbulkan bunyi berderak. Ia berdiri di hadapan perapian dengan tangan bersidekap di depan dada. Sweater hitam di atas t-shirt bewarna abu-abu dan jeans hitam menjadi pilihannya sore itu. Ia mengetuk-ngetuk lantai dengan kakinya yang beralaskan sepatu kanvas hitam putih. Sedikit banyak merasa bersyukur hari itu ruang rekreasi cukup kosong, sehingga tidak ada orang yang memperhatikan tingkahnya yang tidak wajar di depan perapian. Sudah lima belas menit ia berdiri sambil memperhatikan sang api menjilat kayu bakar hingga menjadi abu. Orang pasti akan bertanya apa yang ia lakukan di sini, bermurung ria seorang diri sementera yang lain sedang menikmati semangat natal.

Yah, Natal. Sulit melupakannya di saat seluruh koridor di dekorasi dengan hiasan-hiasan khas acara ini. Belum lagi nyanyian hantu yang kebetulan berpapasan dengannya dan juga para lukisan yang juga gembira sekali merayakan hari raya yang satu ini. Ditambah dengan pohon natal di aula dan anak-anak lain yang semuanya membicarakan hadiah yang mereka inginkan untuk natal atau yang ingin mereka berikan. Indah sekali. Membuatnya ingat dengan hal-hal yang menyebalkan. Tolog diingat bahwa Nate sama sekali tidak berterima kasih dengan suasana nista ini. Dan untuk mengingat bahwa bertahun-tahun yang lalu juga ia pernah merasa senang dengan datangnya hari natal. Bodoh sekali dia waktu itu.

Nate mendengus ketika melihat beberapa kaus kaki tergantung di atas perapian. Kaus kaki, permohonan, santa klaus. Kebohongan yang biasa. Terlalu kekanak-kanakan sampai Nate sendiri malas untuk menyebutkan poin-poin yang tidak masuk diakal dalam cerita kakek berjanggut itu. Dan permohonan, yang benar saja.

Putera Harvarth tidak pernah memohon.

Dan memangnya ia bisa meminta apalagi? Emas bergelimpangan, jubah dan tas baru sudah menjadi makanan sehari-harinya, set gobstone emas 24 karat dengan bertahtakan permata pun bisa ia dapatkan dengan jentikan jari, sapu terbang paling baru juga hanya memerlukan sehelai perkamen yang dilayangkan pada ayahnya, bertemu dengan tim quidditch favoritnya pun hanya perlu satu kontak floo dengan menyebutkan namanya, makanan Perancis mewah selalu dihidangkan koki di rumahnya, malah Nate yakin ia bisa mendapatkan naga untuk peliharaan jika ia benar-benar menginginkannya. Maaf untuk mereka yang miskin dan tidak bisa memenuhi segala keinginannya. Takdir. Katakan, apa lagi yang bisa ia minta di saat semua kebutuhannya sudah terpenuhi?

Nate meringis. Mau tidak mau mengakuti peribahasa money can't buy everything. Ia punya permintaan tentu saja. Rahasia. Tapi ia tidak akan menuliskannya di atas secarik perkamen dan memasukannya ke dalam kaus kaki seperti orang bodoh. Ia sudah tahu itu hanya tradisi konyol dan tidak ada gunanya ia melakukannya. Dicap sebagai orang aneh yang masih mempercayai keajaiban natal jelas adalah 'tidak' untuknya. Tapi pada akhirnya ia melakukannya juga. Memasukan perkamen maksudnya. Bukan mempercayai keajaiban natal atau apa. Ia tidak percaya. Sama sekali.


I want to be worthy.


Frilla

Oslo, Norwegia. Kota yang suhunya bisa mencapai minus tiga puluh derajat celcius di musim dingin dan bahkan di musim panas pun suhu tertingginya hanya sekitar dua puluh derajat celcius. Kota yang identik dengan salju dan di musim dingin seperti sekarang ini matahari hanya terbit selama enam jam. Dibesarkan dalam keadaan alam yang sangat dingin, Nathan Kehl Harvarth selalu merasa menderita saat harus melewatkan liburan musim panas di London. Meskipun bukan berarti satu-satunya anak laki-laki dari Odieneer Harvarth itu menyukai salju. Nate—begitu ia biasa dipanggil, tidak menyukai musim dingin ataupun musim panas. Meskipun begitu, anak laki-laki itu menyukai semua musim di Norwegia. Bahkan meskipun baginya musim dingin di Hogwarts hampir hangat-hangat kuku, ia tetap lebih memilih berada di Oslo, sedingin apapun temperaturnya saat itu.


Beberapa hari sebelum natal tiba., sebuah mobil sedan bewarna hitam mengilap berhenti di depan kastil Arkeshus yang juga diketahui sebagai salah satu kediaman keluarga Harvarth. Bertuan rumahkan Odieneer, sosok dibalik kesuksesan Statoil, perusahaan energi terbesar di Norwegia.


Dari balik pintu kastil, seorang peri rumah bergegas menyambut mobil yang mengantar putera mahkota dari keluarga itu. Langkahnya terburu-buru hingga dua-tiga kali peri rumah malang itu hampir jatuh tersandung serbet putih dengan lambang keluarga yang dilayaninya tersulam di bagian depan, satu-satunya kain yang menempel di tubuh mahluk mungil itu. Matanya yang sebesar bola tenis semakin melebar karena takut, tergopoh-gopoh membuka pintu belakang mobil hitam itu sekaligus menunduk serendah yang bisa ia lakukan pada sosok berambut kecokelatan yang keluar dari dalamnya.


Anak laki-laki itu bertubuh tinggi dalam balutan mantel tebal bewarna putih yang membuatnya tampak lebih besar daripada tubuh aslinya. Berkali-kali angin dari utara berhembus dan membawa rambut cokelatnya mengganggu penglihatannya. Tapi laki-laki itu tidak mengacuhkannya, mengerling ke arah bangunan kokoh di hadapannya dengan tatapan yang mungkin bisa dideskripsikan seperti rindu atau justru muak. Sepasang bola mata cokelatnya bahkan tidak melirik ke arah peri rumah yang berdiri di dekatnya sewaktu ia langsung berjalan memasuki gerbang utama kastil itu, menciptakan jejak-jejak dengan sepatu boot hitamnya. Tidak mempedulikan bagaimana si peri rumah kesulitan membawa koper-koper yang ukurannya lima kali tubuhnya. Itu memang tugas peri rumah, sang tuan muda bisa peduli setan dengan hal itu.


Nathan Kehl Harvarth telah kembali ke rumah.


Ia melepas mantelnya dan menyerahkannya pada seorang pelayan. Manik cokelatnya bergulir dalam rongga matanya, menatap perubahan yang terjadi di rumah itu selama kepergiannya. Lukisan nenek moyangnya diganti dengan lukisan keluarganya, satu hal yang langsung disadarinya karena sosok dirinya dalam lukisan melambaikan tangan padanya. Lukisan itu beraliran romantisme, tidak diragukan lagi dibuat atas permintaan ibunnya. Meskipun Nate heran juga kenapa ibunya membiarkan anak laki-laki itu dilukis juga. Ditatapnya sosok wanita berambut keemasan dalam lukisan itu.


“Kau sudah sampai, Nathan,” ucap seseorang dari atas tangga. Pemilik nama yang disebut itu mengangkat kepalanya, menatap wanita yang identik dengan yang baru saja ia lihat di lukisan. Rambut ikal keemasan yang dipilin menjadi sanggul anggun di belakang kepalanya seakan menegaskan kecantikan yang dimiliki bangsawan Inggris itu. Nate sendiri mengakui bahwa ibunya memang cantik meskipun sudah dalam kategori berumur, betapapun ia membencinya.


“Ibu,” sapanya tanpa kehangatan yang biasa ditunjukan seorang anak kepada orang tuanya. Kristal karamel itu menatap sang wanita tanpa emosi. Nate tidak tahu lagi harus bersikap seperti pada ibunya itu. Karena itu—biarlah wanita itu yang menebak apa yang sebenarnya Nate rasakan. Kebencian yang mereka rasakan itu mutual. Dan tanpa ia duga, seulas senyum tipis muncul di wajah sang ibu. Tipis, tapi tetap saja sebuah senyum.


“Ayahmu sudah menunggu daritadi.”


Nate mengangkat bahu dan mengikuti Arianna setelah memberi perintah pada peri rumah pribadinya untuk menyiapkan kudapan dan air panas di kamarnya. Perbedaan lainnya yang ia baru sadari adalah rumah itu terlihat lebih cerah daripada biasanya. Entah karena warna perabotan yang terlihat lebih cemerlang atau memang suasana yang membuatnya seperti itu. Perbedaan lain adalah—kali ini ia berjalan di samping ibunya, hal yang tidak pernah ia lakukan sejak enam tahun yang lalu. Biasanya ia berjalan dengan jarak dua meter di belakang ibunya, menjauh dari wanita itu sebisanya. Nate tidak menyamakan langkah dengan ibunya jelas, ia berjalan seperti biasa. Aneh, tapi seakan-akan ibunya memang sengaja berjalan di sampingnya yang jelas tidak mungkin sama sekali. Kebetulan pasti, ia tahu pasti wanita menyebalkan itu tidak mungkin mau berjalan dekat dengannya meskipun hanya untuk semenit. Anehnya, Nate sendiri tidak merasa terlalu keberatan.


Mereka berhenti di depan pintu besar di sayap kiri kastil. Yang berambut emas mengetuk pintu. Beberapa saat, terdengar suara balasan yang mempersilahkan mereka masuk. Suara dalam seorang pria yang terdengar agak lebih lemah daripada yang Nate ingat. Tapi anak laki-laki itu berusaha tidak peduli, ia sama sekali tidak ingin mengingat bahwa sang ayah sempat dirawat di St. Mungo beberapa waktu yang lalu.


Sosok yang berbaring di atas tempat tidur tampak memilukan. Guratan umur terpatri di wajahnya dan Nate sedikit tertegun karenanya. Untuk orang yang selalu berpikir bahwa dunia ini abadi, kenyataan bahwa ayahnya tidak lagi muda membuatnya terkejut. Hampir lima puluh tahun—dan meskipun dalam ukuran penyihir itu masih tergolong muda, penyakit mulai menggerogoti nyawa pria itu. Kenyataan lain yang membuat sang anak hanya bisa menggigit bibir.


“Var1…”


“Nathan, kau sudah pulang…” ucap Odieneer pada putranya itu. Meskipun ia baru keluar dari rumah sakit beberapa waktu yang lalu, meja di samping tempat tidurnya sudah dipenuhi dengan berkas-berkas yang harus ditanda tangani dan map berisi laporan saat ia tidak ada. Pria itu mengangguk mendengar balasan dari Nate, perlahan mengalihkan perhatiannya pada istrinya. “Bisa kau pergi sebentar? Ada yang ingin kubicarakan dengan Nate.”


Wanita itu tersenyum, melangkah keluar kamar setelah mengerling ke arah putra tirinya. Sesuatu yang membuat Nate tidak habis pikir. Pertama, karena ibunya langsung mengikuti apa yang ayahnya katakan padahal biasanya ia tidak pernah tidak mencoba mengikuti pembicaraan ayahnya dengannya. Kedua, karena biasanya ibunya menganggapnya tidak ada tapi kali ini mengerling kepadanya—betapapun tidak berartinya kerlingan itu. Rumah ini semakin aneh saja menurutnya. Ia kira sesudah ini akan ada hal buruk terjadi padanya. Tidak mungkin kan wanita itu menaruh racun pada minumnya atau minum ayahnya?


“Sepertinya hubunganmu dengan ibumu sudah membaik.”


Nate tersentak, tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulut ayahnya. Selama ini, ia selalu bertindak biasa di depan ayahnya. Tidak pernah sekalipun ia bertengkar dengan sang ibu di depan pria yang menjadi panutannya dan ia rasa ayahnya sama sekali tidak menyadari ketegangan antara dia dengan ibu atau kakaknya. Dibekali dengan pikiran itu, Nate mengeluarkan ekspresi tidak mengerti sebaik yang ia bisa dan berkata, “Aku tidak mengerti maksud ayah.”


“Aku tahu hubungan kalian tidak sebaik yang kalian coba tunjukan padaku. Please, Nate, I’m the head of this house. I know everything that happened in this house,” ucap pria itu. Meskipun wajahnya masih terlihat pucat, namun seringai yang identik dengan seringai yang sering muncul di wajah putranya menghiasi wajahnya. Odieneer memberikan isyarat kepada Nate untuk duduk di dekatnya. Ibarat pribahasa dinding pun memiliki telinga, ia sebagai tuan rumah tahu segala hal yang terjadi di rumah ini. Salah satu keistimewaan dari Harvarth yang memiliki kastil tempat mereka berada sekarang, selain mantra proteksi yang kuat dan tak akan bisa ditembus oleh orang yang tidak memiliki darah Harvarth, masih banyak mantra lain yang hanya diketahui oleh pemilik sah tempat itu.


Anak laki-laki berambut cokelat itu menggelengkan kepalanya, entah apa yang ia maksud. Tapi ia tetap mengikuti isyarat ayahnya untuk duduk di tepi tempat tidur. Nate tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap sang ayah dengan ekspresi ragu-ragu.


Aldri så god hest at den ikkje kan snuble2. Your mother did a horrible mistake, but nobody’s perfect. Bahkan sebenarnya, itu semua adalah kesalahanku.”


“Bukan, Var—“ ucap Nate langsung sebelum dipotong oleh ucapan sang ayah.


“It was my fault,” tegas Odieneer. Mata dingin itu tampak menyesal—dan sesaat sosok angkuh dibalik nama Harvarth itu tampak rapuh. Tenggelam dalam penyesalannya di masa lalu. Ia menarik nafas dengan berat—seakan tiap tarikan nafasnya membawa kesakitan, dan meneruskan lagi, “ketika nama Harvarth sedang mengalami goncangan karena permasalahan internal dalam Statoil3, aku tidak bisa mengontrol emosiku dengan baik. Ketika Arianna datang kepadaku—aku membentaknya dan berkata bahwa kalau Freedret, ibu kandungmu, ia tidak akan mengangguku di saat seperti ini.”


“….”


“Kalau saja aku tidak mengatakan hal itu—Arianna juga tidak akan berkata apa-apa padamu.”


“No, Var,” ucap Nate sambil menggelengkan kepalanya keras-keras. Menolak dengan sangat tiap perkataan ayahnya. Ia tahu dengan pasti, bahwa ibunya memang tidak pernah menyayanginya dari awal. Masa kecilnya adalah kepalsuan. Meskipun mungkin memang perkataan ayahnya pada sang ibulah yang menguak tabir palsu itu. Nate mengepalkan tangannya, amarah yang dirasakannya dulu kembali mengisi rongga hatinya. “You never heard what she had said to me, Av ingen ting kjem ingen ting4. How can you expect me not to hate her after that?”


“Because she loves you—and I know that you love her as well.”


Nate menggeleng lagi. Tidak habis pikir kenapa ayahnya bisa memiliki pendapat seperti itu. Ia yang mengalami semua hal itu, ia yang mendengar semua perkataan wanita itu. Ia sendiri yang merasakan sakit dari tiap kata yang dilontarkan oleh wanita itu. Dan ayahnya masih berpendapat bahwa ada kasih sayang di antara mereka—setelah selama ini?


“She hates me, Var, she wouldn’t call me names otherwise. And I hate her too.”


Blindast er den som ikkje vil sjå5.”


“She hit me, Var! And, and…” suaranya menghilang, sejenak ia menggertakan gigi. Rasa frustasinya memuncah. Baiklah, mungkin ada bagian dari dirinya, hanya sedikit, yang merasa kehilangan sosok ibu yang ia kenal dulu. Wanita lembut yang selalu ada di sampingnya kala ia membutuhkan, kehadiran yang ia perlukan ketika sang ayah tidak bisa hadir karena terlalu sibuk. Tapi untuk apa ia merindukan sesuatu yang tidak akan pernah kembali? Nate menundukan kepalanya. “She never called me Nate the way you do…”


“ Nama…” ucap pria di akhir usia empat puluh itu perlahan. Senyum kecil muncul di wajahnya saat ia mengenang kejadian yang terjadi hampir lima belas tahun yang lalu. Saat itu musim semi dan suhu di tempat ini sekitar sepuluh derajat celcius. Odien masih bisa mengingat hal itu seakan baru kemarin terjadi. “Apa kau tahu siapa yang memberikan namamu?”


“…”


“Bukan Freedret atau aku atau siapapun yang mungkin kau kira. Ibumu, Ariannalah yang memberikan nama itu,” ujar Odien tenang, sama sekali tidak mengacuhkan ekspresi tidak percaya di wajah putranya. Kenyataanya memang itulah yang terjadi. Arianna memeluk bayi mungil itu—setidak suka apapun Arianna pada Freedret, wanita itu tetaplah seseorang yang lembut. Dan ia langsung menganggap bayi itu sebagai miliknya sendiri ketika ibu kandungnya meninggal sehabis melahirkan. Dan meskipun Odieneer merasa kehilangan sosok wanita Jerman yang merupakan ibu dari putranya, ia tidak bisa tidak merasa bangga melihat istrinya yang bisa merelakan segalanya dan memeluk putra kebanggannya. Dan sekalipun ia merasa menyesal telah mengkhianati Arianna, ia tidak akan menyesali apa yang telah ia lakukan. Karena jika tidak, ia tidak akan memiliki Nate sebagai putra.


“Nathan, it means gift of God. Kau adalah karunia Tuhan untuknya, untukku, untuk Freedret, dan semua orang yang menyayangimu.”


Nate sekali lagi menggeleng keras, menolak tiap kata yang diucapkan oleh ayahnya. Ia tidak bisa mempercayainya, tidak ingin. Ia sudah terbiasa dengan tingkahnya membenci sang ibu dan sulit baginya untuk menerima bahwa selama ini ia telah bersalah—mengucapkan kata-kata yang menusuk wanita itu. “That’s not possible… Aku bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya, she can’t love me…”


“She can, son. She is.”


Because family means more than blood.

((OOC:

1Ayah

2Even the best horse may stumble

3Perusahaan energi di Norwegia

4From nothing comes nothing

5Blindest is he who doesn't want to see. ))

Frilla
Posted Image

Tower, at 10 p.m.
I'll wait.


PS.
Did you know the flower's language of anemone?
It means unfading love. Cliche, I know.
But I can't help if it's true.
Frilla
Nate biasanya tidak banyak berkomentar pada guru-guru PTIH yang terus berganti tiap tahunnya. Paling tidak seingatnya, sih, ia tidak banyak berkomentar. Tapi kali ini ia benar-benar terbelak. Madam Simms tidak terlalu buruk, sebenarnya. Memang make-up di wajahnya agak terlalu banyak untuknya, tapi guru wanita muda jarang ditemukan di kastil ini dan harusnya Nate merasa senang dengan pergantian ini, hanya saja wanita itu terlalu... bersinar, kalau kau mengerti maksudnya. Entah memang Simms memang berbeda atau ini karena ia sudah terlalu biasa dengan perempuan-perempuan asramanya yang memiliki aura kelam. Disebut kelam juga tidak seluruhnya benar sih, tapi jelas tidak ada pemenang kontes senyum paling indah atau semacam itu. Bukannya ia tahu apa benar si Simms ikut kontes yang seperti itu.

Tapi yang ia tidak sukai bukan masalah make-up atau sifat yang terlalu berkilau sampai menyakitkan mata itu, melainkan entah kenapa profesor di depan itu mengingatkannya sedikit banyak pada kakaknya (fakta yang tidak bisa disangkal walaupun sebenarnya ia sama sekali tidak ingin mengakui bahwa wanita itu masih memiliki hubungan darah dengannya). Bukan persamaan bahwa rambut mereka sama-sama pirang--meskipun dengan berat hati Nate akan mengakui ia lebih menyukai warna rambut Miranda, rambut si Simms itu terlihat seperti buatan. Terlalu pirang dan mengkilat. Inilah sebabnya Nate lebih menyukai wanita berambut gelap. Tapi sekali lagi, bukan itu yang membuatnya teringat akan Miranda. Mungkin senyum di wajah cantik itu, yang seakan menyembunyikan jutaan kebusukan di dalamnya. Iblis yang berkedok wanita suci yang lugu. Mungkin Nate berpikir terlalu banyak, bagaimanapun ia baru pertama kali melihat guru ini dan tidak tahu banyak tentangnya. Meskipun ia berani bertaruh guru itu pasti menyembunyikan sesuatu. Tapi selama itu tidak mengganggunya, seharusnya ia tidak ambil pusing. Seharusnya. Tapi setiap nama M itu disebut, sel-sel otaknya langsung bekerja dengan giat. Mungkin hal ini berguna dalam ujian.

Jemarinya memutar-mutar pena bulunya (bulu merak albino, 127 galleon 14 sickle). Sepasang kristal gelap menatap penuh perhitungan di balik tirai cokelat tua. Ia sepertinya harus memotong rambutnya, sudah mulai sering mengganggu penglihatannya. Nate mengacak-acak rambutnya, mulai bosan dengan penuturan panjang guru di depannya. Hingga ia mulai berpikir apakah ia bisa mendapat nilai O dengan mengajak si guru kencan kapan-kapan. Tapi soal itu bisa menunggu hingga akhir pelajaran. Atau kapanlah waktu yang tepat.

Nobody can resist him anyway.

Nate menaruh kepalanya di atas meja beralaskan kedua tangannya. Menatap dengan hampir tidak tertarik bagaimana orang-orang langsung sibuk mengerjakan karangan menenai kutukan tidak termaafkan yang diperintahkan oleh pengajar di depan. Putera Harvarth itu melirik ke anak Ravenclaw yang kebetulan duduk di sebelahnya. Dengan semangat menggebu-gebu anak itu mengerjakan karangannya yang tampaknya panjangnya akan mencapai satu meter nantinya. Membayangkannya saja Nate sudah mual. Tapi mengesampingkan rasa malasnya, ia akan mengerjakan tugas itu. Setidaknya setelah ia melirik esai milik orang di sebelahnya. Bukannya Nate tidak bisa mengerjakannya sendiri, ia tahu, kok, dasar-dasar mengenai kutukan itu. Tapi untuk apa ia susah-susah berpikir ketika ada orang lain yang bisa berpikir untuknya? Dengan alasan itu, Nate mengintip esai milik Lightdarker yang duduk tidak jauh di depannya, lalu milik Michelle dan Sylar... bercanda. Memangnya ia memiliki penglihatan bagaimana sampai bisa melihat tulisan kecil-kecil yang berada sedemikian jauhnya. Yang mengingatkannya untuk mencari mantra untuk memperkuat penglihatan nanti. Untuk sementara ini, ia bisa melihat karangan anak Ravenclaw itu dulu.

Nate mengangkat kepalanya, dengan berat hati mengambil perkamen (kualitas nomor satu, tentu saja) dari tas bewarna hitam miliknnya. Jadi... kutukan tidak termaafkan, mengingatkannya pada pangeran kegelapan dan antek-anteknya. Dan kini ia harus memberikan alasan kenapa kutukan itu bisa dipakai? Rasanya ia ingin tertawa dengan keironisan ini.



In Parchment:

Esai PTIH
KUTUKAN TAK TERMAAFKAN
dibuat untuk memenuhi nilai mata pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam

Oleh: Nathan Kehl Lothurr Harvarth
Tahun keempat, Slytherin


Kutukan Tak Termaafkan adalah kutukan yang penggunaannya kepada manusia lain akan dijatuhi hukuman seumur hidup di Azkaban. Kutukan ini ilegal untuk digunakan dengan alasan apapun. Namun demikian Bartemius Crouch, Kepala Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir, memberikan kekuasaan baru pada auror untuk menggunakan kutukan ini kepada mereka yang dicurigai sebagai pelahap maut. Kutukan Tak Termaafkan terdiri dari tiga macam, dan ketiganya adalah terlarang baik berdasarkan hukum maupun moral. Adapun kutukan ini yaitu Imperius, Cruciatus, dan Avada Kedavra. Ketiganya dikategorikan sebagai Kutukan Tak Termaafkan pada tahun 1717.

{Meskipun dikatakan terlarang, merusak, dan sebagainya, saya justru jadi bertanya-tanya alasan mengapa kutukan ini diciptakan pada awalnya. Apakah orang pada zaman dahulu memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan kita sekarang? Ataukah dari awal memang kutukan ini diciptakan oleh orang-orang yang haus kekuasaan? Meskipun entah kenapa saya memiliki firasat bahwa sebenarnya kutukan ini diciptakan oleh anak kecil. Ya, saya tidak salah tulis atau gila. Tapi mungkin saja memang anak kecil yang menciptakannya. Bagaimanapun pelafalan ketiga kutukan ini misalnya saja Avada Kedavra) terdengar seperti kesalahan pelafalan dari Abra Kadabra. Mungkin anak-anak salah mengucapkan ketiga kata itu (tahulah bagaimana bocah-bocah suka sulit mengulang perkataan orang lain) dan akhirnya BOOM terciptalah kutukan ini. Tentu saja ini hanya teori saya yang belum terbukti kebenarannya, tapi patut diperhitungkan bukan? Bagaimanapun ini adalah teori yang masuk akal.}


I. Kutukan Imperius
Kutukan Imperius adalah kutukan yang digunakan untuk mengambil alih kontrol atas tubuh seseorang. Dikatakan bahwa korbannya akan berada dalam kondisi setengah sadar dan merasa seakan seluruh bebannya hilang sehingga korban merasa tidak ada ruginya untuk mengikuti kehendak sang pengguna kutukan. {Entah ada apa dengan orang-orang yang dikutuk ini, tapi kalau saya sendiri tidak akan semudah itu mengikuti perintah orang lain tanpa tahu untung ruginya}

Kutukan imperius, layaknya sihir hitam yang lain, digunakan untuk kegiatan yang bertujuan untuk meraih kekuasaan, merusak, mencelakai orang lain, dan kegiatan kriminal lainnya. Catatan sejarah belum pernah menunjukan adanya penggunaan kutukan ini untuk tujuan yang baik.

{Tidak mengherankan, karena mempelajari ilmu hitam saja sudah menunjukan tabiat yang tidak baik sebenarnya. Tapi saya rasa imperius terkadang bisa diterapkan untuk hal-hal yang cukup baik. Misalnya untuk laki-laki malang yang menyukai gadis paling populer di sekolah, namun gadis itu menatapnya saja tidak mau (bukannya ini pernah terjadi pada saya, maaf-maaf, ada juga yang terjadi kebalikannya). Kutukan imperius ini bisa digunakan kepada si gadis, siapa tahu ia akan sadar dengan kebaikan yang ada di hati si laki-laki. Meskipun penggunaan kutukan ilegal macam itu menunjukan sebaliknya mungkin, tapi yang penting niat dan cinta si laki-laki yang sangat besar hingga rela melanggar peraturan. Betul?}


II. Kutukan Cruciatus
Kutukan Cruciatus digunakan untuk memberikan rasa sakit yang amat sangat pada korbannya. Beberapa ahli sejarah percaya bahwa kutukan ini pertama kali digunakan pada zaman Kekaisaran Romawi untuk menghukum para tahanan dan budak. Hal ini dikarenakan Crucio atau Cruciatus berasal dari bahasa Latin cruciare yang artinya untuk menyiksa atau menyakiti.

{Jadi, alasan untuk menggunakan kutukan ini agak lebih mudah. Bisa digunakan di beberapa kalangan masyarakat yang masih memiliki adat hukuman siksa seperti Asia Barat dan Eropa Selatan. Atau bagi para masokis, mungkin mantra ini dapat berguna. Dan tidak akan meninggalkan bekas! Itu hal yang paling penting saya rasa. Terkadang ada orang-orang menyukai rasa sakit namun tidak ingin ketahuan oleh orang lain atau tidak ingin melihat luka di tubuh mereka. Jadi tentu kutukan ini bagus juga untuk mereka. Lagipula, tidak ada larangan untuk menggunakan kutukan ini pada tubuh sendiri bukan? Bukannya saya ingin mencoba atau apa. Maaf, saya dan kutukan Cruciatus? Jelas bukan pasangan yang baik.}


III. Kutukan Avada Kedavra
Kutukan Avada Kedavra adalah kutukan yang mengakibatkan kematian pada korbannya, tanpa luka dan tanpa jejak sehingga mustahil untuk mengetahui siapa orang yang mengucapkan mantra tersebut apabila tidak ada saksi mata. {Kecuali jika ada tanda tengkorak di atas mayat itu, sudah jelas pelakunya adalah kawanan yang itu.}

Avada Kedavra berasal dari kata archaic Sanskrit yang artinya 'from life, nothing'. Kebalikan dari kata Abra Kadabra yang berasal dari bahasa yang sama yang artinya 'from nothing, life'. Beberapa etimologist menyimpulkan bahwa mantra ini pertama kali digunakan di wilayah India yang sebenarnya sama sekali tidak mengherankan mengingat banyak sekali penyihir hebat berasal dari daerah ini.

{Saya curiga bahwa awalnya mantera ini digunakan untuk membunuh sapi. Maksud saya, di India, mamalia yang satu ini dianggap keramat dan sebagainya sehingga tidak mungkin disembelih layaknya ayam atau hewan lain. Tapi dengan mantra ini VOILA! mereka bisa tetap makan daging sapi yang lezat dan bergizi tanpa harus khawatir tidak menghormati leluhur atau dewa mereka! Meskipun saya masih berpendapat bahwa mantra ini awalnya ditemukan karena salah pelafalan.}



PS.
Maaf saya menggunakan kata ganti orang pertama di dalam tugas, ma'am. Tidak tahan untuk tidak melakukannya. Mungkin bisa dibayar dengan, ehem, detensi pribadi?
Frilla
Malam itu cerah. Bahkan angin musim gugur malam itu tidak bisa meredakan kehangatan yang meliputi kelegaan semua orang. Mungkin tidak semua, tapi kebanyakan orang. Dan di atas jembatan itu seorang pemuda berdiri. Sebuah piala emas dalam genggamannya. Cairan jingga di dalamnya ikut bergerak ketika sang laki-laki mengangkat piala itu. Senyum asimetris terpahat dalam wajah anak laki-laki bernama Nate itu.

Suasana dunia pasti sedang gempar. Kau-Tahu-Siapa sang penebar terror telah lenyap untuk selama-lamanya. Bahkan ia sendiri masih mengalami kesulitan untuk mempercayainya. 31 Oktober, hari haloween yang tidak memiliki keunikan tersendiri dibandingkan tahun lalu minus berita serangan pelahap maut yang semakin merajalela tiap harinya. Lalu berita menyebar dengan cepat bahwa pangeran kegelapan telah kalah. Lenyap tanpa bekas. Mati. Karena seseorang dengan nama—Potter? Ia tahu nama itu, (selain itu salah satu keluarga berdarah murni) seeker Gryffindor yang dulu selalu bersaing dengan salah satu Slytherin yang legendaries, Regulus Black. Entah detil mengenai hal itu bagaimana, meskipun berita yang beredar mengatakan anak dari James Potter berhasil menolak kutukan kematian. Nate tidak tahu dan tidak berniat untuk mencari tahu.

Semua senang, semua puas, semua lega. Suasana kastil terlalu ceria hingga dia merasa muak. Bukannya Nate tidak suka dengan kepergian Kau-Tahu-Siapa. Hanya saja, suasana itu sama sekali tidak cocok untuknnya. Memang tahun-tahun kegelapan akhirnya berakhir setelah semua kehilangan yang menimpa. Meskipun Norwegia tidak sekelam Inggris, ia sudah merasakan kepahitan akibat kehilangan keluarganya dalam perang. Tidak sekalipun ia sudi memaafkan pangeran kegelapan yang berani mengusik keluarganya.


Waktu bergulir.
Surya terbit dan tenggelam.
Hari berganti.


Tawa memuncah tanpa rasa humor di dalamnya. Itu hanya suatu bentuk ekspresi dari kenyataan ironis yang baru diketahuinya. Kakaknya tewas sesaat sebelum kejatuhan pangeran kegelapan. Entah berada di pihak siapa sebenarnya gadis berumur dua puluh tahunan itu. Korban yang berada di saat dan waktu yang tak tepat, membantu aurorkah, atau justru sebenarnya pelahap maut. Terpukul ia. Meskipun kakak tertuanya itu membencinya. Tapi Nate tidak sedih atau merasa kehilangan. Dan ia merasa bersalah karena sedikit banyak merasa senang dengan kematian ini. Apakah itu berarti dia orang jahat? Ia senang karena salah seorang kakaknya mati. Ia merasa lega. Apakah ini berarti pendapat gadis yang lebih tua darinya itu memang benar? Bahwa Nate memiliki hati yang busuk dan hanya akan menyengsarakan orang lain. Peduli setan. Miranda sudah mati.


“For the Dark Lord and may he rest in peace.”

Or rot in hell.

Nate mengangkat pialanya ke arah langit dan meneguk isinya. Jus labu tidak pernah terasa seenak ini sebelumnya. Dan boleh dia berkata persetan dengan anggapan orang lain yang mungkin lewat tentang dirinya yang berdiri sendiri dengan piala emas khas Hogwarts di tangan?
Frilla
Hatinya mencelos.
Sekali.



Surat itu datang di pagi hari. Sarapan dengan menu yang biasa dengan keadaan yang seperti biasa. Langit-langit sihir yang cerah, identik dengan langit musim gugur di luar. Sang tuan muda Harvarth duduk di ujung meja asrama berpanji hijau. Sekali dua kali ia mengetuk-ngetuk jarinya di meja, sementara tangannya yang satu memegang koran yang baru tiba. Serangan Kau-Tahu-Siapa masuk dalam halaman utama, seperti biasanya. Di kolom iklan ada orang yang menjual sapu PanahPerak yang sudah cukup langka. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya. Firasat pemuda itu sudah tidak enak sejak bangun. Ia tahu hari ini pasti tidak akan menyenangkan. Yang tidak ia ketahui adalah burung hantu elang milik keluarganya akan datang dan membawa goresan tinta yang membuatnya menjatuhkan piala emas dalam genggamannya.


Ayahmu masuk rumah sakit.




Langkahnya berderap cepat meninggalkan gerbang Hogwarts, meninggalkan dunia di luar gerbang yang penuh dengan kesengsaraan. Mantel cokelatnya bahkan tidak bisa mengusir dinginnya musim gugur padahal ia sudah terbiasa dengan suhu minus sepuluh derajat di tanah kelahirannya. Mungkin bukan dingin musim gugur yang membuatnya menggigil, mungkin bukan angin yang membawa hawa yang menusuk tubuhnya. Putra Harvarth itu mempercepat langkahnya, berharap pada kemungkinan yang sedikit saja, bahwa ia tidak terlambat.

Hatinya mencelos.
Dua kali.




Tidak sekalipun ia menyiakan waktunya yang terbatas. Izin untuk keluar dari sekolah tidak sulit begitu ia menunjukan suratnya. Tapi tetap saja ada orang yang tidak mengerti kebutuhan seseorang untuk bertemu dengan orang tuanya, apalagi kalau mungkin waktu mereka hanya sedikit. Tidak ada yang bisa melarang seorang anak untuk menemui ayahnya—dan ia ingin mengajarkan pelajaran itu pada seorang penyembuh yang menolak memberikannya izin masuk. Ia berdebat lama dan pria tua sok tahu itu sama sekali tidak bergeming. Malaikat penyelamat datang, wanita berambut ikal keemasan yang tampak benar-benar seperti malaikat saat itu. Sayang pangeran Harvarth itu terlanjur menyadari siapa sebenarnya malaikat itu—dan dia hanya bisa menerobos masuk langsung ke bangsal kelas VVIP tempat Odieneer Harvarth dirawat, tanpa ucapan terima kasih pada sang ibu. Pilu menginvasi hatinya. Sesaat ia merasa dunia runtuh.

Di sana terbaring sang ayah, pucat dan dikelilingi oleh tim penyembuh St. Mungo.




Derapnya terdengar semakin cepat. Ia tahu ini saat-saat yang penting. Namun semakin ia mendesak kakinya untuk berlari, tubuhnya semakin tidak menuruti perintahnya. Jantungnya terus memompa darah ke seluruh tubuhnya—memberikan asupan oksigen pada sel-sel yang kelelahan. Ia tidak ingin dikalahkan oleh keadaan, Nathan Kehl Harvarth bisa memenangkan semua pertandingan. Sekalipun itu adalah pertandingan antara niatnya dengan tubuhnya.

Kristal cokelat milik pangeran Harvarth itu menyipit, memfokuskan pemandangan di depan yang terlihat buram. Di sana, berdiri dengan gagahnya stadion tempatnya mengejar kemasyuran selama ini. Suara-suara terdengar dari dalam, sorak-sorai gegap gempita merayakan kemenangan salah satu tim yang berhasil mendapat angka terbanyak. Ia terhenyak, perlahan mengehentikan langkahnya. Jantungnya berdegup semakin kencang. Siapa yang menang dan siapa yang kalah. Ia melangkah memasuki stadion itu perlahan—menunda ilmu tentang kemenangan dan kekalahan meski asa ingin menarik kerah seseorang dan bertanya secepatnya. Seiring dengan langkahnya, jantungnya berdetak semakin cepat kalau memang masih mungkin. Dan mereka keluar—supporter dari tim yang menang selalu keluar sambil bernyanyi dengan penuh euphoria. Kali ini mereka membawa panji—

—kuning.

Ia terlambat.

Hatinya mencelos, darahnya tersirap.
Tiga kali.



Putra Slytherin itu tahu bahwa asrama berlambang ular itu tidak pernah kalah dari sang musang penjunjung loyalitas. Seakan itu sudah menjadi suatu kenyataan yang diketahui khalayak umum, bahwa predator selalu unggul atas mangsanya. Tapi kali ini keadaan berbalik—dan itu semua mungkin karena dia terlambat. Bahunya terasa lunglai, mendadak beban berat seakan dijatuhkan di atas punggungnya. Ia melangkah ke arah tim berjubah emerald yang mendarat di tepi lapangan. Raut tidak percaya dan kekecewaan menghiasi wajah-wajah itu. Sang pemuda menggertakan giginya menatap semua itu. Menyaksikan ke tujuh pemain turun perlahan.


“Kalian bermain,” sesaat nafasnya tercekat, “bagus.”

Pikirannya menyuruhnya untuk menyalahkan mereka yang bermain, karena telah dikalahkan oleh tim lawan. Tapi yang ia rasakan hanyalah rasa bersalah. Seakan apa yang ia lakukan tidak pernah benar, seakan semua keputus asaannya mendatangkan keburukan pada orang lain, seakan artinya hidup di dunia adalah untuk menyengsarakan orang lain.

Matanya terasa terbakar saking perihnya. Tapi Nate tetap diam—berdiri di sana dan memberikan senyum hampa pada mereka yang berjuang. Sampai akhirnya ia sendiri tidak tahan. Siapa yang bermain dan siapa yang tidak. Kakinya terasa mati rasa setelah berlari secepat yang ia bisa dan hasilnya—nihil. Ia ingin tertawa, ia ingin menangis. Tidak memiliki kemampuan untuk melakukan apapun—tidak sanggup menolong timnya. Tidak sanggup mengusir kekecewaan yang dirasakan oleh orang yang paling penting baginya. Ingin membuka mulut tapi tak ada lagi suara yang dapat keluar. Hanya kehampaan yang bisa ia rasakan dan kali itu, ia berpikir bahwa matipun tak apa. Sesak memenuhi rongga dadanya, memuncah dan membuatnya kesulitan bernafas. Engahnya semakin cepat dan ia mundur—akhirnya menjatuhkan diri di lapangan.

Empat belas tahun dan ia merasa semakin kecil. Empat belas tahun dan ia merasa semakin tidak berguna. Di sana ia terduduk—memperhatikan sepupunya dan kapten singa menghampiri sang putri dalam diam. Rindu. Betapa dia berharap dia bisa menggantikan mereka—merengkuh gadis itu dan mengusir rasa kecewa yang dirasakannya. Tapia apa daya ia tak mampu—ia tidak bisa melakukan apa-apa, bagaimana dia berpikir bisa membahagiakan orang itu? Pikirannya tahu untuk menjauh, otaknya memerintahkannya untuk tidak memikirkan apa yang tidak seharusnya ia pikirkan. Tapi hatinya terus berbisik, perasaannya semakin mendorongnya untuk menarik sang putri ke dalam pelukannya. Tapia apa daya ia tak mampu. Dan ia hanya bisa merindu. Mengasihi. Menyayangi. Mencinta. Menyesal.


Menyedihkan.