Frilla
It never crossed my mind at all
That's what I tell myself—


Michelle belum menyerah. Selama ini ia hanya menunggu, memendam begitu banyak lontaran pertanyaan. Pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan kemampuan otaknya yang tergolong di atas rata-rata, pertanyaan sama yang juga tidak bisa dijawab oleh harga dirinya. Ia memendam begitu banyak ketidakpuasan. Kemarahan. Dan rasa cemburu. Mungkin jiwa dalam dirinya sendiri menolak menyatakan bahwa ia sudah menerima semua fakta dan kenyataan bahwa seseorang yang telah begitu ia percayai, dicintainya dengan sepenuh hati akan dapat meninggalkannya sampai seperti ini untuk seorang... seorang lain yang tidak berharga—setidaknya dilihat dari sudut pandangnya. Namun kenyataannya hal itu terjadi, dengan sangat jelas di depan batang hidungnya. Jadi?

—what we had has come and gone

Ia menyesal sudah berpikir akan menyerah atas pencarian jawaban tersebut. Sudah saatnya ia sadar bahwa ia harus tahu, alasan mengapa dirinya ditinggalkan.

Bukankah sangat melelahkan? Menjawab pertanyaan yang sudah jelas nonsense. Apa yang pada diri musang belang-belang itu yang tidak terdapat pada diri Michelle? Jejerkanlah semua kemungkinan yang dapat kau temukan dan lihat apakah ada bahkan satu dari seribu hal yang dimiliki gadis itu yang luput dari kecemerlangan dirinya. Cantik? Pintar? Hmph! Kalau salah satu dari opsi yang kalian maksud adalah manja, genit, dan memalukan—jelas Michelle tidak memilikinya. Dan maaf, maaf saja. Ia juga tak mengira kalau mantan kekasihnya lebih merekomendasikan sifat-sifat semacam itu yang tercantum di dalam daftar tipe gadis atau selingkuhan idamannya. Ia pikir ia segalanya yang diinginkan Nate. Ia pikir mereka sempurna untuk saling mengisi satu sama lain.

You're with her now
I just can't figure it out


Namun mungkin itu hanya bayangan yang mengisi pemikirannya saja. Hanya dirinya yang berpikir seperti itu. Ingat apa yang dikatakan Nate saat mereka berpisah? Ia lelah. Excuse moi—he's tired—saudara-saudara, lelah pada hubungannya dengan Michelle. Tidakkah itu menjelaskan bahwa sesungguhnya semua kisah indah bak dalam dongeng itu hanya khayalan dari satu pihak saja? Dan ia merasa sangat konyol setiap kali teringat hal ini. Siapa yang dibodohi dalam cerita ini? Setiap kali ia merasa luarbiasa girang hanya karena sekiranya dapat duduk di sebelah pemuda itu saat pelajaran Ramuan, atau karena malam ini mereka akan tertawa bersama sambil menikmati akhir pekan di ruang rekreasi asrama—ia samasekali tidak menyadari bahwa satu-satunya hal yang berada dalam pikiran kekasihnya adalah, ia lelah dan akan sangat bersyukur jika si gadis musang datang dan membuyarkan semua adegan ini.

Damn hell—
mana Michelle tahu!?

Terlepas dari kenyataan ia jelas-jelas belum pernah mempelajari kemampuan Legilimency, siapa pula yang dapat menduga kalau semua senyum manis, tutur kata lembut yang ditawarkannya pada Michelle selama ini kemungkinan hanyalah sandiwara belaka?
Senja itu terasa lebih lama dibanding hari-hari lain di musim semi pada tahun yang sama. Pemandangan yang terpantul di permukaan danau hitam masih belum berubah. Teduh, hangat. Seakan dipeluk oleh semburat merah jingga yang terlukis di sana. Ketenangan yang menghiasi, hanya sesekali percik air dan gemerisik daun yang terdengar. Dan gelak tawa kecil yang berasal dari sepasang remaja di tepi danau.

"Memangnya seorang Nathan Harvarth bisa takut juga?" Kata yang perempuan, suara soprannya bernada ringan dan riang. Ia mengayunkan tangannya yang saling berkait dengan milik seorang lain yang berdiri di hadapannya, tatapannya menyorot pada rona merah yang tergurat di pipi lawan bicaranya. Diam sesaat, gadis itu berhenti bergerak dan menunduk sedikit, menimpali di dekat telinga pangerannya. "Kukira tidak ada hal yang bisa membuat orang lain tidak menyukaimu."

Secara tanpa sadar, gurat yang sama kini terpeta di wajahnya setelah mengucapkan kalimat terakhir. Kini terlihat jelas ia nampak salah tingkah, mungkin merasa kata-katanya agak berlebihan sekalipun terdengar begitu tulus ketika dilontarkan olehnya. Senyum manisnya jadi terlihat agak sedikit grogi, dan tatapan bolamata cokelatnya yang bening teralih sesaat ke arah danau.

“Menurutmu begitu?” ujar yang laki-laki dengan sedikit heran tapi senang juga mendengar ucapan gadis itu. Bola matanya bergulir meneliti wajah gadis itu yang terlihat agak salah tingkah, mungkin. “Tapi kurasa, aku memiliki lebih banyak orang yang membenciku ketimbang menteri sihir sekalipun,” ujarnya ringan seolah itu hal yang biasa atau mungkin hanya sebuah lelucon.

“Tapi aku senang, kalau Michelle memang berpendapat begitu. Itu berarti—kau benar-benar menyukaiku kan?“

Gadis pemilik nama Michelle terlonjak sedikit, kembali menyatukan pandangan keduanya selama sepersekian detik sebelum kembali pura-pura merasa sangat tertarik pada pemandangan di sekitarnya. "Kau ini bicara apa sih," jemarinya bergerak gelisah di bawah genggaman kekasihnya, "sudah pasti, kan?"

Michelle tidak mau mempercayai, kalau pada momen itupun Nate hanya berpura-pura tidak lelah.

Dan ia dengan naif-nya membiarkan tubuhnya direngkuh, sekali lagi terbenam dalam pelukan Nate, merasakan semua rasa yang tidak pernah berhenti menggelegak di dasar dadanya. Tak lagi peduli, Michelle lebih memilih untuk mempercayai bahwa pernyataan 'Fine. I'm tired of this, anyway!' yang terucap hari itulah yang salah—dan bukannya harapan yang selama ini diberikan oleh Nate. Dan, please—sekalipun Michelle tahu dengan jelas bahwa ia terdengar tolol saat menyadarinya—ia masih berharap bukan hanya dirinya yang mendera rasa sakit akibat perpisahan ini. Bukan hanya dirinya... yang ingin menganggap semua itu tidak pernah terjadi. Lupakan saja, dan mereka dapat kembali ke masa-masa dimana hanya ada Michelle dan Nate. Nate dan Michelle. The end.

Tell me why—
you're so hard to forget


Gadis itu mengangkat wajahnya, berusaha menghujam Nate dengan luapan emosi campur-aduk yang ia tembakkan melalui tatapan mata cokelat pekatnya pada sosok yang mengambil beberapa langkah mundur ke belakang. Sudahkan Michelle katakan bahwa ia belum menyerah? Ia akan membuktikan kalau apa yang ia percayai selama inilah yang benar—Nate dan perasaannya yang berbalas adalah nyata—dan bukannya kekonyolan bahwa selama setahun terakhir ia hidup dalam dunia khayal. Michelle tidak akan, melepaskan kesempatan untuk mendapatkan miliknya kembali.

Don't remind me—
I'm not over it


Ia terus mengawasi dalam diam, dengan tatapan tajam sekaligus penuh harapnya, siluet anak laki-laki yang beranjak dari posisinya dan menjauh selama beberapa saat. Sedikitpun tidak ia indahkan—sekalipun menyadari—pandangan bola mata lawan bicaranya yang jelas menghindarinya. Pikirannya hanya terfokus pada satu hal. Kalimat yang cepat atau lambat akan meluncur keluar dari bibir pemuda itu—jawaban. Nate takkan dibiarkan melarikan diri dengan mudah dari tentunya, kalau memang ia berniat begitu.

Michelle menarik napasnya perlahan, teratur. Tubuhnya sudah mulai mendapatkan kembali panas yang hilang, meski tentu saja belum kering betul. Untunglah angin nampaknya juga enggan bertiup sehingga ia tidak perlu bergelut lebih lama dengan sensasi bulu kuduknya yang meremang; seakan tak pula berniat mengusik dua insan yang tengah terlibat situasi yang serius di tepi danau pada senja hari itu. Ia menggerakkan tangan, kini jemari-jemarinya ditautkan satu sama lain dan diletakkan di atas kedua lututnya yang terlipat di depan dada. Kedua maniknya masih membayangi punggung Nate ketika sosok itu memungut sesuatu, dan sesaat berselang berbalik.

“Seingatku, kau yang pertama melempar dan menginjak kalung itu.”

Cih. Gadis itu menelengkan kepala, melemparkan pandangnya ke arah lain saat pemuda di hadapannya mengulurkan jaket abu-abu yang sepertinya tadi ia campakkan sesaat sebelum menceburkan diri ke dalam danau. Ia tidak bergeming, diam selama beberapa detik dalam posisi seperti itu—kedua tangannya masih menelungkup di atas lutut. Jelas bukan itu jawaban yang ia inginkan akan terlontar dari mulut mantan kekasihnya tersebut—meski ketika dipikir ulang apa yang Nate katakan memang ada benarnya. Secara harfiah, memang ia yang memutuskan untuk mengakhiri semua hubungannya dengan pemuda itu. Merenggut dan membuang kalung miliknya yang menjadi simbol ia pernah menjadi milik Nate. Pernah.

Maybe I regret
Everything I said
No way to take it all back


Jika sekarang Michelle mengatakan bahwa ia menyesal sudah melakukan hal itu, apa semuanya akan kembali seperti dulu? Hmph, you wish.

"Bukan itu yang ingin kutanyakan," Ia mendengus kecil berkata dalam nada mendekati bisikan, matanya kembali menatap Nate dan nampak ragu beberapa saat sebelum menerima tawaran jaket yang diserahkan padanya, "kukira kau tidak lupa alasan mengapa aku melakukan hal itu."

Michelle terdiam, mau tidak mau kelebatan kejadian di Hogwarts Express hari itu tereka ulang dalam ingatannya. Ia tidak sanggup menatap wajah sosok di hadapannya yang begitu menyakitkan—mengingat perannya sebagai tokoh utama dalam adegan itu. Maka pandangannya berpindah sejenak pada jaket dalam genggamannya, tidak ia gunakan. Terakhir kali Nate menyampirkan—ralat, melemparkan—pakaian miliknya ke tubuh Michelle, itu terjadi di ruang rekreasi pada tengah malam dan sampai sekarang Michelle belum memiliki kekuatan untuk dapat mengembalikan milik pemuda itu. Keberadaan sebuah benda yang merupakan milik Nate di dekatnya membuat ia merasa tidak pernah ditinggalkan oleh pemiliknya.

Tell me why—

Seakan merasa pertanyaannya sebelum ini masih terasa ambigu dan mungkin dihindari, Michelle sekali lagi membuka mulut. "Kenapa kau menciumnya?" Kali ini suaranya terdengar lebih keras dan bergetar, dan sorot matanya masih terpaku pada benda di tangannya. Masih belum dikenakan. Pikirannya terlalu sibuk mempertimbangkan jawaban apa yang dapat dilontarkan lawan bicaranya setelah ini dan mempersiapkan diri untuk mendengarnya. 'Karena aku mau'? 'Karena ia manis'? 'Karena aku bosan denganmu'? Apapun itu.

Dan ia tak bisa membohongi diri sendiri dengan mengatakan ia tidak mengharapkan pernyataan maaf keluar dari mulut seorang Nathan Harvarth—seberapapun egoisnya ia terdengar sekarang.

—I'm just a little too not over you
0 Responses