Frilla
On the day I couldn’t see
my heart I felt insecure
The meaning of loving somebody
it’s something I decide myself


Detik, menit, jam. Waktu memang sudah ditakdirkan untuk berjalan dan tidak ada kehendak dari siapapun yang bisa menghentikannya. Layaknya butir jam pasir yang terus jatuh, kehidupan juga terus bergulir. Meskipun tiada detik yang tidak ia lewati tanpa penyesalan. Seakan seluruh perbuatannnya bertahun-tahun ini adalah kesalahan, hanya tersisa rasa sesal yang membuncah dan harapan untuk memutar kembali sang waktu. Tapi kala yang hilang juga telah menjadi gurunya. Dan kini Nathan Kehl Harvarth akan memperbaiki salah satu kesalahannya.

Pukul sembilan lewat lima puluh lima menit. Sepuluh menit berlalu sejak anak laki-laki itu tiba di menara. Setelah melewatkan musim dingin di Norwegia yang suhunya mencapai minus dua puluh derajat tahun ini, Nate sanggup ke luar di malam hari hanya dengan berlapis sweater putih tidak seberapa tebal di atas kemejanya. Meskipun memang hangat yang dibawa musim semi sudah mulai mencairkan salju di luar. Anak laki-laki itu berdiri dalam diam. Manik cokelatnya menatap pemandangan di luar jendela yang dari ketinggiannya sekarang, hanya tampak seperti dataran hampa, siap dipenuhi benih-benih baru keesokan hari, berkilauan dalam temaram rembulan. Rasa antisipasi menjalar ke tengkuknya. Bukan gelap malam yang menjadi musuhnya, bukan angin yang membuatnya gemetar. Degup yang sama, bukan, lebih menegangkan daripada saat mengejar kemahsyuran di lapangan quidditch. Mengejar dan menangkap snitch. Dan kali ini juga.


“You've been terribly chipper these days. May I ask what merits the occasion?”
“A game. The most important match in my life.”



Tiga tahun, kurang lebih. Siapa yang bisa percaya selama waktu itu hidupnya ia habiskan dalam sebuah dunia khayal. Curiga dan dengki, tak percaya bahwa ada artinya ia dilahirkan. Berpikir selamanya ia ditakdirkan berada dalam kegelapan, sendiri karena tidak ia tidak pantas untuk didampingi. Menatap penuh rindu apa yang ia pikir bukan untuknya. Sulit dipercaya begitu bodohnya otak yang selama ini ia banggakan itu. Andai saja dari awal ia bisa melihat dengan mata yang benar-benar terbuka, Nate tahu hidupnya sebenarnya sudah sempurna dari awal. Tapi dia telah mengacaukannya, dengan tangannya sendiri. Dan penyesalan yang seperti apapun tidak akan cukup untuk menghapus kebodohan yang telah dilakukannya.

Tapi ia masih bisa memperbaikinya bukan? Ia harap... masih. Dan dengan setitik harapan itulah, ia berdiri di tempat itu. Menunggu akan datangnya sang putri. Kalau itu masih mungkin. Tiga tahun penghindaran, sesak dan tersakiti namun tahu bahwa itu adalah yang terbaik untuk orang yang begitu berarti. Nate tidak peduli betapa sakitnya penderitaan yang harus ia rasakan. Anything for her happiness, anything. Tapi tampaknya justru sebaliknya. Nate telah menyakiti, melukai hati gadis itu. Ia tidak yakin, apakah kata-katanya, tindakannya, bisa membuat sang putri kembali menatapnya seperti dahulu. Hatinya terus memanggil, berdenyut untuk satu kemungkinan kecil. Bahwa apa yang dikatakan oleh gadis itu... pengakuan yang begitu tulus itu, masih ada. Masih nyata. Meskipun Nate sendiri yang sudah mencabik kepercayaan dan harapan. Ia berharap, meminta, memohon, agar setidaknya, belum terlambat baginya. Untuk jujur pada perasaannya, untuk jujur pada orang yang dikasihinya. Untuk mendapatkan kembali apa yang telah hilang. Sekalipun ia harus menjual jiwanya sekalipun.


Satu menit.

Tinggal enam puluh detik lagi.


Gemetar. Bagaimana seandainya semua harapan yang dipegangnya selama ini hanyalah kepalsuan belaka? Seandainya ia tidak datang. Apa lagi yang bisa diharapkannya sesudah itu? Hancur. Lebur. Ucapkan selamat tinggal pada Nathan Kehl Harvarth. Gemetar. Seandainya, seandainya janji itu palsu, terlupakan. Apa lagi yang bisa ia percayai? Ia tidak berpikir sejauh itu sebelumnya. Belum terlambat baginya untuk pergi. Lebih baik ia tidak tahu daripada harus mengetahui kebenaran yang menyakiti. Kakinya ingin membawanya lari dari sana. Secepatnya pergi dari tempat itu, ikrar yang pertama. Sumpah selamanya. Mereka, berdua. Tanpa orang lain. Dan ia ingat saat itu. Seakan baru, seakan tidak pernah terlewati. Saat ia percaya bahwa segalanya sempurna, karena mereka berdua, dan itu cukup. Untuknya, untuk mereka, untuk dunia. Percaya. Harapan. Janji. Kasih. Kemana perginya hal-hal itu selama ini? Apa ia yakin akan membuang mereka sekali lagi, tanpa pernah mempelajari bagaimana perasaan sang putri sebelumnya.

Ingin tertawa, ingin menangis. Kakinya tak sanggup melangkah, tubuhnya bersandar pada bingkai jendela. Malam itu juga cerah seperti saat ini. Bintang-bintang menjadi saksi dari ikrar rahasia mereka. Berdua. Dua. Dua. Tanpa orang lain. Tuhan, betapa ia menginginkan semua itu kembali. Perasaan memuncah ini, tak bisa ditahan. Biarkanlah. Betapapun sakitnya kebenaran. Selama itu yang diinginkan oleh sang putri. Nate menerimanya. Apapun konsekuensinya. Dan Nate menyadari betul posisinya sekarang. Seorang manusia. Merasa, menginginkan, mempercayai, mengharapkan. Sakit, kecewa, sedih, senang, bahagia. Ia tidak peduli, sekalipun kali ini yang diterimanya adalah penolakan. Ketidakhadiran, muak. Nate... akan menerimanya. Meskipun, setitik harapan itu tidak pernah hilang.

Three years ago, I gave you a proposal.
Tonight, I'm offering you my hope.



I promise you, I won’t wander off anymore
I’ll be strong...and prove myself to you
I won’t run away, I’ll turn around to face you
so I can see how you feel
0 Responses