Frilla
Kenapa kau menciumnya?

Kenapa?

Kenapa kau melakukan itu, Nathan?

Kenapa kau tidak pernah dapat melakukan sesuatu dengan benar?

Kenapa kau harus dilahirkan?!

Kenapa—ia juga tidak tahu.

Don’t love me because I’m lost
Because it’s my destiny
Because I can’t change




Siluet dua orang di tepi danau menghiasi pemandangan senja kelabu itu. Seorang yang berdiri dengan tangan di dalam kantung celananya tampak menggigil meskipun tidak terlalu kentara. Wajahnya menghadap ke arah danau meskipun kedua bola mata mahogani sesekali bergulir ke sudut matanya—menatap sosok seorang putri berambut panjang yang duduk tidak terlalu jauh darinya. Tampak ragu-ragu untuk mengenakan benda abu-abu di tangannya. Si laki-laki ingin merenggut benda itu dan langsung menyampirkannya ke bahu gadis itu—tapi pada akhirnya ia tetap berdiam diri saja. Tidak mungkin ia melakukan hal itu—bagaimana kalau ia ditolak? Membayangkannya saja sudah membuat kepalanya tidak karuan.

Apa yang kau harapkan, Nate? Bahwa apapun yang kau lakukan—Michelle akan terus ada di sampingmu? Dia tidak akan meninggalkanmu seperti yang lain? Sungguh harapan yang sangat tinggi untuk seseorang sepertimu.

Sejujurnya, ia bahkan tidak mengerti dirinya sendiri. Di satu sisi, ia ingin bersama Michelle—tidak ada yang lebih diinginkannya dari itu. Tapi di sisi yang lain, ia tahu ia tidak cukup baik untuk mengharapkan hal itu. Karena di cerita manapun sang putri tidak pernah berakhir dengan seorang penyamun—atau seorang rakyat jelata. Meskipun sang penyamun mencoba untuk berpura-pura menjadi pangeran sekalipun—pada akhirnya penyamarannya akan terungkap. Dongeng dengan tegas menyatakan putri hanya bisa bersama pangeran. Dan siapalah dia untuk mengubah hal itu?

Don’t love me
Because my heart is breaking


Nate tahu—lebih dari siapapun—bahwa ia bukanlah tipe yang akan menjadi prontagonis dalam suatu cerita. Lantas apa yang membuatnya berpikir bisa menjadi pangeran berkuda putih untuk sang putri? Ia tidak cukup dalam semua aspek untuk menjadi seseorang yang bisa disetarakan dengan Michelle. Tapi semua hari-hari yang telah mereka lewati—setahun yang penuh dengan semua kenangan akan mereka berdua—apa itu semua tidak bisa terulang kembali? Siapa yang membuat hari-hari itu berakhir—kesalahannya kah? Apa yang telah ia lakukan…?

Tapi—apapun yang terjadi, ia tidak ingin melepaskan Michelle.



Si pemuda terdiam mendengar jawaban sang putri. Bukan masalah kata-katanya tapi justru gerak-gerik gadis itu yang membuatnya sedikit merasa tidak enak. Genggamannya terlepas dalam suasana yang canggung itu. Ia memalingkan wajahnya ke arah danau dan berujar ringan, menyembunyikan rasa was-was yang menyelimuti hatinya.

“Kau tidak menyukaiku juga tidak apa-apa. Asalkan kau merasa senang meskipun harus mengikuti keegoisanku—kurasa aku bisa menerimanya.”

Ekspresi gadis itu jelas tidak secerah sebelumnya. Tersapu rona heran dan keterkejutan yang tidak dapat ia sembunyikan, mata cokelatnya mengawasi pemuda di hadapannya dengan hati-hati. "Kenapa? Tidak biasanya kau begini," nada khawatir yang kini terdengar, sebelum ia melanjutkan dengan suara yang dalam—sepertinya menyadari pembicaraan ini sudah bukan bagian dari candaan riang lagi. "Bukankah aku sudah pernah berjanji? Selama kau menginginkannya, aku selalu disini. Selalu."

“Tapi kalau kau merasa terpaksa—“ kata-katanya terputus di tengah-tengah. Ia mengangkat bahu dan duduk bersila di tanah sebelum mengisyaratkan gadis itu untuk duduk di sampingnya.

“Ah—entah kenapa musim semi jadi membuatku melankolis. Gawat sekali ini, ya,” candanya diikuti dengan gelak tawa.




Don’t love me
You have suffered enough


Kepala pemuda berambut cokelat itu tertunduk. Matanya tidak lagi menatap kiri dan kanan—berharap bisa melihat wajah yang menghantuinya selama ini. Mungkin ini klise. Dulu Michelle—adalah gadis yang dipilihkan Sylar untuk taruhan mereka. Kemudian Michelle menjadi orang yang paling sering melewatkan waktu bersamanya. Sekarang Michelle menjadi orang yang paling penting baginya. Nate tidak sanggup—ia bukan orang yang pantas. Cukup sudah egoisme yang ada padanya—

Biarkan masa lalu lepas, untaian waktu tiada kembali. Ini adalah akhir dari keegoisannya. Michelle tidak menyukainya—membencinya—juga tidak apa-apa. Asalkan dia bahagia... Nate bisa menerimanya. Harus bisa. Sakit juga tidak apa-apa. Biar sajalah... Bukankah seharusnya ia sudah biasa? Hanya saja ini tentang Michelle—dan segalanya tentang gadis itu selalu berbeda. Tapi kalau memang ia harus memanggul penderitaan ini—tidak apa, selama gadis itu bahagia. Anything for your happiness, princess, anything.

Nate berjalan mendekati gadis itu dan membungkuk di hadapannya—perlahan mendekatkan wajahnya yang dihiasi dengan cengiran angkuh, “kenapa Michelle, dear? Cemburu? Ingin aku melakukannya padamu juga?”

Salazar, biarkanlah Michelle membencinya kalau itu dapat membuat gadis ini bahagia.

Don’t love me
Don’t love me




Setahun yang lalu, aku menyesal telah meraihmu dengan suatu alasan yang murahan. Waktu itu, kau sama sekali tidak tahu kalau aku... menyatakan perasaan dengan hati yang kotor. Aku tahu aku manusia yang tidak tertolong. Aku tahu sikapku ini hanya akan menyakitimu. Meski begitu... Aku menginginkanmu, tidak ingin melepaskanmu... selalu.

Harusnya aku cukup memendam perasaan ini. Cukup membayangkan kebahagiaanmu dan tidak ingin apa-apa lagi. Tapi entah sejak kapan, aku jadi tidak bisa melepasmu. Meski tidak bisa menatap wajahmu lagi... aku selalu gelisah kalau tida ada kau. Aku ketakutan karena merasa dekat denganmu... tidak tahu harus bagaimana. Harusnya kau merasa jijik dan menjauhiku. Lebih baik kau berikan hatimu pada orang lain dan...

tinggalkan aku.


Don’t love me.
0 Responses