Frilla
Oh, how about a round of applause?
Yeah, standing' ovation?


Michelline Fara Solathel, generasi terakhir keturunan langsung keluarga bangsawan Crosette yang tersohor di Perancis. Di usianya yang baru lima belas tahun lewat sedikit, ia tergolong gadis yang istimewa. Tidak sedikit gadis-gadis muda yang memandang iri pada wajah campuran oriental yang mempesona miliknya, dilengkapi dengan uraian rambut cokelat panjang mencapai pinggang yang sangat sepadan dengan tubuh semampainya. Ramping dan cantik. Penampilannya sangat terjaga, namun tidak hanya itu. Otaknya cerdas, dan orang-orang takkan meragukan bakat sihirnya yang mengundang decak kagum kemungkinan berasal dari warisan keluarga ayahnya yang notabene berdarah murni—sekalipun ia sendiri akan bersikeras bahwa hal ini tak ada hubungannya dengan silsilah keluarga terkutuk itu.

Semua orang memandangnya takjub. Semua orang memandangnya kagum.

Lalu, apakah ia merasa dirinya tidak cukup beruntung dengan semua berkat yang diturunkan kepadanya ini? Tidak. Karena asal tahu saja, selama ini apa yang menjadi keinginannya tidak pernah terwujud dengan baik. Ambisi-ambisi terbesarnya dalam hidup masih jauh dari genggaman. Dan selagi ia berusaha keras mengejar semua obsesi itu, satu persatu hal yang ia miliki terlepas; tanpa pernah memberinya kesempatan untuk mendapatkannya kembali. Hmph, ralat. Mungkin dari awal justru tidak pernah sekalipun digenggamnya. Hanya delusi semata, delusi yang mengizinnya merasakan seolah-olah ia pernah memiliki sesuatu yang begitu berharga. Seolah-olah.

Dan ia betul-betul tidak tahu harus berbuat apa atas drama yang dikemas dengan demikian manis di hadapannya—semenjak satu tahun yang lalu hingga detik ini. Tak pernah sekalipun terendus olehnya semua ini hanya suatu plot untuk membodohi dirinya. Jadi begitu. Semuanya dusta.

Ia tidak pernah benar-benar menjadi seorang tuan putri. Dalam dongeng dan khayalanpun tidak. Entah seberapa sempurnanya ia nampak di luar, ternyata tidak cukup baik untuk dapat bersanding di sisi Sang Pangeran yang terhormat. Ia kira selama ini mereka pasangan serasi. Ia kira selama ini ia berhasil membuat Nate bahagia, bangga akan keberadaannya di sisinya. Ia kira selama ini mereka pemilik kisah happy ending, happily-ever-after. Namun ia salah. Dan ia bisa bilang apa? Pemuda itu sukses membuatnya percaya dengan semua ucapan manisnya. Bahkan membuatnya menjanjikan dirinya, oh Merlin, ia tidak berani membayangkan bagaimana gelinya Nate saat itu.

Oh, and the award for the best liar goes to you
For making me believe that you could be faithful to me


Jangan bercanda. Sikap macam apa ini? Kau kira siapa dirimu? Kau kira dengan siapa kau berhadapan? Nate, tidak akan pernah bersikap seperti ini di hadapan Michelle dan terutama—bersikap seperti ini kepada Michelle. Jangan samakan dirinya dengan Anya atau entah siapa lagi gadis-gadis lemah di luar sana. Bukankah Michelle tuan putrinya? Bukankah ia bilang hanya Michelle satu-satunya? Bukankah ia tahu Michelle tidak akan tersipu dan merunduk malu saat menghadapi Nate yang berkata-kata seperti barusan? Tentu, ia tahu. Ia sengaja. Michelle hanya tidak tahu alasan mengapa ia sengaja berlaku menyebalkan seperti itu. Untuk menyakiti Michelle? Untuk mengatakan bahwa cukup sudah, ia bosan dengan permainan membodohi Michelle?

Belum cukup puas ia menyakiti Michelle atas satu tahun penuh adegan sandiwara ini?

Gadis itu dapat merasakan bagaimana peraaan campur aduk yang meliputi kekecewaan, rasa pedih dan kemarahan perlahan meluap dan memenuhi dadanya. Tidak ada emosi dan airmata, juga tidak ada tamparan. Namun manik cokelat itu jelas menatap dengan penuh rasa sakit terpatri di permukaannya. Tatapan yang menghujam pada sepasang bola mata lain yang tengah bertemu pandang dengannya—tatapan terluka. Bola mata yang disangkanya selalu mengungkap ketulusan dan kejujuran. Rasa sayang dan perlindungan. Kemana semua itu? Semua itu kini hanya terganti oleh keangkuhan, merendahkan dan mengintimidasi. Sebagaimana tatapannya pada orang-orang lain.

Ia kira tatapan itu tidak akan pernah ditujukan untuknya. Ia kira hanya senyuman manis yang akan dihadiahkan Nate kepadanya. Sekali lagi, ia salah.

Please, just cut it out

"I am." Michelle mendongak, lekat-lekat mendaratkan tatapannya pada pemuda di hadapannya, "Lakukan apa saja—I'm yours, anyway, ain't I?" lanjutnya dengan suara bergetar, namun tegas. Kalau ia mengharapkan Michelle akan sekali lagi jatuh terpuruk dan berlinang airmata, ia salah besar. Michelle memang lemah, Michelle memang rapuh. Namun tak pernah sekalipun akan ia tunjukkan. Setidaknya tidak sekarang, tidak di hadapan orang yang telah begitu keji menyakitinya. Toh, ini bukan kali pertama. Hatinya sudah lebih dulu tercungkil, dan ia sendiri tak yakin apakah matanya masih menyimpan persediaan airmata untuk dihabiskan. Lakukan apa saja... Michelle terlalu naif untuk dapat menyadari dirinya hanya sebuah mainan.
Raut cemas sedikit memudar dari wajah gadis dengan sentuhan Asia itu, ketika kemudian ia mengambil posisi duduk di sisi pemuda berambut cokelat. "Kau membuatku khawatir," jemarinya kembali merengkuh tangan kekasihnya, "jangan bicara yang bukan-bukan lagi, oke?"

Sejenak kemudian ia memandang ke dalam wajah pemuda itu dan seperti memikirkan sesuatu, "kau mirip dengan ibumu, ya?"

“Mungkin,” jawab sang pemuda sambil mengangkat bahu. Ia menatap jemari mereka yang bertautan—seperti memikirkan sesuatu sebelum akhirnya menyandarkan kepalanya ke bahu gadis di sebelahnya. “Aku belum pernah bertemu dengannya,“ ujarnya lagi dengan mata terpejam seperti mengantuk.

“Hm... Aku berani bertaruh kau pasti mirip dengan ibumu,“ lanjutnya membelokan percakapan—sepertinya tidak ingin pembicaraan menjadi terlampau serius. Pemuda itu menarik genggaman mereka dan mengecup punggung tangan gadis ikal itu. “Cantik, sih.“

Sang gadis mengulum senyum, perlahan mengangkat tangannya yang bebas, "Aku tambah tidak mengerti kalau kau yang seperti ini bisa membuat ibuku tidak menyukaimu," jemarinya kini menyentuh ikal-ikal cokelat milik pemuda yang bersandar di pundaknya. "eh, sudah mengerjakan tugas Binns belum?"
0 Responses