Frilla
Hatinya mencelos.
Sekali.



Surat itu datang di pagi hari. Sarapan dengan menu yang biasa dengan keadaan yang seperti biasa. Langit-langit sihir yang cerah, identik dengan langit musim gugur di luar. Sang tuan muda Harvarth duduk di ujung meja asrama berpanji hijau. Sekali dua kali ia mengetuk-ngetuk jarinya di meja, sementara tangannya yang satu memegang koran yang baru tiba. Serangan Kau-Tahu-Siapa masuk dalam halaman utama, seperti biasanya. Di kolom iklan ada orang yang menjual sapu PanahPerak yang sudah cukup langka. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya. Firasat pemuda itu sudah tidak enak sejak bangun. Ia tahu hari ini pasti tidak akan menyenangkan. Yang tidak ia ketahui adalah burung hantu elang milik keluarganya akan datang dan membawa goresan tinta yang membuatnya menjatuhkan piala emas dalam genggamannya.


Ayahmu masuk rumah sakit.




Langkahnya berderap cepat meninggalkan gerbang Hogwarts, meninggalkan dunia di luar gerbang yang penuh dengan kesengsaraan. Mantel cokelatnya bahkan tidak bisa mengusir dinginnya musim gugur padahal ia sudah terbiasa dengan suhu minus sepuluh derajat di tanah kelahirannya. Mungkin bukan dingin musim gugur yang membuatnya menggigil, mungkin bukan angin yang membawa hawa yang menusuk tubuhnya. Putra Harvarth itu mempercepat langkahnya, berharap pada kemungkinan yang sedikit saja, bahwa ia tidak terlambat.

Hatinya mencelos.
Dua kali.




Tidak sekalipun ia menyiakan waktunya yang terbatas. Izin untuk keluar dari sekolah tidak sulit begitu ia menunjukan suratnya. Tapi tetap saja ada orang yang tidak mengerti kebutuhan seseorang untuk bertemu dengan orang tuanya, apalagi kalau mungkin waktu mereka hanya sedikit. Tidak ada yang bisa melarang seorang anak untuk menemui ayahnya—dan ia ingin mengajarkan pelajaran itu pada seorang penyembuh yang menolak memberikannya izin masuk. Ia berdebat lama dan pria tua sok tahu itu sama sekali tidak bergeming. Malaikat penyelamat datang, wanita berambut ikal keemasan yang tampak benar-benar seperti malaikat saat itu. Sayang pangeran Harvarth itu terlanjur menyadari siapa sebenarnya malaikat itu—dan dia hanya bisa menerobos masuk langsung ke bangsal kelas VVIP tempat Odieneer Harvarth dirawat, tanpa ucapan terima kasih pada sang ibu. Pilu menginvasi hatinya. Sesaat ia merasa dunia runtuh.

Di sana terbaring sang ayah, pucat dan dikelilingi oleh tim penyembuh St. Mungo.




Derapnya terdengar semakin cepat. Ia tahu ini saat-saat yang penting. Namun semakin ia mendesak kakinya untuk berlari, tubuhnya semakin tidak menuruti perintahnya. Jantungnya terus memompa darah ke seluruh tubuhnya—memberikan asupan oksigen pada sel-sel yang kelelahan. Ia tidak ingin dikalahkan oleh keadaan, Nathan Kehl Harvarth bisa memenangkan semua pertandingan. Sekalipun itu adalah pertandingan antara niatnya dengan tubuhnya.

Kristal cokelat milik pangeran Harvarth itu menyipit, memfokuskan pemandangan di depan yang terlihat buram. Di sana, berdiri dengan gagahnya stadion tempatnya mengejar kemasyuran selama ini. Suara-suara terdengar dari dalam, sorak-sorai gegap gempita merayakan kemenangan salah satu tim yang berhasil mendapat angka terbanyak. Ia terhenyak, perlahan mengehentikan langkahnya. Jantungnya berdegup semakin kencang. Siapa yang menang dan siapa yang kalah. Ia melangkah memasuki stadion itu perlahan—menunda ilmu tentang kemenangan dan kekalahan meski asa ingin menarik kerah seseorang dan bertanya secepatnya. Seiring dengan langkahnya, jantungnya berdetak semakin cepat kalau memang masih mungkin. Dan mereka keluar—supporter dari tim yang menang selalu keluar sambil bernyanyi dengan penuh euphoria. Kali ini mereka membawa panji—

—kuning.

Ia terlambat.

Hatinya mencelos, darahnya tersirap.
Tiga kali.



Putra Slytherin itu tahu bahwa asrama berlambang ular itu tidak pernah kalah dari sang musang penjunjung loyalitas. Seakan itu sudah menjadi suatu kenyataan yang diketahui khalayak umum, bahwa predator selalu unggul atas mangsanya. Tapi kali ini keadaan berbalik—dan itu semua mungkin karena dia terlambat. Bahunya terasa lunglai, mendadak beban berat seakan dijatuhkan di atas punggungnya. Ia melangkah ke arah tim berjubah emerald yang mendarat di tepi lapangan. Raut tidak percaya dan kekecewaan menghiasi wajah-wajah itu. Sang pemuda menggertakan giginya menatap semua itu. Menyaksikan ke tujuh pemain turun perlahan.


“Kalian bermain,” sesaat nafasnya tercekat, “bagus.”

Pikirannya menyuruhnya untuk menyalahkan mereka yang bermain, karena telah dikalahkan oleh tim lawan. Tapi yang ia rasakan hanyalah rasa bersalah. Seakan apa yang ia lakukan tidak pernah benar, seakan semua keputus asaannya mendatangkan keburukan pada orang lain, seakan artinya hidup di dunia adalah untuk menyengsarakan orang lain.

Matanya terasa terbakar saking perihnya. Tapi Nate tetap diam—berdiri di sana dan memberikan senyum hampa pada mereka yang berjuang. Sampai akhirnya ia sendiri tidak tahan. Siapa yang bermain dan siapa yang tidak. Kakinya terasa mati rasa setelah berlari secepat yang ia bisa dan hasilnya—nihil. Ia ingin tertawa, ia ingin menangis. Tidak memiliki kemampuan untuk melakukan apapun—tidak sanggup menolong timnya. Tidak sanggup mengusir kekecewaan yang dirasakan oleh orang yang paling penting baginya. Ingin membuka mulut tapi tak ada lagi suara yang dapat keluar. Hanya kehampaan yang bisa ia rasakan dan kali itu, ia berpikir bahwa matipun tak apa. Sesak memenuhi rongga dadanya, memuncah dan membuatnya kesulitan bernafas. Engahnya semakin cepat dan ia mundur—akhirnya menjatuhkan diri di lapangan.

Empat belas tahun dan ia merasa semakin kecil. Empat belas tahun dan ia merasa semakin tidak berguna. Di sana ia terduduk—memperhatikan sepupunya dan kapten singa menghampiri sang putri dalam diam. Rindu. Betapa dia berharap dia bisa menggantikan mereka—merengkuh gadis itu dan mengusir rasa kecewa yang dirasakannya. Tapia apa daya ia tak mampu—ia tidak bisa melakukan apa-apa, bagaimana dia berpikir bisa membahagiakan orang itu? Pikirannya tahu untuk menjauh, otaknya memerintahkannya untuk tidak memikirkan apa yang tidak seharusnya ia pikirkan. Tapi hatinya terus berbisik, perasaannya semakin mendorongnya untuk menarik sang putri ke dalam pelukannya. Tapia apa daya ia tak mampu. Dan ia hanya bisa merindu. Mengasihi. Menyayangi. Mencinta. Menyesal.


Menyedihkan.
0 Responses