Frilla
Di suatu tempat di bagian Eropa Utara, ada sebuah kerajaan yang memiliki seorang raja yang arif dan bijaksana. Didampingi oleh permaisuri yang tersohor karena kelembutan dan kecantikannya, mereka berdua membentuk pemerintahan yang adil dan dicintai oleh rakyatnya. Suatu ketika, sang ratu mengandung. Seluruh kerajaan bersuka cita, menunggu selama sembilan bulan untuk menyaksikan kelahiran putera mahkota yang akan meneruskan pemerintahan sang raja arif. Tapi penantian itu dikecewakan oleh kelahiran sang bayi yang ternyata adalah perempuan. Sang raja kecewa dan sang permaisuri bersedih. Seluruh kerajaan menyayangkan hal itu. Sampai akhirnya, sang permaisuri mengandung untuk yang kedua kalinya. Lagi-lagi semua bergembira, menanti penuh harapan akan kedatangan sang putera mahkota. Namun mereka harus menelan kekecewaan lagi. Karena kali ini juga yang lahir adalah seorang puteri.

Bertahun-tahun terlewat, namun kerajaan itu belum juga dikaruniai seorang putera. Dua kali sang permaisuri mengandung, dan dua kali bayinya gugur. Pedih hati sang permaisuri karena tidak bisa melaksanakan tugasnya untuk melahirkan putera mahkota. Namun tidak sekalipun ia menyesali kelahiran kedua putrinya yang cantik. Lain halnya dengan sang raja. Rasa kecewa yang sedemikian besar membuatnya rikuh. Tanpa adanya penerus, bagaimana nasib kerajaan yang sudah ia bangun sedemikian rupa ini?

Suatu ketika, sang raja pergi mengunjungi kerajaan lain guna mempererat persahabatan di antara keduanya. Di sana, sang raja terpana oleh sosok seorang wanita. Wanita itu adalah bangsawan muda yang memiliki semangat hidup yang tinggi. Keceriaan sang bangsawan begitu memikatnya hingga sang raja pun takluk. Permaisuri yang mengetahui hal ini terkejut dan merasa telah dikhianati. Dendamnya terus menyala pada bangsawan yang telah berani merebut rajanya. Terutama, ketika ternyata bangsawan itu melahirkan seorang anak laki-laki. Sang raja berbahagia akan kelahiran penerusnya. Rakyat gembira dengan kedatangan sang putera mahkota. Tapi permaisuri yang masih memendam kebencian pada sang bangsawan yang meninggal setelah melahirkan puteranya tidak ikut senang. Kendatipun objek kebenciannya telah tiada ia meneruskan perasaannya itu pada sang putera mahkota. Rakyat dan penghuni istana yang lain juga berbisik-bisik. 'Pangeran yang tidak pantas mendapatkan kedudukannya'. Karena dia dilahirkan oleh wanita yang bahkan belum menjadi istri raja. Anak haram.


Tidak pernah ada akhir yang bahagia untuk sang pangeran.

Dan itu sebabnya, Nate memiliki ketidak sukaan tersendiri pada dongeng. Memikirkannya saja sudah membuat alisnya berkerut. Manik kecokelatan miliknya menatap lekat pada api di perapian seakan menimpakan kesalahan pada energi kemerahan yang menimbulkan bunyi berderak. Ia berdiri di hadapan perapian dengan tangan bersidekap di depan dada. Sweater hitam di atas t-shirt bewarna abu-abu dan jeans hitam menjadi pilihannya sore itu. Ia mengetuk-ngetuk lantai dengan kakinya yang beralaskan sepatu kanvas hitam putih. Sedikit banyak merasa bersyukur hari itu ruang rekreasi cukup kosong, sehingga tidak ada orang yang memperhatikan tingkahnya yang tidak wajar di depan perapian. Sudah lima belas menit ia berdiri sambil memperhatikan sang api menjilat kayu bakar hingga menjadi abu. Orang pasti akan bertanya apa yang ia lakukan di sini, bermurung ria seorang diri sementera yang lain sedang menikmati semangat natal.

Yah, Natal. Sulit melupakannya di saat seluruh koridor di dekorasi dengan hiasan-hiasan khas acara ini. Belum lagi nyanyian hantu yang kebetulan berpapasan dengannya dan juga para lukisan yang juga gembira sekali merayakan hari raya yang satu ini. Ditambah dengan pohon natal di aula dan anak-anak lain yang semuanya membicarakan hadiah yang mereka inginkan untuk natal atau yang ingin mereka berikan. Indah sekali. Membuatnya ingat dengan hal-hal yang menyebalkan. Tolog diingat bahwa Nate sama sekali tidak berterima kasih dengan suasana nista ini. Dan untuk mengingat bahwa bertahun-tahun yang lalu juga ia pernah merasa senang dengan datangnya hari natal. Bodoh sekali dia waktu itu.

Nate mendengus ketika melihat beberapa kaus kaki tergantung di atas perapian. Kaus kaki, permohonan, santa klaus. Kebohongan yang biasa. Terlalu kekanak-kanakan sampai Nate sendiri malas untuk menyebutkan poin-poin yang tidak masuk diakal dalam cerita kakek berjanggut itu. Dan permohonan, yang benar saja.

Putera Harvarth tidak pernah memohon.

Dan memangnya ia bisa meminta apalagi? Emas bergelimpangan, jubah dan tas baru sudah menjadi makanan sehari-harinya, set gobstone emas 24 karat dengan bertahtakan permata pun bisa ia dapatkan dengan jentikan jari, sapu terbang paling baru juga hanya memerlukan sehelai perkamen yang dilayangkan pada ayahnya, bertemu dengan tim quidditch favoritnya pun hanya perlu satu kontak floo dengan menyebutkan namanya, makanan Perancis mewah selalu dihidangkan koki di rumahnya, malah Nate yakin ia bisa mendapatkan naga untuk peliharaan jika ia benar-benar menginginkannya. Maaf untuk mereka yang miskin dan tidak bisa memenuhi segala keinginannya. Takdir. Katakan, apa lagi yang bisa ia minta di saat semua kebutuhannya sudah terpenuhi?

Nate meringis. Mau tidak mau mengakuti peribahasa money can't buy everything. Ia punya permintaan tentu saja. Rahasia. Tapi ia tidak akan menuliskannya di atas secarik perkamen dan memasukannya ke dalam kaus kaki seperti orang bodoh. Ia sudah tahu itu hanya tradisi konyol dan tidak ada gunanya ia melakukannya. Dicap sebagai orang aneh yang masih mempercayai keajaiban natal jelas adalah 'tidak' untuknya. Tapi pada akhirnya ia melakukannya juga. Memasukan perkamen maksudnya. Bukan mempercayai keajaiban natal atau apa. Ia tidak percaya. Sama sekali.


I want to be worthy.


0 Responses