Frilla

Oslo, Norwegia. Kota yang suhunya bisa mencapai minus tiga puluh derajat celcius di musim dingin dan bahkan di musim panas pun suhu tertingginya hanya sekitar dua puluh derajat celcius. Kota yang identik dengan salju dan di musim dingin seperti sekarang ini matahari hanya terbit selama enam jam. Dibesarkan dalam keadaan alam yang sangat dingin, Nathan Kehl Harvarth selalu merasa menderita saat harus melewatkan liburan musim panas di London. Meskipun bukan berarti satu-satunya anak laki-laki dari Odieneer Harvarth itu menyukai salju. Nate—begitu ia biasa dipanggil, tidak menyukai musim dingin ataupun musim panas. Meskipun begitu, anak laki-laki itu menyukai semua musim di Norwegia. Bahkan meskipun baginya musim dingin di Hogwarts hampir hangat-hangat kuku, ia tetap lebih memilih berada di Oslo, sedingin apapun temperaturnya saat itu.


Beberapa hari sebelum natal tiba., sebuah mobil sedan bewarna hitam mengilap berhenti di depan kastil Arkeshus yang juga diketahui sebagai salah satu kediaman keluarga Harvarth. Bertuan rumahkan Odieneer, sosok dibalik kesuksesan Statoil, perusahaan energi terbesar di Norwegia.


Dari balik pintu kastil, seorang peri rumah bergegas menyambut mobil yang mengantar putera mahkota dari keluarga itu. Langkahnya terburu-buru hingga dua-tiga kali peri rumah malang itu hampir jatuh tersandung serbet putih dengan lambang keluarga yang dilayaninya tersulam di bagian depan, satu-satunya kain yang menempel di tubuh mahluk mungil itu. Matanya yang sebesar bola tenis semakin melebar karena takut, tergopoh-gopoh membuka pintu belakang mobil hitam itu sekaligus menunduk serendah yang bisa ia lakukan pada sosok berambut kecokelatan yang keluar dari dalamnya.


Anak laki-laki itu bertubuh tinggi dalam balutan mantel tebal bewarna putih yang membuatnya tampak lebih besar daripada tubuh aslinya. Berkali-kali angin dari utara berhembus dan membawa rambut cokelatnya mengganggu penglihatannya. Tapi laki-laki itu tidak mengacuhkannya, mengerling ke arah bangunan kokoh di hadapannya dengan tatapan yang mungkin bisa dideskripsikan seperti rindu atau justru muak. Sepasang bola mata cokelatnya bahkan tidak melirik ke arah peri rumah yang berdiri di dekatnya sewaktu ia langsung berjalan memasuki gerbang utama kastil itu, menciptakan jejak-jejak dengan sepatu boot hitamnya. Tidak mempedulikan bagaimana si peri rumah kesulitan membawa koper-koper yang ukurannya lima kali tubuhnya. Itu memang tugas peri rumah, sang tuan muda bisa peduli setan dengan hal itu.


Nathan Kehl Harvarth telah kembali ke rumah.


Ia melepas mantelnya dan menyerahkannya pada seorang pelayan. Manik cokelatnya bergulir dalam rongga matanya, menatap perubahan yang terjadi di rumah itu selama kepergiannya. Lukisan nenek moyangnya diganti dengan lukisan keluarganya, satu hal yang langsung disadarinya karena sosok dirinya dalam lukisan melambaikan tangan padanya. Lukisan itu beraliran romantisme, tidak diragukan lagi dibuat atas permintaan ibunnya. Meskipun Nate heran juga kenapa ibunya membiarkan anak laki-laki itu dilukis juga. Ditatapnya sosok wanita berambut keemasan dalam lukisan itu.


“Kau sudah sampai, Nathan,” ucap seseorang dari atas tangga. Pemilik nama yang disebut itu mengangkat kepalanya, menatap wanita yang identik dengan yang baru saja ia lihat di lukisan. Rambut ikal keemasan yang dipilin menjadi sanggul anggun di belakang kepalanya seakan menegaskan kecantikan yang dimiliki bangsawan Inggris itu. Nate sendiri mengakui bahwa ibunya memang cantik meskipun sudah dalam kategori berumur, betapapun ia membencinya.


“Ibu,” sapanya tanpa kehangatan yang biasa ditunjukan seorang anak kepada orang tuanya. Kristal karamel itu menatap sang wanita tanpa emosi. Nate tidak tahu lagi harus bersikap seperti pada ibunya itu. Karena itu—biarlah wanita itu yang menebak apa yang sebenarnya Nate rasakan. Kebencian yang mereka rasakan itu mutual. Dan tanpa ia duga, seulas senyum tipis muncul di wajah sang ibu. Tipis, tapi tetap saja sebuah senyum.


“Ayahmu sudah menunggu daritadi.”


Nate mengangkat bahu dan mengikuti Arianna setelah memberi perintah pada peri rumah pribadinya untuk menyiapkan kudapan dan air panas di kamarnya. Perbedaan lainnya yang ia baru sadari adalah rumah itu terlihat lebih cerah daripada biasanya. Entah karena warna perabotan yang terlihat lebih cemerlang atau memang suasana yang membuatnya seperti itu. Perbedaan lain adalah—kali ini ia berjalan di samping ibunya, hal yang tidak pernah ia lakukan sejak enam tahun yang lalu. Biasanya ia berjalan dengan jarak dua meter di belakang ibunya, menjauh dari wanita itu sebisanya. Nate tidak menyamakan langkah dengan ibunya jelas, ia berjalan seperti biasa. Aneh, tapi seakan-akan ibunya memang sengaja berjalan di sampingnya yang jelas tidak mungkin sama sekali. Kebetulan pasti, ia tahu pasti wanita menyebalkan itu tidak mungkin mau berjalan dekat dengannya meskipun hanya untuk semenit. Anehnya, Nate sendiri tidak merasa terlalu keberatan.


Mereka berhenti di depan pintu besar di sayap kiri kastil. Yang berambut emas mengetuk pintu. Beberapa saat, terdengar suara balasan yang mempersilahkan mereka masuk. Suara dalam seorang pria yang terdengar agak lebih lemah daripada yang Nate ingat. Tapi anak laki-laki itu berusaha tidak peduli, ia sama sekali tidak ingin mengingat bahwa sang ayah sempat dirawat di St. Mungo beberapa waktu yang lalu.


Sosok yang berbaring di atas tempat tidur tampak memilukan. Guratan umur terpatri di wajahnya dan Nate sedikit tertegun karenanya. Untuk orang yang selalu berpikir bahwa dunia ini abadi, kenyataan bahwa ayahnya tidak lagi muda membuatnya terkejut. Hampir lima puluh tahun—dan meskipun dalam ukuran penyihir itu masih tergolong muda, penyakit mulai menggerogoti nyawa pria itu. Kenyataan lain yang membuat sang anak hanya bisa menggigit bibir.


“Var1…”


“Nathan, kau sudah pulang…” ucap Odieneer pada putranya itu. Meskipun ia baru keluar dari rumah sakit beberapa waktu yang lalu, meja di samping tempat tidurnya sudah dipenuhi dengan berkas-berkas yang harus ditanda tangani dan map berisi laporan saat ia tidak ada. Pria itu mengangguk mendengar balasan dari Nate, perlahan mengalihkan perhatiannya pada istrinya. “Bisa kau pergi sebentar? Ada yang ingin kubicarakan dengan Nate.”


Wanita itu tersenyum, melangkah keluar kamar setelah mengerling ke arah putra tirinya. Sesuatu yang membuat Nate tidak habis pikir. Pertama, karena ibunya langsung mengikuti apa yang ayahnya katakan padahal biasanya ia tidak pernah tidak mencoba mengikuti pembicaraan ayahnya dengannya. Kedua, karena biasanya ibunya menganggapnya tidak ada tapi kali ini mengerling kepadanya—betapapun tidak berartinya kerlingan itu. Rumah ini semakin aneh saja menurutnya. Ia kira sesudah ini akan ada hal buruk terjadi padanya. Tidak mungkin kan wanita itu menaruh racun pada minumnya atau minum ayahnya?


“Sepertinya hubunganmu dengan ibumu sudah membaik.”


Nate tersentak, tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulut ayahnya. Selama ini, ia selalu bertindak biasa di depan ayahnya. Tidak pernah sekalipun ia bertengkar dengan sang ibu di depan pria yang menjadi panutannya dan ia rasa ayahnya sama sekali tidak menyadari ketegangan antara dia dengan ibu atau kakaknya. Dibekali dengan pikiran itu, Nate mengeluarkan ekspresi tidak mengerti sebaik yang ia bisa dan berkata, “Aku tidak mengerti maksud ayah.”


“Aku tahu hubungan kalian tidak sebaik yang kalian coba tunjukan padaku. Please, Nate, I’m the head of this house. I know everything that happened in this house,” ucap pria itu. Meskipun wajahnya masih terlihat pucat, namun seringai yang identik dengan seringai yang sering muncul di wajah putranya menghiasi wajahnya. Odieneer memberikan isyarat kepada Nate untuk duduk di dekatnya. Ibarat pribahasa dinding pun memiliki telinga, ia sebagai tuan rumah tahu segala hal yang terjadi di rumah ini. Salah satu keistimewaan dari Harvarth yang memiliki kastil tempat mereka berada sekarang, selain mantra proteksi yang kuat dan tak akan bisa ditembus oleh orang yang tidak memiliki darah Harvarth, masih banyak mantra lain yang hanya diketahui oleh pemilik sah tempat itu.


Anak laki-laki berambut cokelat itu menggelengkan kepalanya, entah apa yang ia maksud. Tapi ia tetap mengikuti isyarat ayahnya untuk duduk di tepi tempat tidur. Nate tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap sang ayah dengan ekspresi ragu-ragu.


Aldri så god hest at den ikkje kan snuble2. Your mother did a horrible mistake, but nobody’s perfect. Bahkan sebenarnya, itu semua adalah kesalahanku.”


“Bukan, Var—“ ucap Nate langsung sebelum dipotong oleh ucapan sang ayah.


“It was my fault,” tegas Odieneer. Mata dingin itu tampak menyesal—dan sesaat sosok angkuh dibalik nama Harvarth itu tampak rapuh. Tenggelam dalam penyesalannya di masa lalu. Ia menarik nafas dengan berat—seakan tiap tarikan nafasnya membawa kesakitan, dan meneruskan lagi, “ketika nama Harvarth sedang mengalami goncangan karena permasalahan internal dalam Statoil3, aku tidak bisa mengontrol emosiku dengan baik. Ketika Arianna datang kepadaku—aku membentaknya dan berkata bahwa kalau Freedret, ibu kandungmu, ia tidak akan mengangguku di saat seperti ini.”


“….”


“Kalau saja aku tidak mengatakan hal itu—Arianna juga tidak akan berkata apa-apa padamu.”


“No, Var,” ucap Nate sambil menggelengkan kepalanya keras-keras. Menolak dengan sangat tiap perkataan ayahnya. Ia tahu dengan pasti, bahwa ibunya memang tidak pernah menyayanginya dari awal. Masa kecilnya adalah kepalsuan. Meskipun mungkin memang perkataan ayahnya pada sang ibulah yang menguak tabir palsu itu. Nate mengepalkan tangannya, amarah yang dirasakannya dulu kembali mengisi rongga hatinya. “You never heard what she had said to me, Av ingen ting kjem ingen ting4. How can you expect me not to hate her after that?”


“Because she loves you—and I know that you love her as well.”


Nate menggeleng lagi. Tidak habis pikir kenapa ayahnya bisa memiliki pendapat seperti itu. Ia yang mengalami semua hal itu, ia yang mendengar semua perkataan wanita itu. Ia sendiri yang merasakan sakit dari tiap kata yang dilontarkan oleh wanita itu. Dan ayahnya masih berpendapat bahwa ada kasih sayang di antara mereka—setelah selama ini?


“She hates me, Var, she wouldn’t call me names otherwise. And I hate her too.”


Blindast er den som ikkje vil sjå5.”


“She hit me, Var! And, and…” suaranya menghilang, sejenak ia menggertakan gigi. Rasa frustasinya memuncah. Baiklah, mungkin ada bagian dari dirinya, hanya sedikit, yang merasa kehilangan sosok ibu yang ia kenal dulu. Wanita lembut yang selalu ada di sampingnya kala ia membutuhkan, kehadiran yang ia perlukan ketika sang ayah tidak bisa hadir karena terlalu sibuk. Tapi untuk apa ia merindukan sesuatu yang tidak akan pernah kembali? Nate menundukan kepalanya. “She never called me Nate the way you do…”


“ Nama…” ucap pria di akhir usia empat puluh itu perlahan. Senyum kecil muncul di wajahnya saat ia mengenang kejadian yang terjadi hampir lima belas tahun yang lalu. Saat itu musim semi dan suhu di tempat ini sekitar sepuluh derajat celcius. Odien masih bisa mengingat hal itu seakan baru kemarin terjadi. “Apa kau tahu siapa yang memberikan namamu?”


“…”


“Bukan Freedret atau aku atau siapapun yang mungkin kau kira. Ibumu, Ariannalah yang memberikan nama itu,” ujar Odien tenang, sama sekali tidak mengacuhkan ekspresi tidak percaya di wajah putranya. Kenyataanya memang itulah yang terjadi. Arianna memeluk bayi mungil itu—setidak suka apapun Arianna pada Freedret, wanita itu tetaplah seseorang yang lembut. Dan ia langsung menganggap bayi itu sebagai miliknya sendiri ketika ibu kandungnya meninggal sehabis melahirkan. Dan meskipun Odieneer merasa kehilangan sosok wanita Jerman yang merupakan ibu dari putranya, ia tidak bisa tidak merasa bangga melihat istrinya yang bisa merelakan segalanya dan memeluk putra kebanggannya. Dan sekalipun ia merasa menyesal telah mengkhianati Arianna, ia tidak akan menyesali apa yang telah ia lakukan. Karena jika tidak, ia tidak akan memiliki Nate sebagai putra.


“Nathan, it means gift of God. Kau adalah karunia Tuhan untuknya, untukku, untuk Freedret, dan semua orang yang menyayangimu.”


Nate sekali lagi menggeleng keras, menolak tiap kata yang diucapkan oleh ayahnya. Ia tidak bisa mempercayainya, tidak ingin. Ia sudah terbiasa dengan tingkahnya membenci sang ibu dan sulit baginya untuk menerima bahwa selama ini ia telah bersalah—mengucapkan kata-kata yang menusuk wanita itu. “That’s not possible… Aku bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya, she can’t love me…”


“She can, son. She is.”


Because family means more than blood.

((OOC:

1Ayah

2Even the best horse may stumble

3Perusahaan energi di Norwegia

4From nothing comes nothing

5Blindest is he who doesn't want to see. ))

0 Responses