Frilla
Secarik perkamen yang sudah kumal tergenggam erat di kepalan tangannya. Sekali—dua—tiga kali anak laki-laki itu meluruskan kembali perkamen di tangannya dan membaca ulang kalimat-kalimat yang tertera di atasnya. Seolah ia berharap dengan membaca ulang tiap kalimat, kenyataan yang terbentang di hadapannya itu akan berubah. Tangannya yang gemetar kembali meremas perkamen itu sekuat tenaga—sekuat yang ia bisa. Sesaat ia mengangkat tangannya, siap untuk melemparkan gumpalan di tangannya jauh-jauh—siap untuk membuang, menolak, setiap kebohongan dalam goresan tinta hitam itu. Kebohongan yang ia tahu betul adalah sebuah kebenaran yang tidak ingin ia akui. Detik berikutnya ia menurunkan kembali kepalannya. Manik cokelatnya menatap tangannya dengan pandangan nanar. Pada akhirnya ia tetap tidak bisa menang dari takdir.

I could try to hide in a strange town,
But I'd still be full of doubt.


Langkahnya kembali terdengar ketika akhirnya anak itu mulai berjalan menuju tujuannya semula: danau. Tempat terakhir yang ingin ia datangi ketika ia sendiri—mungkin ia takut tidak akan bisa menahan diri untuk mengakhiri episode tidak berarti dari hidupnya, mungkin kegelapan dalam danau itu terlalu memikat untuk dilewatkan. Nate kembali terhenti sebelum mencapai tujuannya. Ia kembali mengerling kepalan tangannya dan menutup matanya. Cairan merah pekat keluar dari bibir bawahnya yang ia gigit secara tidak sadar. Ini tidak seharusnya terjadi. Kenapa? Apa? Kapan? Begitu banyak pertanyaan yang tidak dapat ia hitung jumlahnya muncul di benaknya—semakin menyeretnya ke lubang tanpa dasar yang disebut keputus-asaan.

This can’t be true.

Anak laki-laki itu menyandarkan tubuhnya ke pohon di belakangnya. Tangan kirinya yang dibalut sarung tangan tebal bewarna abu tua memukul batang pohon itu sekuat tenaga—berkali-kali hingga tangannya tidak terasa lagi. Detik berikutnya mendadak seluruh kekuatan yang ada padanya menguap begitu saja—seperti api obor yang padam tertiup angin kencang. Nate menutup wajahnya dengan tangannya. Ia tidak akan menangis. Ayah dirawat di St. Mungo. Sakit. Penyembuh yang bertanggung jawab mengatakan tidak ada jaminan bisa sembuh. Ia harus pulang. Gisselle di mana? Cassandra menangis—tahun depan ia mulai sekolah.. Miranda tidak ada. Ia harus pulang. Ayah menginginkannya. Ia harus pulang. Michelle… tidak ada. Sialan.

Sialan.

All this pain makes me want to cry.
Now an urge to chase tomorrow springs up. .


Anak laki-laki itu menurunkan tangan yang menutupi wajah pucatnya. Bola mata kecokelatannya yang lebih hampa daripada biasanya menatap danau gelap yang kontras dengan warna salju—mendominasi pemandangan di tempatnya berdiri. Hitam kelam—

Pupilnya terbelak begitu melihat sesuatu yang tidak biasa di tengah danau itu. Bukan cumi-cumi raksasa yang tinggal di danau—kecuali kalau cumi-cumi itu mengenakan wig cokelat yang sewarna dengan rambut—Michelle...? Tidak mungkin. Pasti hanya bayangannya saja. Gadis itu tidak terlalu sering berada di luar kastil seperti kaum wanita barbarik macan Windstroke dan Rainier. Benarkan—danau dan Michelle...



“Memangnya kenapa dengan danau yang membeku?“ tanya anak laki-laki itu dengan kilatan jenaka di matanya. Angin yang berhembus hari itu mengacak-acak rambut kecokelatannya, sementara seulas senyum muncul di wajahnya.

“Berani taruhan, kau tidak suka es karena tidak bisa main ice skate!” ujarnya lagi sebelum diikuti dengan gelak tawa. Anak itu hanya bercanda tentu saja—ia hanya ingin melihat seulas senyum muncul di wajah gadis yang berdiri di dekatnya itu.

Sebelah alis gadis berambut ikal itu terangkat, sementara kedua manik cokelatnya ganti mengerling pada pemuda di sisinya dengan tatapan protes bercampur geli, "sebagian ada benarnya, aku memang tidak bisa main ice skate," kedua tangannya kini bersidekap di depan dada—sekedar memastikan ia tidak akan disela oleh tawa geli—"meski tidak sepenuhnya begitu—kalau mau jujur. Anyway, memangnya kau main skate di atas danau?" Balasnya bertanya. Seringai kecil tercipta di bibirnya; setengah mencibir, setengah penasaran.

“Yah, yang penting ada benarnya,“ ujar yang laki-laki sebelum tertawa lagi. Ia cepat-cepat membelokan arah pembicaraan seolah tidak mendengar pertanyaan yang terakhir tadi. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa ia tidak pernah mencoba skate sebelumnya ‘kan?

“Sudah musim semi—kemudian libur musim panas.
Ada rencana untuk liburan kali ini?”




If I follow the scraps of my memories,
I can return to those innocent days,
Like a little boy in another life. .


Apa yang ia lakukan di sini? Bagaimana kalau yang ada di danau itu benar-benar gadis itu? Dia bisa mati. Dia—Michelle membutuhkannya—Nate.
One can’t live without other.

Nate berlari ke danau itu. Ia tidak perlu—tidak bisa berpikir lagi. Memang mungkin ia hanya membayangkan sosok itu, mungkin saja itu hanya duyung iseng yang kebetulan berenang terlalu dekat dengan permukaan, mungkin itu hanya tipuan matanya yang ingin melihat sosok itu—mungkin hanya ganggang yang mengapung atau apa, kelpie yang lupa jalan pulang ke sumur dan tersesat ke Hogwarts atau lebih bagus lagi—seorang murid yang sok jago dan akhirnya tenggelam seperti kapal karam. Mungkin—tapi bagaimana kalau itu memang benar-benar gadis itu? Apakah ia rela mempertaruhkan sedikit kemungkinan itu?

Bukankah sudah jelas?

Jaket abu-abu muda dilemparkannya begitu saja, diikuti dengan sepasang boot hitam dan sarung tangannya—sebelum akhirnya anak laki-laki itu melompat ke danau yang setengah membeku itu. Dingin—demi Valhalla. Tubuhnya seakan ditusuk-tusuk dengan ribuan jarum. Tapi kali ini ia tidak akan mengeluh, apa artinya dingin yang seperti ini jika dengan ini ia bisa menyelamatkan sang putri? Pada akhirnya Nate hanya bisa mengutuki nasib mengapa ia tidak pernah berpikir untuk mempelajari mantra gelembung-kepala sebelumnya.

Iif I have to take this pain
to make my dreams come true—.


Sosok di depannya semakin jelas. Bocah itu memicingkan matanyanya dengan harapan bisa melihat pemandangan di depannya dengan lebih jelas—tangannya menggapai-gapai hingga akhirnya menyentuh lengan orang itu. Ternyata memang sang putri. Nate menarik lengan yang dipegangnya dengan segala kekuatan yang tersisa dan melingkarkan tangannya di sekeliling bahu gadis itu—menyeretnya dengan susah payah hingga sampai di daratan.

—it’s not so bad... .

Nate duduk di samping danau dengan nafas terengah-engah, matanya masih tidak fokus meskipun sudah keluar dari jeratan cairan yang membuatnya setengah beku. Tubuhnya mati rasa—dinginnya musim itu sudah tidak bisa ia rasakan lagi. Satu hal yang ada di kepalanya adalah sebuah pertanyaan—apakah ia berhasil tepat pada waktunya—atau...? Tidak—ia masih bernafas. Terima kasih, Salazar.

“Sialan. Sialan. Sialan.” Satu kata itu diulang-ulangnya terus dengan suara lirih, seakan itu sebuah mantra untuk menghapus kejadian barusan dari benaknya. Matanya terpejam selama beberapa detik—ia menarik nafas, mengumpulkan oksigen untuk memenuhi paru-parunya yang terasa ikut membeku setelah terjun ke danau dengan suhu entah berapa derajat di bawah celcius. Begitu membuka matanya lagi, anak laki-laki itu memukul tanah di sisi kepala gadis itu dengan sisa kekuatanya yang masih bersisa. Tidak peduli apakah gadis itu sadar atau tidak.

“Benar-benar tidak lucu, Solathel.“
0 Responses