Frilla
Tidakkah ini sedikit terlalu lama?

How, how am I supposed to feel—

Michelle sudah mempersiapkan diri sejak tadi untuk menghadapi yang terburuk. Apa? Dicium, dipukul, dilontari kata-kata merendahkan... apapun, sungguh. Namun Nate masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Kaku. Nyaris tidak bergerak malah. Hanya tatapan tajamnya yang seakan tengah berusaha berbicara, menyembunyikan emosi yang tak dapat ditafsirkan artinya. Gadis itu menahan napas, manik cokelatnya sendiri belum beranjak dari tempatnya terpancang sebelumnya—saling beradu pandang dengan milik lawan bicaranya. Nampak jelas ia berusaha keras meyakinkan pemuda di hadapannya maupun dirinya sendiri bahwa ia kuat—cukup kuat untuk bisa menerima apapun yang akan diputuskan Nate pantas untuk diberikan kepadanya.

—when everything surrounding me
Is nothing but a fake disguise


Dan untuk sesaat setelahnya Michelle sempat berharap bahwa Nate akan menerimanya kembali.

Bibirnya gemetar, saat ia ingin melirihkan jawaban atas pertanyaan pemuda itu. Sejak awal sedikitpun ia tidak berniat melepaskan janji itu—samasekali. Janji yang diikatnya dengan tulus, dihadiahkan sebagai bukti seberapa besar pemuda itu telah berhasil mengisi hidupnya. Nate adalah bagian paling penting dalam dirinya, terlepas dari kenyataan ibunya berada di dunia lain—dunia Muggle—dan ayahnya berkelana entah kemana, dan ia telah menggantungkan terlalu banyak hal kepada keberadaan sosok itu. Ia kira mereka saling membutuhkan satu sama lain, mereka sempurna untuk melengkapi satu sama lain... sehingga saling bergantung juga tidak mengapa.

Michelle tidak menyesal, memikirkannya saja tidak, sampai tiba fase dimana ia mengetahui bahwa ia bukan satu-satunya milik Nate. Tahukah betapa hancur kepercayaannya saat menyaksikan semua kejadian pemuda itu mencium gadis lain berlangsung di hadapannya. Begitu besar bagian dari dirinya—seluruh hatinya bahkan—telah ia serahkan dan ternyata orang yang menerimanya tidak puas dengan merasa hanya dari Michelle saja sudah cukup. Perasaannya bertepuk sebelah tangan, setidaknya itu fakta lain yang harus diterimanya.

I don't know,
I don't know where I belong


Namun ia sudah memutuskan. Kalau memang Nate bersedia, ia tetap menjadi miliknya juga tidak apa-apa. Diduakan, ditigakan, tidak menjadi nomor satu, ia rela. Sekalipun dengan semua pengorbanan dan perasaan yang ia curahkan, ia tidak menerima yang setimpal, Michelle sungguh tidak peduli. Bayangan Nate kembali ke pelukannya saja sudah begitu indah terbayang di pelupuk matanya—

—asalkan Nate bersedia, Michelle akan tetap menjadi miliknya.
"Oh, ya?" Gadis itu menyembunyikan rona merah yang sejenak meliputi kedua pipinya karena mendadak disuguhi pengakuan—membuatnya spontan mengalihkan pandang ke arah lain selama beberapa detik. "Hei, sudah mulai gelap nih." Mengalihkan pembicaraan.

"Argh... Michelle tidak seru, ah. Masa cuma begitu saja," ujar yang laki-laki diiringi oleh tawa untuk menutupi rasa malunya setelah sadar mengenai apa yang diucapkanya barusan. Ia berdiri dan mengibaskan rumput yang menempel di bajunya. Baru kemudian mengulurkan tangannya kepada gadis ikal di dekatnya. "Kembali ke kastil, yuk."

Sang gadis hanya menunjukkan cengiran tidak bersalah, menyambut uluran tangan yang ditujukan padanya dan mengangguk. Digenggamnya erat-erat, ketika langkah mereka beriringan meninggalkan kawasan danau. Pantulan warna jingga tua tersirat di atas bola mata cokelat itu, ketika pandangan sang putri mengerling pada pemilik jemari yang menggenggamnya.

"Aku juga sayang, kok."

Namun bagaimana jika Nate tidak menginginkannya?

Pemuda itu akan melepaskan pelukannya, melepaskan genggamannya, untuk selamanya. Tidak akan menoleh untuk melihatnya lagi. Tidak akan tersenyum dan berbicara lagi. Michelle tidak cukup pintar, tidak cukup berharga, untuk bahkan menjadi nomor dua atau nomor tiganya. Michelle yang naif dan dibutakan oleh cinta. Samasekali tidak pantas untuk seorang pangeran. Tidak. Pantas.

I can't stop the rain from fallin'
I'm drownin' in these tears I cry


Dan itulah yang terjadi.

Pelukan itu datang dan pergi begitu saja—tanpa pertanda, tanpa peringatan. Ketika Michelle membuka kembali kelopak matanya, punggung Nate sudah berlalu meninggalkannya. Sedikitpun, barang hanya sekejap, tidak berbalik. Mencampakkannya. Michelle yang tidak berharga bahkan untuk menerima sepatah kata perpisahan, hanya ditinggalkan khayalan yang lagi-lagi hanya ia seorang yang menikmati dan airmata untuk dihabiskan.

Ia ingin berteriak. Sangat ingin, meronta dan memohon agar pemuda itu tidak pergi dan membiarkan dirinya begitu saja seperti ini. Persetan dengan harga diri, she desperately needs him. Namun ketika bayangan mengenai apa yang akan selanjutnya terjadi jika ia melakukan hal sesuai kehendak emosinya itu, membuatnya tak ayal lagi semakin sakit. Nate sudah memutuskan, dan bukankah ia sudah menyiapkan diri untuk segalanya? Untuk kemungkinan yang terburuk bahwa—sekali lagi Nate memberinya harapan setinggi langit kemudian mencampakkannya kembali ke tanah.

Sakit. Nyeri yang perlahan menyusup, berdenyut-denyut di dadanya dengan keji. Jaket abu-abu di pangkuannya kini dipenuhi pola titik-titik air, sementara semburat jingga dengan cepat menghilang ditelan permukaan danau di kejauhan. Kenapa ia tidak menampar saja? Kenapa ia tidak mengata-ngatai saja? Akan jauh lebih baik. Ia tidak akan merasa sedemikian sakit. Kenyataannya Michelle tidak mempersiapkan diri untuk kemungkinan yang paling buruk—ia masih sekali lagi berharap. Dan mungkin keputusan Nate untuk menghempaskan semuanya barusan adalah tepat, karena tak ada lagi harapan yang tersisa kini. Sudah tidak ada lagi. Michelle menyerah.

Sudah berakhir, tidak ada lagi kelanjutan dari kisah ini. Berakhir. Meninggalkannya dalam kegelapan seorang diri.

I can't stop, I can't stop the rain
From fallin'
0 Responses