Frilla
Rasa sayang… harapan agar perasaan ini tidak pernah berubah. Aku mengharapkan kebahagiannya. Lalu kapan aku siap melepasnya? Dia selalu menarikku. Akhir-akhir ini apapun yang kulakukan, aku selalu mengambil langkah mundur.

Kalau begini terus, tidak akan bisa lepas. Diriku sendiri yang membuatku... kian dililit oleh rasa ingin memiliki. Perasaan yang membuatmu bagaikan mengejar ilusi.




Dear princess, don’t you understand? He’s not good enough. Nate tahu dengan pasti, gadis itu bukan gadis biasa yang bisa ditemukan di tiap sudut daratan Eropa. Helen of Sparta, banyak—kalau bukan semua orang, mengakui kecantikannya, pembawaannya yang anggun dan memikat, dan kepandaiannya. Sempurna, memikat. Bukan cuma Nate yang menginginkan gadis itu untuk dirinya seorang. Ia tahu dengan pasti, banyak anak laki-laki yang melirik gadis itu dengan kagum—terpana dengan kecantikannya. Keegoisan sebesar apa, kepercayaan diri yang sebesar apa, hingga Nate pernah percaya ia cukup baik untuk sang putri? Ia terlalu memandang tinggi dirinya—tapi ia sadar sekarang, selama ini ia hanya mengejar sebuah ilusi. Imajinasi yang tidak akan pernah terjadi dalam kenyataan.

Bagian mana dari dirinya yang pantas untuk disandingkan dengan seseorang yang begitu surreal—sosok sempurna yang ia kira hanya ada dalam dongeng?

Tidak ada.

Ia tampan, selama ini ia percaya hal itu. Pintar, kalau bukan jenius. Keluarganya terpandang, Harvarth—keluarga tertua di Skandinavia, kaya raya. Tiga aspek itu bisa ia banggakan, memang. Tapi—ia tidak seperti itu. Kalau ia cukup pantas—tidak akan ada orang yang mengatakan bahwa ia seharusnya tidak dilahirkan. Kalau ia memang sehebat yang dikiranya, ayahnya tidak akan merasa kecewa terhadapnya. Kalau ia memang cukup baik, tidak akan ada yang mengatakan dirinya memuakan, kotor, sampah. Ia tidak cukup baik. Ia mengerti, sangat.

Memories fade like yesterday to the setting sun
Picture us in a still frame
with every sigh it's done




“Hm… menurutmu bagaimana?” Tanya sang pemuda, membalas pertanyaan yang diajukan padanya dengan sebuah pertanyaan lain. Matanya masih terpejam, menikmati suasana senja yang hening dan sentuhan jemari gadis itu. Di sana hanya ada mereka berdua. Tidak ada orang lain.

“Menurutmu aku tipe yang sudah mengerjakan esai sebelum detik-detik terakhir atau bukan?“

Senja yang diharapnya tidak akan usai. Gadis itu menikmati detik-detik yang bergerak lambat dalam kedamaian ketika bibirnya perlahan menggumamkan jawaban, "Karena selama ini aku belum pernah dengar para profesor mengomentarimu tidak mengerjakan tugas jadi... kurasa ya, atau aku salah?" Senyum tipis terbentuk di wajahnya. "Jangan lupa mengembalikan esai Sylar tepat pada waktunya, dear."

Jemarinya bergerak menyisikan poni yang menutupi kening pemuda yang duduk di sisinya—memutar lehernya sedikit untuk dapat mendaratkan sebuah kecupan disana.

Gelak tawa yang sempat keluar dari mulut sang pemuda ketika mendengar perbuatannya menyalin esai orang lain diketahui langsung terhenti. Ia membuka matanya dan mendongak—menatap gadis itu beberapa detik sebelum nyengir senang.

“Aku sayang kamu, benar, deh.”




Satu. Dua. Tiga. Sudah berapa kali Nate menghindar dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Michelle? Entah. Dia sendiri sudah tidak bisa menghitung lagi berapa kali ia telah menghindar dari pertanyaan yang diajukannya pada dirinya sendiri. Semakin dihindari, semakin banyak pertanyaan yang timbul. Mati satu, tumbuh seribu—kalau menurut peribahasa. Ia tidak pernah tahu arti sesungguhnya dari kalimat itu hingga sekarang. Ketika setiap pertanyaan yang ditepisnya hanya menghadirkan seribu pertanyaan baru yang menanti jawabannya.

I'm the one who understands
Yeah, I'm the one without chance
Now I know I could never be your man


Bagaimana mungkin kalimat yang tidak bertanggung jawab itu bisa keluar dari mulut seorang Michelline Fara Solathel? Bagaimana bisa? Nate terdiam. Kaku—tidak dapat mengatakan apa-apa lagi. Setengah bagian dari dirinya ingin memukul gadis itu untuk mengatakan hal-hal seperti itu—seolah, seolah Michelle menganggapnya seorang laki-laki brengsek. Tapi setengah dirinya yang lain ia tahu, ia memang brengsek. Sudah sewajarnya gadis itu menganggap rendah dirinya. Bukankah itu yang ia tunggu-tunggu? Dianggap rendah, dibenci. Apapun boleh ‘kan? Asalkan memang itu keinginan Michelle—asalkan sang putri bahagia, Nate rela menanggung segala resikonya. Meskipun itu berarti merelakan gadis itu, meskipun dia harus menyerahkan jiwanya pada setan sekalipun.

Tapi egonya sekali lagi mengambil alih dirinya.

Tangannya sekali lagi menyelip ke belakang gadis itu, merengkuhnya dengan lembut. Ia egois—sangat egois. Sekali lagi, ia melakukan hal yang tidak bisa ia pertanggung jawabkan. Tapi, demi Merlin, ia tidak bisa diam saja—tanpa mengatakan apa-apa, tanpa berbuat apa-apa. Dua kutub dirinya masing-masing tidak bisa menang melawan yang lain.

“Will you keep that promise, still?” tanyanya pelan pada gadis di dalam rengkuhannya—berharap ilusi yang ada di depan matanya bisa ia rengkuh meskipun hanya sekejap. Egois. Bukankah yang terpenting adalah kebahagiaan sang putri?
APA YANG KAU LAKUKAN?

Seperti tersambar listrik—ia melepas gadis itu. Berdiri dengan cepat tanpa memandang bola mata bening milik gadis itu. Tidak berani menatap gadis itu lebih lama. Lagi-lagi. Ia melakukan kesalahan lagi. Anak laki-laki itu mengumpat pelan dan melangkah pergi dengan cepat, kembali ke kastil. Tanpa kalimat perpisahan, tanpa... apa-apa. Pergi begitu saja. Berusaha tidak berbalik apapun, apapun reaksi dari gadis ikal itu. Sudah saja. Nate meninggalkan sosok yang mengisi bagian besar dari dirinya di tepi danau hitam—tempat kenangan mereka. Sudah. Selesai. Lagipula—Prince Harvarth tidak memerlukan siapa-siapa bukan? Ia sudah memiliki semuanya. Semuanya. Ketika semuanya itu tidak berarti apa-apa. Ini yang ia inginkan bukan?

Sang surya bersembunyi. Senja berganti malam, siang telah berakhir. Hari telah berakhir—seperti mereka berdua... berakhir.

With all I try still I know I can't
Cause I'm not good enough
0 Responses