Frilla
Hei, Michelle, sudah tiga bulan dua puluh empat hari dan lima jam sejak kita berpisah hari itu. Mungkin di sudut hatiku—aku tahu aku tidak ingin ini terus berlangsung. Mungkin sebenarnya aku sadar aku ingin kau—kita tetap seperti hari itu. Tapi kau tahu kan betapa egoisnya aku untuk hal-hal yang seperti ini?

Ironis, sungguh.

Rasanya seperti baru kemarin kita duduk bersama di menara astronomi—menatap bintang-bintang. Rasanya baru beberapa saat yang lalu kita masih berjalan di tepi danau. Aku bahkan masih bisa merasakan kehangatanmu dalam genggamanku. Heh, kurasa aku terlalu banyak hidup dalam mimpi—dalam kebohongan. Aku bertanya pada diriku sendiri:
Apa aku melakukan sesuatu yang salah?

Aku tidak tahu.

Aku tidak mengerti.




Nafasnya masih tersengal-sengal, dadanya naik turun dengan cepat seakan habis berlari. Habis berenang lebih tepatnya. Anak laki-laki itu mendongak ke langit dengan mata terpejam—sebelah tangannya menyapu rambutnya yang basah ke belakang. Sulit dipercaya dia masih hidup setelah masuk ke dalam danau yang suhunya mungkin entah berapa minus di bawah nol derajat. Yang jadi pertanyaan adalah kenapa ia melakukan hal itu? Bukankah seharusnya ia tidak peduli lagi dengan apapun yang menimpa gadis di sebelahnya itu—seharusnya. Tapi sepertinya takdir selalu mempermainkannya. Kenapa ia harus lewat di tempat itu di saat yang begitu tepat—kenapa bukan gagak jelek itu yang menolong Michelle, atau siapapun—Lightdarker sekalipun juga tidak apa-apa. Ia tahu gadis itu cukup populer—pasti banyak anak lain yang akan menolongnya. Tapi kenapa Nate yang harus lewat di tempat itu?

Berhenti membohongi diri sendiri. Memangnya dia akan senang jika ada orang lain yang menyentuh gadisnya? Tidak.

Nate mendengus pelan—membayangkan orang-orang itu berada dalam radius lima meter dari Michelle saja sudah membuatnya muak. Anak laki-laki itu membuka matanya tepat ketika terdengar jawaban dari sebelahnya. Ia kira gadis itu tidak sadar. "Begitu? Mungkin lain kali aku coba dengan pecahan kaca saja. Setidaknya kelak tidak akan membuatmu ikut basah dan kedinginan."

Lucu. Bagaimana setelah ia berusaha dengan sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa gadis itu—ternyata yang diselamatkan justru mengatakan akan menggunakan pecahan lain kali. Berkata dengan mudahnya seolah nyawa itu hanya mainan yang bisa digantikan dengan mainan baru. Berkata seolah Nate lebih mementingkan dingin yang menusuk-nusuk tubuhnya daripada keselamatan gadis itu. Usahanya tidak dihargai sama sekali. Nihil, nul. Ia memang manusia yang tidak berguna, bahkan orang-orang yang ia anggap penting berpikir seperti itu. Sedih—kecewa? Apa sebelumnya ia tidak pernah mengatakan bahwa ia akah melindungi Michelle apapun yang terjadi? Bagaimanapun, kebahagian sang putri adalah prioritasnya.
Anything for your happiness, princess, anything.

Tanpa sadar, seolah tangannya bergerak atas keinginan orang lain, Nate merengkuh gadis itu tiba-tiba. Dan sesaat ia merasa seperti kembali ke masa-masa ketika mereka masih bersama. Seolah tidak ada yang terjadi—semuanya sempurna. Hanya ada Nate dan Michelle, Michelle dan Nate. Dan saat itu sang pangeran pun hanya bisa berbisik dengan suara bergetar, “bodoh. Syukurlah kau tidak apa-apa.”

Memories of our time together
this way, they don’t go away




“I-Ibumu?!”
Tanya anak laki-laki itu sambil terbatuk-batuk dengan mata terbelak menatap sang gadis—mencari-cari bukti bahwa dia sedang bercanda di bola matanya.

“Er... apa itu tidak terlalu cepat?” tanyanya ragu dengan ekspresi gugup sambil mengacak rambutnya dengan tangannya yang bebas—sebuah kebiasaan di saat ia merasa salah tingkah sebelum melanjutkan lagi, “maksudku—bukannya aku tidak mau, pasti menyenangkan. Tapi a—ah, itu... er...”

Tak ayal, situasi berbalik. Kilat jenaka kini ganti bermain-main di atas kedua bola mata milik gadis dengan rambut ikal yang mencapai pinggang. Tampak jelas ia menikmati ekspresi lawan bicaranya yang nampak gugup dan salah tingkah. "Menurutmu begitu? Hmm, jadi kau lebih suka kalau bertemu denganku berdua saja—tanpa ada ibuku?"

Nampaknya ia tidak tahan untuk tidak menampilkan seringai geli sekarang. "Aku bercanda, tapi aku memang ingin mengenalkanmu pada ibu—yah tapi kalau kau sibuk sih..."

“Bukan,” sergah yang laki-laki dengan cepat. Rona kemerahan muncul sekilas di wajahnya yang disembunyikannya dengan menundukan kepalanya. Kali ini gilirannya mempererat genggaman tangannya dan sedikit menarik gadis di sebelahnya agar mendekat.

“Aku—sedikit, hanya sedikiiit saja, takut ibumu tidak menyukaiku.”




This is not where it ends, I’m missing you
please don’t let go of my hand


“Kenapa?”

Satu kata itu membuatnya menyadari tempatnya dan melepas pelukannya. Ia cepat-cepat berdiri dan mengambil sedikit jarak dari gadis berambut ikal itu. Ini bukan tempatnya—ia sudah kehilangan hak itu sejak lama. Sejak ia menyadari kehadirannya hanyalah beban untuk semua orang—sejak ia menyadari, ia tidak bisa diam saja ketika semua orang menyerang eksistensinya. Nate ada, ia hidup—ia pantas untuk dilahirkan.

Nate tidak mengatakan apa-apa. Tidak perlu kata-kata lagi—ia tahu apa yang ditanyakan oleh gadis itu. Tapi ia juga tidak mengerti. Kenapa dia melompat ke danau hitam meskipun seharusnya di antara mereka sudah tidak apa-apa lagi? Kenapa Nate masih merasa kacau seperti ini walaupun seharusnya ia merasa puas dengan kehidupannya yang sempurna? Mengapa ia seperti ini? Kenapa kehadiran Michelle membuatnya kacau seperti ini? Kalau ia mengeluarkan semua pertanyaan itu—mungkin pensieve ukuran paling besar pun tidak akan cukup untuk menampungnya. Ia merasa semua goresan dalam hidupnya adalah sebuah kesalahan. Apa seharusnya ia tidak dilahirkan saja? Dengan begitu tidak akan ada orang yang merasa kesal atau kecewa padanya—semua orang akan bahagia. Lagipula, tidak seperti akan ada orang yang merindukannya atau apa.

“Kenapa kita putus?”

Kenapa? Ia tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan itu. Bahkan melihat ke arah gadis itu pun ia tidak bisa. Seolah gravitasi juga menarik bola mata cokelatnya hingga ia hanya bisa menatap tanah yang diinjaknya. Ia benci semua hal ini—bagaimana gadis itu selalu membangkitkan bagian terburuk dan terbaik darinya secara bersamaan. Tidakkah Michelle mengerti—Nate tidak bisa berada dekat dengannya. Memangnya kalian pikir mudah—menjauh dari sesuatu yang sudah terbiasa ada dalam genggamannya, hanya dapat memperhatikan dari jauh—merasakan tertusuk setiap kali melihat bandul perak yang dulu tergantung di leher mereka berdua? Tapi bagaimanapun—Michelle adalah miliknya. Ia akan memastikan hal itu. Tapi—

Ia harus membuktikan bahwa ia bukanlah sampah.

Ia bukan orang yang tidak berguna.

Ia tidak ingin dipandang sebelah mata.

Ia tidak ingin menyakiti Michelle.

Ia tidak cukup baik.

Ia—adalah antagonis dalam cerita ini.



“You love nobody but yourself—you’re selfish, to you there’s nothing more important than your well being—egoist, self-centered—you’re the worst person—"



Langit senja yang menjadi latar belakang mereka semakin gelap seiring dengan bersembunyinya sang surya. Sisa-sisa sinar matahari menyinari kedua sosok itu—membuat mereka terlihat sureal. Seperti sebuah lukisan yang diciptakan oleh goresan kuas Sang Maha Kuasa. Sosok yang sedang berdiri terlihat bergerak—tangannya mengacak-acak rambut bagian belakangnya. Terlihat ia berusaha memalingkan wajahnya dari sosok yang kedua. Ia tahu—kalau ia menatapnya lebih lama lagi, ia tidak akan bisa menahan egonya lebih lama. Ini adalah takdirnya—dan ia akan menerimanya.

“Seingatku,” mulainya dengan nada datar sambil beranjak dari tempatnya berdiri—tidak menatap gadis itu sama sekali. Anak laki-laki itu mengambil jaket abu-abu yang tadi ia lemparkan asal dan akhirnya menoleh ke arah sang gadis sebelum meneruskan, “kau yang pertama melempar dan menginjak kalung itu.”

Ia mengulurkan jaketnya ke arah Michelle.

If I could just tell you I miss you
It’s so hard to say I’m sorry
0 Responses