Frilla
Just too many barriers
That we keep running into
Been tryin', but we just can't break through


5 tahun yang lalu, keadaannya mirip seperti ini. Malam di pertengahan musim dingin, salju turun lebat menutupi semua pemandangan dengan kasih putihnya yang semu. Ia ingat sosok masa lalunya yang saat itu berumur delapan tahun sedang bermain dengan sapu terbang mainannya. Desingan lucu mengiringi perjalanannya mengelilingi kamar tidurnya yang cukup luas. Sebelum ia berhenti mendadak karena suara keras yang membuatnya terjatuh. Suara pintu ruang kerja ayahnya yang dibanting dengan luapan amarah, sekarang ia tahu hal itu. Tapi sosok kecilnya tidak tahu dan ingin mencari tahu. Waktu menunjukan pukul lima sore—ia ingat betul. Waktu yang dipilih ibunya untuk menyisip teh sambil membaca buku di ruang keluarga. Sehingga pada waktu itu ia yang merengut karena terjatuh memutuskan untuk bertanya mengenai suara keras itu pada ibunya yang tidak perlu dicari.

Nate kecil menghampiri wanita berambut keemasan yang sedang terhenyak di sebuah kursi bewarna safir. Baki berisi teh dan kue-kuehan tampak belum di sentuh sama sekali. Pada waktu itu seharusnya ia tahu bahwa ada yang tidak beres—tapi mana bisa anak kecil membaca tanda-tanda? Senyum lebar menghiasi wajah manis anak laki-laki itu saat ia menghampiri sang ibu dan bertanya mengenai suara tadi. Orang yang ditanya mengangkat wajahnya, sisa-sisa air mata masih tampak. Bahkan dirinya yang waktu itu sudah bisa melihat ada sesuatu yang aneh. Sosok kecil itu menyentuh tangan sang ibu, hendak bertanya. Tapi bukan jawaban yang didapatnya, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanannya—ia yang tidak menduga sama sekali, kehilangan keseimbangan dan jatuh menabrak meja teh. Nate bisa mengingat kejadian itu dengan jelas seolah baru kemarin. Sakit yang ia rasakan di pipinya tidak sebanding dengan rasa terluka ketika ibu yang amat disayanginya memukulnya. Sebuah tatapan tidak percaya dan pertanyaan terlontar darinya, ia masih tidak ingin percaya bahwa ibunya tega memukul dan menatapnya dengan pandangan penuh kebencian yang menusuk ulu hatinya. Wanita itu membuka mulut—mengucapkan dua hal yang mengubah segalanya dengan suara bergetar.

You are no son of mine.
I wish you were never born.


Lima tahun dan bekas pernyataan itu masih terasa. Ia pergi, ingin meninggalkan bayangan sang ibu jauh di belakangnya. Karena—bukankah selama ini ibu menyayanginya? Meskipun Nate yang sekarang tahu, semuanya hanya sandiwara semata. Anak kecil itu berlari mencari kenyataan, dan siapa yang bisa mengalahkan ayahnya dalam pengetahuan? Pikirnya waktu itu, berjinjit untuk meraih pegangan pintu besar ke kamar ayahnya. Terkunci. Padahal tempat itu selalu terbuka untuk Nate, sekalipun ayahnya sedang sibuk sekalipun—ia akan mengizinkan Nate untuk masuk meski hanya memberi tahu bahwa ia tidak bisa diganggu.

Badai datang—tangisan salju semakin deras, tapi Nate masih terpaku di depan pintu besar itu. Seolah tersesat kehilangan arah. Rumah tempat bermainnya selama ini mendadak asing dan terlalu besar untuknya. Ia putus asa dan ketakutan. Jadi dicobanya mengetuk pintu—tak ada jawaban, semakin keras dan semakin keras—tetap tidak ada jawaban meski hanya satu kata. Rasa sakit karena ditinggalkan itu masih ada. Takut dan perasaan terbuang bermain-main di hatinya. Tapi ia yang dulu masih ingin berharap, masih ingin mempertahankan keadaan yang lama. Jadi dia kembali berlari—lukisan di koridor terdiam ketika melihatnya, padahal Nate biasa bercengkrama dengan mereka. Tapi semuanya membisu dan anak itu bisa membayankan tatapan prihatin menyorotnya dari segala arah. Ini tidak benar. Pikirnya saat itu—ketika ia berlari ke kamar kakak pertamanya. Dipikirnya Miranda pasti bisa memberikan kenyataan padanya. Pasti bisa membuat segala keresahannya ini pergi.

Pintu terbuka dan ia masuk. Gadis berumur sekitar tujuh belas tahun itu tampak seperti biasa dan sesaat Nate tampak tenang. Mungkin yang tadi terjadi hanyalah mimpi buruk. Nate bercerita—mengatakan apa yang dikatakan oleh wanita yang masih ia anggap ibu beberapa saat yang lalu. Kemudian terdiam, menunggu kata-kata lembut dari sang kakak. Tapi apa yang diharapkannya tidak pernah datang. Tatapan jijik dan langkah mundur justrulah yang diberikan padanya.

I knew it, I was right.



Angin yang berhembus terasa lebih dingin daripada tadi—dan itu mengatakan sesuatu. Atau mungkin itu hanya perasaannya saja. Demi Merlin, dia benci musim salju. Kelam dan suram, seolah segala petaka akan tiba saat ini juga. Ia tidak menanggapi lagi kata-kata anak kelas satu yang dipanggilnya kurcaci tadi. Atau siapapun yang berbicara lagi setelahnya. Entah tidak ingin atau tidak bisa. Tapi saat pikirannya dipenuhi hal-hal lain, mungkin hal itu wajar.

"Having fun, dear?"

Ada kalanya ia merasa dipermainkan, ada kalanya ia merasa dibodoh-bodohi oleh Sang Pencipta dan sekarang adalah salah satu dari kala itu. Suara itu terasa lebih menusuk daripada angin musim dingin. Itu kata-katanya. Tidak pernah ia bayangkan kondisinya bisa terbalik begini—tapi mungkin seharusnya dia sudah bisa menebak. Atau tidak? Tapi ia tidak bisa menerimanya. Keadaan berbalik, berarti keunggulan berbalik. Tidak juga, ya. Sejak awal dia memang sudah kalah. Ia hanya terperosok semakin dalam—miris rasanya. Bahkan untuk menolehkan kepalanya saja ia tak kuasa. Ia merasa seperti tenggelam, berusaha menggapai cahaya di atasnya namun terus ditarik oleh sesuatu yang berada di bawahnya. Bagaimana sulitnya menahan diri untuk tidak merengkuh sesuatu yang paling disayanginya namun tahu tidak pantas untuk melakukan itu, Nate merasakannya lebih dari siapapun.

This mountain we've been trying to climb
It's never ending
Just can't do nothing


Sebelas tahun dan masih belum berpikir jauh ke dapan. Baru merasakan kebebasan setelah lepas dari penjara yang membelenggunya. Ia senang—ia gembira dengan keadaannya yang baru. Masih dinaungi euforia kebebasan ia melupakan hakikat dirinya. Bertingkah tanpa pikir panjang, berbuat ini dan itu tanpa memikirkan efek yang akan ditimbulkannya. Lalu ia menemukannya. Sosok yang membuatnya tertawa lepas seakan dunia hanya milik mereka. Dia yang mau menerima Nate begitu saja di saat bahkan keluarganya sendiri hanya memandangnya sebelah mata. Itu sebuah kesalahan—karena Nate tahu ia tidak pantas untuk mendapatkan gadis itu. Ia menyesal telah jatuh. Ia menyesal telah menjadi beban untuk sang maiden. Tapi ia tidak menyesal untuk semua yang telah mereka lewati bersama. Meskipun kini ia lelah merasa karena sakit yang terus menerus ketika harus melepasnya—ia tidak menyesal. Untuk membalas semua kebahagiaan yang pernah diberikan gadis itu padanya—ia rela meskipun harus menjual nyawanya pada setan sekalipun.



”Aku juga sayang, kok.”


Manusia, benar-benar mahluk yang kompleks. Berapa kalipun ia pikirkan, tetap saja ia tidak bisa mengerti. Jangankan keseluruhan mahluk bernama manusia, bahkan dirinya sendiri pun tidak bisa ia mengerti walaupun hanya setengahnya saja. Bagaimana sebagian dirinya ingin mengorbankan apa saja, apa saja yang ia miliki demi dapat kembali mengulang masa-masa bersama sang putri dan sebagian lagi yang tahu betapa tidak pantasnya keinginan itu—betapa rendah dirinya jika disandingkan oleh sang maiden, betapa ia tahu bahwa ia tidak bisa memberikan hal yang layak padanya. Dipikirkan terus pun penyelesaiannya tidak kunjung datang. Jadi dia memutuskan untuk menyingkirkan keinginan yang ia anggap egois itu. Memberikan yang terbaik untuk kebahagiaan sang putri—pangeran manapun akan melakukan hal itu.

Nate membalikan tubuhnya—menoleh ke sang putri yang berada dalam jarak yan begitu dekat hingga untuk sesaat Nate merasa bisa meraihnya. Ia menatap dalam-dalam kristal kecokelatan yang berkali-kali ia kagumi keelokannya. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman culas yang tidak pernah ingin ia berikan pada gadis di depannya jika keadaannya tidak seperti ini. Kepalanya terangkat angkuh saat ia menyenderkan tubuhnya ke pagar jembatan—meletakan tangannya di atas benda kokoh itu dengan posisi santai. Andai saja ada mantra untuk kembali ke masa lalu. Ia ingin menjawab pertanyaan yang terdengar menusuk itu, memberikan kalimat balasan yang bisa membuat sang gadis membencinya meskipun yang ia ingin lakukan hanyalah mengaitkan jemari mereka seperti dua tahun yang lalu. Ia dikalahkan oleh seseorang ternyata, ”Selamat malam Michelle. Sudah lama sekali sejak kita terakhir kali bertemu."

Too many locks, too many crimes
Too many tears, too many lies
Too many barriers


Pernahkah kau merasa hidupmu tidak akan bisa lebih buruk lagi? Nate pernah. Kalau kau berasal dari Norwegia atau setidaknya, tahu mengenai kisah-kisah Norse, mungkin pernah mendengar kisah mengenai Sigurd yang mengalahkan Fafnir? Dan tidakkah kehidupannya semakin lama semakin terlihat seperti kisah sang pahlawan yang membawa shieldmaiden keluar dari lingkaran api? Dan kini babak kehidupannya mungkin sudah sampai pada adegan pertikaian antara Gudrun dan Brynhild. Demi Merlin, jangan bilang hal yang terakhir terjadi padanya adalah ia mati dibunuh pacar baru Michelle. Ia tidak sudi. Meskipun Nate tidak keberatan untuk mati sekarang—tidak seperti ada penyesalan lagi di dunia ini. Saat ia tidak memiliki apa-apa lagi, pergi ke ketiadaan juga tidak ada bedanya. Mungkinkah segalanya akan berbeda jika pertanyaannya dulu terjawab? Jika sang putri berbicara padanya, mengatakan tidak akan pernah mengkhianati janjinya—akankah segalanya berbeda? Nate tidak tahu pasti—tapi itu akan membuatnya lebih kesulitan lagi untuk merelakannya. Seharusnya ia berterima kasih, karena dengan jawaban bisu itu... ia tahu bahwa sang putri ternyata tidak menginginkannya.

”Sudah kenal dengan Michelle, Arietta?” tanyanya dengan senyum menghiasi sudut wajahnya, sengaja mengalihkan pandangannya dari gadis berdarah Korea ke gadis di dekatnya.

Bisakah Michelle melihat isyarat yang tidak terucapkan oleh sang pangeran? Sadarkah betapapun terlihat santainya Nate, buku jarinya memutih karena tangannya mengepal sedemikian eratnya. Sadarkah meskipun ia tersenyum, matanya tidak memperlihatkan kebahagiaan. Lihatkah betapapun tegarnya ia berdiri, kakinya terasa lemas karena terlalu lama berdiri mengharapkan rembulan. Lihatkah meskipun ia mendengarkan melodi alam dan ucapan semua orang, yang diharapkan indera pendengarannya hanya suara sopran yang dengan lancang terpatri di ingatannya meski tak ingin. Sadarkah, meskipun semua hal yang terjadi—hatinya masih memberikan isyarat untuk terus mencinta?

Hanya lewat isyarat ini—
ia bisa berkata jujur.

Kasih ini masih ada, untukmu seorang.

”Kami bersenang-senang, mau bergabung?” jawabnya bernada biasa dengan pertanyaan lain—kembali mengerling gadis berambut ikal panjang itu. Kepalanya kembali terasa pening, hal yang selalu terjadi ketika stress mulai merayap masuk ke dalam dirinya. Tangannya menyentuh pelipisnya—meskipun tidak cukup lama untuk membuat orang pasti mengenai sakit yang terasa. Nate meneruskan lagi, masih dengan kepala terangkat dan senyum angkuh yang sama, ”Kau sudah kenal dengan semuanya, Michelle? Arietta, kau sudah kenal, ya. Yang ini Alvera—dan satu lagi... siapa namamu, miss?”

I know I'm gonna keep wishing I was with you
But we just gotta stop
Frilla
Ngantuk.

Seorang anak laki-laki berambut kecokelatan berjalan dengan wajah terkantuk-kantuk—mengacak rambutnya sesekali. Lingkaran hitam yang buruk rupa menghiasi sekeliling matanya. Ia tampak seperti panda. Sial. Oke,mungkin tidak seburuk itu—since, apa, sih, yang bisa membuat Nate tampak kurang dari tampan? Manik caramelnya melirik kanan-kiri dengan tidak fokus—dengan suatu cara berhasil menuntun sang anak laki-laki menaiki tangga spiral bewarna perak menuju kelas ramalan. Kelas yang sampai sekarang ia tidak mengerti kenapa ia ikuti. Ayolah—ini ramalan. Cabang ilmu yang paling tidak pasti, sama sekali tidak relevan, tidak bisa dipikirkan dengan logika. Kenapa juga ia mau memilih kelas ini? Oh ya, karena ia berpikir ini kelas yang paling mudah diikuti daripada segala macam kelas merepotkan yang lainnya. Ah, seandainya ia tahu apa yang sebenarnya dilakukan di kelas itu, mungkin ia tidak akan pernah meskipun hanya untuk mempertimbangkan masuk kelas ini.

Bola Kristal.

Astrologi.

Pergerakan bintang.

Membaca daun teh.
Omong kosong.

Nate menarik hood jubah seragamnya menutupi kepalanya. Ia harus berterima kasih pada siapapun yang merancang seragam Hogwarts—paling tidak hood itu membuatnya bisa menutupi wajah tidak niatnya saat melewati profesor ramalan yang nyentrik itu. Siapa namanya—rasanya sempat disebutkan di pesta awal tahun. Wanita yang seperti kelelawar tua renta dengan selera berpakaian yang pasti membuat banshee sekalipun kehilangan suara melengkingnya. Ah, ya—Trewlaney, namanya. Lihatkan, dari namanya saja sudah bisa dilihat kalau staff pengajar yang satu ini aneh. Bukannya staff yang lain tidak aneh, ya. Ia sering berpikir apa memang Hogwarts ini kurang staff berkualitas. Bukannya ia mementingkan pengajar ramalan—siapapun gurunya. Pelajaran aneh begini… tapi sudahlah, jangan membicaraka keburukan pelajaran ramalan. Kalau kena karma bisa gawat juga kan. Bukannya ia percaya dengan hal-hal tidak logis seperti itu. Tidak—ia sama sekali tidak percaya. Tapi tetap saja ia tidak ingin mengalaminya. Ia tidak percaya tapi.

Ruangan itu tampak lebih sumpek daripada ruangan lain. Kursi-kursi berlengan tampak asal dijejalkan ke dalamnya, membuat ruangan itu menjadi jauh lebih sempit daripada yang seharusnya. Panas yang menguar dari perapian membuat ruangan itu hangat, bukan, panas lebih tepatnya lagi. Apalagi dengan cahaya temaram yang ditimbulkan lampu-lampu yang dilapisi selendang. Nate dengan terpaksa—tanpa mengeluh seperti biasanya—menghempaskan dirinya di salah satu kursi berlengan. Meletakan kepalanya di atas meja dengan beralaskan tangannya sebagai bantal. Demi Merlin—ia benar-benar berharap tidak melakukan apa yang ia lakukan tadi malam. Tebak apa yang membuatnya sampai terkantuk-kantuk ke kelas begini? Belajar, ya. Tidak perlu membelakan mata begitu—semua orang juga tahu kalau Nate bukan murid yang asal-asalan. Oke, tahun kemarin memang ia kehilangan semua nilai-nilainya. Tapi akan ia buktikan kepada si Miranda itu—tahun ini, ia berbeda. Bukan berarti ia itu seorang kutu buku—oh, please—seorang Nate tidak bisa disamakan dengan seekor kutu buku yang merasa kepalanya terlalu tertinggi sehingga memutuskan untuk berada di menara terus. Lagipula, imej seorang kutu buku selalu dekat dengan anak-anak jelek yang tidak punya teman dan well—jauh dari Nate-lah.

"Pada pelajaran... kita... dengan daun teh... Tasseomancy. tertinggal di dalam cangkir... masa kini dan masa depan...melihat yang tak terlihat. ...kosongkan pikiran... duniawi karena... pusat kosmos...melampaui... masa depan.” anda bilang apa tadi, prof? Nate mengangkat kepalanya dengan wajah sembab—bukan, ia tidak menangis, idiot—mengangkat tangannya untuk menggosok mukanya sekedar untuk memastikan bahwa ia bukan berada di alam mimpi dimana semua hal bewarna merah dan jingga. Demi banshee yang mengikik di tangga, kenapa kelas ini harus begini? Pasti ini sebuh konspirasi untuk menjatuhkan Nate. Dengan cara membuatnya ngantuk dengan kondisi kelas yang hangat dan dipenuhi harum teh. Tapi—ia tidak akan kalah.

Tidak akan pernah kalah.

Nate menarik poci teh di mejanya—menyajikan teh untuk dirinya sendiri. Tanpa sengaja menjatuhkan sendok yang dipakainya untuk mengaduk teh. Saat ia menunduk untuk mengambil benda itu dari lantai, ia justru mendengar sesuatu yang membuat kepalanya terantuk meja saat akan menegakan tubuhnya. ”Ehem, Michelle, bentuk pertama aku melihat bintang yang berarti kesuksesan dan penghargaan. Berikutnya segitiga berati kau terlibat hubungan cinta segitiga.” Hei, Dewi Fortuna... kau membenciku, ya? Seharusnya ia memang tidak mengambil kelas ini—kenapa dari semua kelas pilihan yang disediakan, mereka harus mengambil pelajaran yang sama? Dan apapula cinta segitiga yang dimaksud... Ck, sudahlah. Anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya—mengusir pikiran apapun yang memasuki kepalanya. Ia meletakan sendoknya di atas meja dan mengangkat bahu. Well—bagaimanapun juga, masih ada janji itu—ia tidak peduli apapun, selama masih ada janji itu. Ia masih memiliki hak. And life goes on.

zZzzZzz....

Nate mencubit pipinya sendiri—jangan tidur, hoi. Jangan tidur.

Anak laki-laki itu mengangkat cangkirnya—meneguk isinya pelan-pelan. Teh hangat dan scone, sungguh Inggris. Seperti ibundanya tercinta, ck. Bikin kesal saja. Tapi kalau ia tidak salah ingat kata si Trewlaney tadi—jangan memikirkan hal-hal duniawi. Jelas saja, Nate sama sekali tidak dekat dengan dunia. Pikirannya sudah mendekati gerbang dunia mimpi begini. Anak itu memutar cangkirnya tiga kali sebelum meletakannya di tatakan, sementara satu tangannya sibuk memijit pelipisnya yang berdenyut menyakitkan karena kurang tidur.

Posted Image

Cangkir di depannya tampak menertawakan dirinya yang sedang kesusahan mempertahankan diri di ambang kesadaran yang menipis. Oh, sialan kalian udara hangat dan kursi yang terlalu empuk. Nate menggelengkan kepalanya beberapa kali—dia tidak akan kalah dari kantuk. Sekarang intruksi selanjutnya... argh, ia tidak mendengarkan apa kata si kelelawar tua itu tadi. Setelah itu apa—makan kue inginnya, sih, sayang bukan. Tapi sudah pastilah, berhubung mereka akan membaca daun teh, sekarang waktunya kegiatan utama berarti. Amati cangkir—eh, bukan—amati daun teh. Mari kita lihat, ramalan untuk seorang Nate (tolong camkan bahwa Nate tidak pernah percaya dengan yang namanya ramalan, sama sekali tidak percaya). Baiklah, yang sebelah kanan itu tampak seperti tikus—artinya... demi Merlin. Peringatan—tidak mungkin. Bukan, tadi dia pasti salah lihat. Ia memperhatikan cangkirnya dari arah yang lain—menyipitkan matanya dan mengangguk-angguk saat ia melihat bentuk lain yang terlihat seperti bell baginya. Bel—aha!

”Unexpected goodnews in love,” ujarnya keras dengan puas—oke, lupakan saja semua tentang si tikus aneh itu, yang ini lebih baik. Ia mengerling sosok di depannya dengan cengiran lebar sambil menyerahkan cangkirnya pada partnernya yang entah disadarinya atau tidak sudah ada dari tadi. ”Lihat Sylar, ramalanku cukup bagus, nih.”

Masih mengantuk...



ZzzZzZz…

Gunakan logikamu, bagaimana kira-kira keadaan orang yang dipikirannya hanya ada bantal dan selimut chincila yang hangat? Nah, begitulah keadaan bocah ini sekarang. Ditambah suasana yang hangat ini, ia merasa seperti landak yang sudah tidak sabar memasuki hibernasi tapi terus diganggu oleh setan-setan jahat. Salah satunya Trewlaney yang pastinya tidak mengizinkannya tidur di sini, kecuali kalau ia pura-pura mendapat penglihatan ketika mimpi. Tapi bagaimana caranya coba—seolah ia bisa mengatur tingkah lakunya sewaktu tidur saja. Setan yang kedua adalah Sylar yang tumben-tumbennya datang ke kelas dengan wajah segar bugar, tidak ada satupun gurat-gurat kurang tidur muncul di wajahnya. Ini pasti kutukan. Pasti jembalang yang pernah ia tendang marah dan memberinya kutukan kantuk dan pasti juga jembalang itu suka pada Sylar hingga justru membuatnya sembuh dari penyakitnya. Cih. Jembalang sial, setan ketiga. Setan yang keempat... bukan, bukan setan, Succubus. Iblis wanita cantik yang gemar menjebak kaum adam. Ia pasti sudah sedikit terperosok ke alam mimpi.

Nate dengan enggan meraih cangkir rekannya—Sylar, tidak salah lagi.

Memang kau kira siapa?

Posted Image

Wahai kekuatan kosmos dan alam semesta, tunjukan masa depan pemilik cangkir ini lewar bentuk daun teh. Nah. Apa yang ia lihat di sana? Coba tebak? Burung, buku, anjing, kucing? Bukan. Yang ia lihat adalah... daun teh. Seperti yang seharusnya ia lihat. Mana tanda apapun itu yang seharusnya ada di dalam cangkir? Jangan bilang daya imajinasinya kurang, di saat ia justru memiliki imajinasi yang berlebihan begini, mana mungkin kurang. Pokoknya ia melihat daun teh. Bentuknya seperti... kepiting mungkin? Entah, deh. Abstrak. Boleh tidak ia mengatakan bentuk lukisan Picaso? Tidak—tidak ada arti bentuk Picaso di buku buatan Cassandra Vablatsky itu, berarti tidak boleh menyebutnya seperti itu. Ck. Seperti bantal? Atau tempat tidur...?

Baiklah, ia akan mengatakan ini sekali saja seumur hidupnya, bahwa ada satu hal yang tidak bisa dilakukan dengan sempurna oleh seorang Nathan Kehl Harvarth. Dan hal itu adalah… ia tidak mempunyai mata batin a.k.a. ia tidak bisa meramal. Darimana kesimpulan itu bisa ia ambil? Well, lihat saja. Sudah lima menit ia memandangi cangkir Sylar, berharap mata batin dan kekuatan kosmos pelingkup bumi yang dikatakan itu akan muncul dan memberikan gambaran yang seharusnya datang menurut teori ramalan dari Trewlaney, dan apakah hasilnya? Nul. Zero. Nihil. Tidak, mata batinnya tidak memberikan bimbingan sama sekali. Dan ia terpaksa mengakui ia tidak punya bakat di bidang ini. Bukan berarti ia ingin memiliki bakat ramalan atau apa—ia sudah bilangkan kalau pelajaran ini hanya omong kosong dan sama sekali tidak pasti dibandingkan pelajaran lainnya. Tapi kegagalan tetap membuatnya kesal dan merasa kalah. Dan semua orang tahu Nate benci kekalahan.

Jadi di saat seperti ini—hanya ada satu yang bisa ia lakukan.

Meramal, jelas. Apa yang kau harapkan?

Nate memutar-mutar cangkir rekannya. Sesekali mengangguk dengan wajah sok yakin—percaya diri dengan entah teori macam apa yang muncul di kepalanya. Ekspresinya serius, seolah kali ini ia benar-benar sedang menghayati perannya sebagai peramal. Ia berdeham dan mulai berbicara, ”well, yang kulihat di cangkirmu adalah.... jam, yang berarti peringatan pada penundaan. Dengar itu Sylar, jangan suka terlambat lagi. Lalu kalau diputar begini... aku melihat gurita yang berarti peringatan juga. Aneh, apa akhir-akhir ini ada yang dendam padamu, Sylar?”

Menyenangkan.

Hehe.

Peringatan untukmu Sylar, makanya... bagaimana bisa orang ini menularkan kantuk yang sedemikian berat padanya sementara ia sendiri bisa datang ke sini tanpa susah payah dengan mata terbuka lebar? Tidak adil. Pasti Sylar sudah menjampi-jampi dirinya, membuat sindrom kantuk berpindah tempat dengan indahnya. Heh. Tunggu, sejak kapan Sylar dan jembalang itu berteman? Uwoh, menyebalkan. Mereka berdua pasti berkonspirasi agar Nate mendapat nilai jelek di pelajaran ini. Pasti jembalang itu naksir Sylar sampai rela mengutuk Nate seperti ini. Hm... apakah jembalang bisa mengutuk? Rasanya mahluk berkepala kentang itu bahkan tidak punya otak... apa itu berarti Sylar yang memanfaatkan mahluk lemah tak berdaya dengan taring super tajam itu? Wogh. Tidak ia sangka rekannya itu tidak punya rasa keprijembalangan. Setidaknya Nate hanya menendang mahluk malang itu.

Malang kepala nenekmu.
Frilla
Hari yang baru dan kelas yang baru. Sadar tidak sih, setiap memikirkan mengenai kelas yang akan dimulai Nate selalu mengeluhkan sesuatu tentangnya. Baik tentang waktu yang tidak tepat, materi yang membosankan, guru yang aneh, well, apapun yang bisa ia keluhkan. Andaikan sang Dumbledore sendiri yang rela turun dari tahtanya di kantor kepala sekolah untuk mengajar pasti Nate juga tetap akan menemukan kekurangan untuk dikeluhkan. Bukannya ia menganggap Dumbledore guru yang luar biasa baik atau apa—jauh dari sempurna menurutnya. Ayahnya kurang menyukai si tua itu, dan pendapat ayahnya selalu ia cerna dengan kelewat baik. Jadi kalau dia punya pandangan yang seenaknya sendiri, silahkan tunjuk ayahnya sebagai alasan dia seperti ini. Semua pemikirannya berasal dari beliau. Meskipun itu hanya pendapat Nate semata, narator sendiri berpendapat otak anak itu pernah terbentur sewaktu kecil sehingga saraf rendah hatinya putus tanpa ada kemungkinan untuk dibetulkan.

Tapi kenapa juga perlu rendah hati saat ia memang sudah berada di tempat tertinggi?

Nate memilin-milin tongkatnya dengan wajah angkuh seperti biasa. Kepalanya terangkat sementara ia bersandar pada kursinya yang jauh dari empuk. Kenapa bukan kursi berlengan—satu pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada staff sekolah. Bukankah suasana yang nyaman juga menjadi pemicu anak-anak belajar dengan lebih keras. Dengan suasana yang tidak kondusif begini siapa coba yang bisa belajar dengan suka cita?

Jadi materi kali ini adalah boggart—entah ia harus merasa senang atau kecewa. Inderanya samar-samar menangkap suara Lightdarker dan Crossroad yang menjawab pertanyaan mengenai definisi boggart. Mahluk yang penuh misteri memang, boggart itu. Nate sendiri tidak bisa dibilang tidak tertarik dengan bahan kelinci percobaan mereka kali ini. Menarik dan ia belum bisa mengetahui penjelasan yang masuk akal mengenai kemampuan boggart itu. Apa semua mahluk itu memiliki kemampuan untuk melakukan legillimens yang luar biasa hingga bisa mengetahui ketakutan terbesar mahluk yang mengancamnya—lalu memproyeksikannya dengan mengubah bentuknya. Tapi jika kemampuan membaca ketakutan itu seperti legillimens, apakah orang yang menguasai occlumens bisa mencegahnya? Kalau tidak, apa pangeran kegelapan juga bisa dikalahkan oleh boggart? Dan katanya satu-satunya orang yang ditakutkan oleh pangeran kegelapan adalah Dumbledore. Apakah itu berarti boggartnya akan berubah menjadi sang kepala sekolah? Apa boggart dalam jumlah banyak bisa mengalahkan pangeran kegelapan dan pengikutnya? Entahlah. Semua pertanyaan itu belum bisa ia jawab.

Jadi marilah kita kembali pada hakikat pelajaran kali ini dan bentuk boggartnya sendiri. Ketakutan terbesar seorang Nathan Kehl Harvarth. Apa kira-kira? Beberapa waktu ke belakang mungkin ia mengatakan kematian dirinya adalah hal yang ia paling takuti. Ia masih muda, belum puas menikmati hidup. Mati benar-benar bukan pilihan untuknya. Tapi akhir-akhir ini ia menyadari ada banyak hal yang lebih buruk daripada kematian. Dan itu membuat ketakutannya pada kematian kian menghilang. Apakah itu berarti ia mulai menyerah pada kehidupan—berpendapat itu adalah salah satu solusi yang bisa dijadikan pilihan? Entah. Tapi yang jelas hal itu tidak terasa menakutkan lagi sekarang. Toh bisa dibilang kita diciptakan untuk mati.

Ia sudah mengerti lebih dari itu.

Kembali lagi pada hal yang ditakutkan, coba pikirkan kemungkinan lain—melihat Michelle berjalan dengan orang lain? Mungkin. Tidak terbayangkan bagaimana kalau sampai hal itu benar-benar terjadi di depan matanya. Ia sama sekali tidak ingin membayangkannya. Entah seperti apa sakit yang akan terasa. Belum membayangkannya saja rasanya wajahnya kaku mendadak tidak bisa tersenyum. Tapi ia akan belajar untuk merelakan—sakit memang, ia tidak yakin bisa hidup bahagia lagi kalau hal itu benar-benar terjadi. Tapi ia bersumpah, dan Nate pantang mengingkari sumpahnya sendiri. Sekalipun itu pada dirinya seorang saja. Jadi mungkin hal itu tidak jadi ketakutan lagi untuknya, menyakitkan—namun bukan hal yang ia takuti. Lagipula sang putri berhak mendapatkan yang terbaik. Benar bukan? Please—konsentrasilah Nate. Anak laki-laki itu menertawakan pemikirannya sendiri dalam hati.

Konyol benar.

Nama: Nathan Kehl Harvarth
Ketakutan terbesar: Kesempurnaan diriku sendiri, becanda, prof :p
Solusi: ...


Nate masih memilin-milin tongkatnya, berpikir keras mengenai hal yang ia takuti. Kelereng bewarna karamelnya melirik orang-orang yang maju bergantian. Mayat, mayat. Puji Merlin, apakah ia satu-satunya orang yang bisa menerima kematian sebagai sesuatu yang wajar?—apa maksudmu, Nate. Seolah kau tidak akan jadi gila kalau sampai ada seseorang di dekatmu yang mati—tapi itu karena mereka sedikit orang yang mengenal Nate bukan? Kalian yang dibesarkan dalam keluarga yang sempurna mana mengerti apa yang pangeran Norwegia ini rasakan.

Alisnya mengerut ketika melihat Sylar maju dan—mengubah boggartnya menjadi sosok seorang Nathan dengan baju berenda khas boneka porselen. Hei, Lazarus—mau mati, ya? MAU MATI?! Setan kau Sylar. Manusia es menyebalkan, awas saja lain kali. Ia akan berikan alamat rumah teman masa kecilnya itu pada salah seorang gadis yang terobsesi padanya itu. Matilah kau dengan salah satu mahluk yang paling kau benci. Lalu apa lagi untuk membalas? Heh, ketakutan terbesarnya cokelat, eh? Lihat saja—sesampainya di kamar, tumpukan cokelat akan menanti di atas tempat tidurmu, Sylar. Kau sangat menyukai cokelat kan—sampai rela mendapat ganjaran dengan berbuat hal-yang-tidak-terkatakan itu? Demi Salazar, dia ingin menggilas orang itu dalam tong tempat menggerus monster yang pernah ia baca itu. Di saat-saat begini nih, ia ingin meminjam buku-buku mengerikan milik Szent. Mungkin pinjam sedikit tidak masalah—100 Cara Menyiksa Seorang Lazarus. Nice.

Ck, persetan dengan Sylar—gilirannya hampir tiba.

Szent mengerikan seperti biasa—dan mananya yang lucu dari solusi anak itu? Banyak pisau yang menusuk-nusuk dan darah yang mengalir membentuk genangan merah yang amis. Dasar mengerikan. Untung dia tidak menakutkan seperti Szent. Hiii... Seolah seseorang memutar kepalanya tiba-tiba, ia bisa melihat kelebatan warna-warni yang diakhiri dengan darah yang menetes dari tangannya. Bulu-bulu yang sekilas terlihat lembut tapi Nate tahu lebih dari itu. Dan ya, dia tahu apa yang ia takutkan. Terima kasih pada Szent yang sudah membangkitkan kenangannya di Diagon Alley waktu itu.

Nama: Nathan Kehl Harvarth
Ketakutan terbesar: Kucing super besar dengan cakar keluar dan nyengir menunjukan taringnya. Mendesis mengancam dan menjilat mulutnya seolah tidak sabar untuk menyantap hidangan lezat sementara matanya menyipit mengerikan menembus kulit targetnya.
Solusi: Mengubahnya menjadi bola bulu jinak tak berbahaya yang menebrak tembok


Pangeran Skandinavia itu melangkah ke depan—bersiap untuk menyambut gilirannya. Semua orang sepertinya senang sekali mempermainkan staff pengajar, hm... dan kenapa dia takut pada boneka? Oh, well... bukan urusannya. Ia tidak punya urusan sedikitpun mau gadis itu benci pada boneka atau suka mobil-mobilan atau alergi kuda-kudaan. Konsentrasi, ia harus konsentrasi pada konsep yang sudah ia tulis. Dan mudah saja, boggart itu menjelma menjadi bola bulu yang semakin lama semakin besar. Tingginya dua setengah meter mungkin. Bulunya yang hitam kelam tampak kontras dengan mata keemasan yang menatap tajam pada Nate. Taringnya yang tajam tampak berkilat mengancam—tiga puluh senti mungkin ukurannya. Desisan marah terdengar keras, oh—Merlin’s bunny slipper. Ini mengerikan, sumpah.

Nate tercenung.

Bayangkan kucing itu menyusut dan menjadi bola bulu yang menggelingding menjauh. Jauh dan jauuuuh... sangat jauh dari Nate. Sip.

”Riddikulus!” ujarnya keras sebelum cakar-cakar tajam itu merobek-robek tubuhnya. Nate tidak takut, benar, deh. Sama sekali tidak takut—sama sekali tidak takut.... berubahlah menjadi bola bulu, sekarang. SEKARANG, hoi. Tanpa menunda—dan kenapa kucing itu tampak semakin dekat dan dekaaaat... damnit.

Poof.

Monster itu tidak berubah menjadi bola bulu sepenuhnya, tapi kucing kecil yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan bola bulu yang jinak tanpa cakar dan taring sebesar lengannya. Kucing ini terlihat familiar—apakah ia pernah memelihara kucing sebelumnya? Rasanya tidak pernah. Kuda poni, salamander, ular, tupai, tikus, merak—tapi belum pernah ia memelihara kucing. Ibunya melarang, kotor katanya. Padahal bilang saja wanita itu tidak ingin mengabulkan permintaannya—tidak perlu pakai alasan busuk begitu. Heh. Mungkin itu sebabnya ia punya ketidak sukaan khusus pada hewan yang satu itu. Tidak seperti kebanyakan perempuan yang justru memilih mamalia satu itu sebagai peliharaan. Dan hal itu mengingatkannya pada sesuatu. Kucing di depannya ini mirip dengan—

Azure?

Brengsek.