Frilla
I've been alone so many nights now
And I've been waiting for the stars to fall


Lima belas manit terpanjang dalam hidupnya. Dan keseluruhannya ia habiskan dengan terdiam menatap langit seperti orang bodoh. Mengecek arloji setiap menit, menanti jarum panjang tiba di angka dua belas. Di menit-menit terakhir pikirannya mulai semakin pelik. Puluhan kemungkinan mulai dari yang terburuk hingga yang terbaik sehingga rasanya amat mustahil untuk terjadi membanjiri benaknya. Begitu sibuknya ia dengan cerveaunya hingga hal yang ia ketahui selanjutnya adalah suara langkah di belakangnya. Dekat. Ada kemungkinan lain bahwa itu sama sekali bukan orang yang ia tunggu, memang. Bisa saja itu Filch, meskipun ia ragu karena kalau memang pak tua itu yang datang, pasti langkahnya lebih berantakan dan terlebih lagi pasti langsung berteriak marah melihat seorang siswa melanggar jam malam. Mungkin Profesor Sinistra yang tiba-tiba ada kencan romantis di bawah bintang dengan suaminya yang terhitung baru. Tapi kesunyian yang mengikuti suara langkah itu memberitahunya.

Dan tiba-tiba ia merasa yakin bahwa dia memang idiot.

Apa yang ia harapkan dengan datang ke sini, dengan mengirim bunga itu, dan pesan itu, dan... segalanya. Ia dicampakan, mencampakan. Nate dan Michelle, itu hanya mimpi. Sudah waktunya ia bangun dan menyadari hal itu. Bodoh. Tolol. Narre, dalam bahasa ibunya. Bisa-bisanya ia masih mengharapkan sesuatu yang begitu di luar jangkauannya setelah semua hal yang ia lakukan.

Nate mengepalkan tangannya. Ia ingin membalikan tubuhnya sekarang, melarikan diri dari tempatnya sekarang. Jauh dan jauh dari kenyataan. Demi Tuhan, seharusnya ia mengubur diri saja bersama mandrake-mandrake di rumah kaca. Tapi ketika ia membalikan tubuhnya dan menatap sepasang kristal cokelat yang ia rindukan. Ia merasa lebih bodoh daripada sebelumnya. Bagaimana mungkin ia bisa merasa bodoh dengan melakukan tindakan yang sama sekali tidak bodoh? Kalau kau mengerti maksud anak laki-laki itu. Dan lupakanlah persoalan mengenai sebenarnya dia idiot atau tidak, karena di depannya ada masalah yang lebih penting. She's standing there. Right in front of him, no kidding. Nate merasa nafasnya kembali tercekat, seperti yang selalu terjadi ketika ia kehilangan kata-kata. Betapa ia merindukan menatap gadis itu seperti sekarang, bukan hanya kilasan di kelas atau asrama, bukan hanya sepersekian detik di meja asrama atau lorong. Helen of Troy. Cleopatra. Neferiti. Phryne. Bathsheba. Marie Antoinette. Buat daftar nama-nama wanita di dunia ini yang dikatakan sebagai mahluk tercantik di bumi dan sisakan satu tempat untuk seorang Michelline Fara Solathel.

When you're standing here in front of me
That's when I know that God does exist


Tanpa sadar seulas senyum muncul di wajah pemuda itu. Semuanya akan baik-baik saja. Meskipun terlihat mustahil, meskipun setelah semua yang terjadi di antara mereka, kisah ini akan berakhir dengan bahagia. Nate dan Michelle. Michelle dan Nate. Berdua. Bukan hanya mimpi tapi dalam kenyataan. Happily ever after. Just like the story books.


"If you're trying to attract me into somekind of joke—this isn't funny, Harvarth."


Senyumnya hilang dalam sekejap. Tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih. Tentu saja. Sejak kapan kehidupan itu mudah dan sejalan dengan keinginannya? Tapi ia sudah sampai di sini, semua sudah terlanjur terjadi, dan ia tidak berniat untuk mundur lagi. Ia sendiri yang sudah bersumpah, demi sang putri, demi secercah harapan akan kebersamaan, apapun akan ia lakukan. Ia berharap, memohon, meminta, membutuhkan masa depan itu. Bersama menyusuri danau seperti dulu, senyum dan perbincangan yang membuat bahkan kelas paling membosankan sekalipun menjadi menyenangkan, berdua saja. Jika ia bisa mendapatkan hal itu, Nate bersumpah tidak akan pernah menginginkan hal lain. Hanya satu hal itu saja, yang ingin ia miliki.

"It wasn't meant to be funny," ujar Nate, menatap gadis itu tepat di kedua matanya. Untuk menunjukan bahwa dia serius kali ini, tanpa kebohongan. Bukankah mereka berdua sama-sama sudah muak dengan kebohongan?

And I can't imagine two worlds spinning apart,
Come together eventually


Tidak ada lelucon. Anemone, dalam bahasa bunga artinya unfading love--cinta yang tak pernah sirna. Dan Nate sungguh-sungguh merasa seperti itu. Sekalipun ia menjauh, menarik diri dari sang putri, tak pernah sekalipun ia melupakannya. Masih ada begitu besarnya rasa sayang itu hingga ia terkadang ingin mengiris-iris pemuda lain yang berada dalam radius lima meter dari sang putri. Ia tahu ia luar biasa egois, masih menganggap Michelle sebagai miliknya hingga saat ini. Tapi bukankah semua manusia memang egois? Dan malam ini, ia membulatkan tekadnya. Nate akan mendapatkan sang putri kembali. Demi Tuhan, bagaimana mungkin ia bisa merasa seperti ini, sih? Ia benar-benar rela melakukan apa saja, bahkan kalaupun harus membunuh seseorang--jangankan itu, disuruh loncat dari menara ini pun ia rela kalau itu artinya ia dan Michelle bisa kembali bersama. Kali ini ia benar-benar tidak peduli lagi pada apapun. Nate menginginkan putrinya kembali. Serius. Ia akan membunuh siapapun yang berani menghalanginya.


Tapi bagaimana jika memang sang putri yang menolak?


Lidahnya kelu. Setelah mengucapkan satu kalimat itu, Nate tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya menatap nanar gadis itu. Pedih rasanya jika berpikir bahwa ada kemungkinan Michelle menolaknya. Ia yang salah, ia tahu. Dari awal. Seandainya ia tidak melakukan semua hal di masa lalu itu... Tuhan, dia hanya bisa bermimpi ia bisa mengulang kembali sang kala. Antara harapan dan putus asa. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Apa yang harus ia katakan agar gadis itu mau melihatnnya seperti dulu? Galau, khawatir, takut, berharap.

Dan akhirnya ia tetap membisu.

But this journey, it was worth the fight
To be with you
Just to be with you
0 Responses