Frilla
Di suatu tempat di bagian Eropa Utara, ada sebuah kerajaan yang memiliki seorang raja yang arif dan bijaksana. Didampingi oleh permaisuri yang tersohor karena kelembutan dan kecantikannya, mereka berdua membentuk pemerintahan yang adil dan dicintai oleh rakyatnya. Suatu ketika, sang ratu mengandung. Seluruh kerajaan bersuka cita, menunggu selama sembilan bulan untuk menyaksikan kelahiran putera mahkota yang akan meneruskan pemerintahan sang raja arif. Tapi penantian itu dikecewakan oleh kelahiran sang bayi yang ternyata adalah perempuan. Sang raja kecewa dan sang permaisuri bersedih. Seluruh kerajaan menyayangkan hal itu. Sampai akhirnya, sang permaisuri mengandung untuk yang kedua kalinya. Lagi-lagi semua bergembira, menanti penuh harapan akan kedatangan sang putera mahkota. Namun mereka harus menelan kekecewaan lagi. Karena kali ini juga yang lahir adalah seorang puteri.

Bertahun-tahun terlewat, namun kerajaan itu belum juga dikaruniai seorang putera. Dua kali sang permaisuri mengandung, dan dua kali bayinya gugur. Pedih hati sang permaisuri karena tidak bisa melaksanakan tugasnya untuk melahirkan putera mahkota. Namun tidak sekalipun ia menyesali kelahiran kedua putrinya yang cantik. Lain halnya dengan sang raja. Rasa kecewa yang sedemikian besar membuatnya rikuh. Tanpa adanya penerus, bagaimana nasib kerajaan yang sudah ia bangun sedemikian rupa ini?

Suatu ketika, sang raja pergi mengunjungi kerajaan lain guna mempererat persahabatan di antara keduanya. Di sana, sang raja terpana oleh sosok seorang wanita. Wanita itu adalah bangsawan muda yang memiliki semangat hidup yang tinggi. Keceriaan sang bangsawan begitu memikatnya hingga sang raja pun takluk. Permaisuri yang mengetahui hal ini terkejut dan merasa telah dikhianati. Dendamnya terus menyala pada bangsawan yang telah berani merebut rajanya. Terutama, ketika ternyata bangsawan itu melahirkan seorang anak laki-laki. Sang raja berbahagia akan kelahiran penerusnya. Rakyat gembira dengan kedatangan sang putera mahkota. Tapi permaisuri yang masih memendam kebencian pada sang bangsawan yang meninggal setelah melahirkan puteranya tidak ikut senang. Kendatipun objek kebenciannya telah tiada ia meneruskan perasaannya itu pada sang putera mahkota. Rakyat dan penghuni istana yang lain juga berbisik-bisik. 'Pangeran yang tidak pantas mendapatkan kedudukannya'. Karena dia dilahirkan oleh wanita yang bahkan belum menjadi istri raja. Anak haram.


Tidak pernah ada akhir yang bahagia untuk sang pangeran.

Dan itu sebabnya, Nate memiliki ketidak sukaan tersendiri pada dongeng. Memikirkannya saja sudah membuat alisnya berkerut. Manik kecokelatan miliknya menatap lekat pada api di perapian seakan menimpakan kesalahan pada energi kemerahan yang menimbulkan bunyi berderak. Ia berdiri di hadapan perapian dengan tangan bersidekap di depan dada. Sweater hitam di atas t-shirt bewarna abu-abu dan jeans hitam menjadi pilihannya sore itu. Ia mengetuk-ngetuk lantai dengan kakinya yang beralaskan sepatu kanvas hitam putih. Sedikit banyak merasa bersyukur hari itu ruang rekreasi cukup kosong, sehingga tidak ada orang yang memperhatikan tingkahnya yang tidak wajar di depan perapian. Sudah lima belas menit ia berdiri sambil memperhatikan sang api menjilat kayu bakar hingga menjadi abu. Orang pasti akan bertanya apa yang ia lakukan di sini, bermurung ria seorang diri sementera yang lain sedang menikmati semangat natal.

Yah, Natal. Sulit melupakannya di saat seluruh koridor di dekorasi dengan hiasan-hiasan khas acara ini. Belum lagi nyanyian hantu yang kebetulan berpapasan dengannya dan juga para lukisan yang juga gembira sekali merayakan hari raya yang satu ini. Ditambah dengan pohon natal di aula dan anak-anak lain yang semuanya membicarakan hadiah yang mereka inginkan untuk natal atau yang ingin mereka berikan. Indah sekali. Membuatnya ingat dengan hal-hal yang menyebalkan. Tolog diingat bahwa Nate sama sekali tidak berterima kasih dengan suasana nista ini. Dan untuk mengingat bahwa bertahun-tahun yang lalu juga ia pernah merasa senang dengan datangnya hari natal. Bodoh sekali dia waktu itu.

Nate mendengus ketika melihat beberapa kaus kaki tergantung di atas perapian. Kaus kaki, permohonan, santa klaus. Kebohongan yang biasa. Terlalu kekanak-kanakan sampai Nate sendiri malas untuk menyebutkan poin-poin yang tidak masuk diakal dalam cerita kakek berjanggut itu. Dan permohonan, yang benar saja.

Putera Harvarth tidak pernah memohon.

Dan memangnya ia bisa meminta apalagi? Emas bergelimpangan, jubah dan tas baru sudah menjadi makanan sehari-harinya, set gobstone emas 24 karat dengan bertahtakan permata pun bisa ia dapatkan dengan jentikan jari, sapu terbang paling baru juga hanya memerlukan sehelai perkamen yang dilayangkan pada ayahnya, bertemu dengan tim quidditch favoritnya pun hanya perlu satu kontak floo dengan menyebutkan namanya, makanan Perancis mewah selalu dihidangkan koki di rumahnya, malah Nate yakin ia bisa mendapatkan naga untuk peliharaan jika ia benar-benar menginginkannya. Maaf untuk mereka yang miskin dan tidak bisa memenuhi segala keinginannya. Takdir. Katakan, apa lagi yang bisa ia minta di saat semua kebutuhannya sudah terpenuhi?

Nate meringis. Mau tidak mau mengakuti peribahasa money can't buy everything. Ia punya permintaan tentu saja. Rahasia. Tapi ia tidak akan menuliskannya di atas secarik perkamen dan memasukannya ke dalam kaus kaki seperti orang bodoh. Ia sudah tahu itu hanya tradisi konyol dan tidak ada gunanya ia melakukannya. Dicap sebagai orang aneh yang masih mempercayai keajaiban natal jelas adalah 'tidak' untuknya. Tapi pada akhirnya ia melakukannya juga. Memasukan perkamen maksudnya. Bukan mempercayai keajaiban natal atau apa. Ia tidak percaya. Sama sekali.


I want to be worthy.


Frilla

Oslo, Norwegia. Kota yang suhunya bisa mencapai minus tiga puluh derajat celcius di musim dingin dan bahkan di musim panas pun suhu tertingginya hanya sekitar dua puluh derajat celcius. Kota yang identik dengan salju dan di musim dingin seperti sekarang ini matahari hanya terbit selama enam jam. Dibesarkan dalam keadaan alam yang sangat dingin, Nathan Kehl Harvarth selalu merasa menderita saat harus melewatkan liburan musim panas di London. Meskipun bukan berarti satu-satunya anak laki-laki dari Odieneer Harvarth itu menyukai salju. Nate—begitu ia biasa dipanggil, tidak menyukai musim dingin ataupun musim panas. Meskipun begitu, anak laki-laki itu menyukai semua musim di Norwegia. Bahkan meskipun baginya musim dingin di Hogwarts hampir hangat-hangat kuku, ia tetap lebih memilih berada di Oslo, sedingin apapun temperaturnya saat itu.


Beberapa hari sebelum natal tiba., sebuah mobil sedan bewarna hitam mengilap berhenti di depan kastil Arkeshus yang juga diketahui sebagai salah satu kediaman keluarga Harvarth. Bertuan rumahkan Odieneer, sosok dibalik kesuksesan Statoil, perusahaan energi terbesar di Norwegia.


Dari balik pintu kastil, seorang peri rumah bergegas menyambut mobil yang mengantar putera mahkota dari keluarga itu. Langkahnya terburu-buru hingga dua-tiga kali peri rumah malang itu hampir jatuh tersandung serbet putih dengan lambang keluarga yang dilayaninya tersulam di bagian depan, satu-satunya kain yang menempel di tubuh mahluk mungil itu. Matanya yang sebesar bola tenis semakin melebar karena takut, tergopoh-gopoh membuka pintu belakang mobil hitam itu sekaligus menunduk serendah yang bisa ia lakukan pada sosok berambut kecokelatan yang keluar dari dalamnya.


Anak laki-laki itu bertubuh tinggi dalam balutan mantel tebal bewarna putih yang membuatnya tampak lebih besar daripada tubuh aslinya. Berkali-kali angin dari utara berhembus dan membawa rambut cokelatnya mengganggu penglihatannya. Tapi laki-laki itu tidak mengacuhkannya, mengerling ke arah bangunan kokoh di hadapannya dengan tatapan yang mungkin bisa dideskripsikan seperti rindu atau justru muak. Sepasang bola mata cokelatnya bahkan tidak melirik ke arah peri rumah yang berdiri di dekatnya sewaktu ia langsung berjalan memasuki gerbang utama kastil itu, menciptakan jejak-jejak dengan sepatu boot hitamnya. Tidak mempedulikan bagaimana si peri rumah kesulitan membawa koper-koper yang ukurannya lima kali tubuhnya. Itu memang tugas peri rumah, sang tuan muda bisa peduli setan dengan hal itu.


Nathan Kehl Harvarth telah kembali ke rumah.


Ia melepas mantelnya dan menyerahkannya pada seorang pelayan. Manik cokelatnya bergulir dalam rongga matanya, menatap perubahan yang terjadi di rumah itu selama kepergiannya. Lukisan nenek moyangnya diganti dengan lukisan keluarganya, satu hal yang langsung disadarinya karena sosok dirinya dalam lukisan melambaikan tangan padanya. Lukisan itu beraliran romantisme, tidak diragukan lagi dibuat atas permintaan ibunnya. Meskipun Nate heran juga kenapa ibunya membiarkan anak laki-laki itu dilukis juga. Ditatapnya sosok wanita berambut keemasan dalam lukisan itu.


“Kau sudah sampai, Nathan,” ucap seseorang dari atas tangga. Pemilik nama yang disebut itu mengangkat kepalanya, menatap wanita yang identik dengan yang baru saja ia lihat di lukisan. Rambut ikal keemasan yang dipilin menjadi sanggul anggun di belakang kepalanya seakan menegaskan kecantikan yang dimiliki bangsawan Inggris itu. Nate sendiri mengakui bahwa ibunya memang cantik meskipun sudah dalam kategori berumur, betapapun ia membencinya.


“Ibu,” sapanya tanpa kehangatan yang biasa ditunjukan seorang anak kepada orang tuanya. Kristal karamel itu menatap sang wanita tanpa emosi. Nate tidak tahu lagi harus bersikap seperti pada ibunya itu. Karena itu—biarlah wanita itu yang menebak apa yang sebenarnya Nate rasakan. Kebencian yang mereka rasakan itu mutual. Dan tanpa ia duga, seulas senyum tipis muncul di wajah sang ibu. Tipis, tapi tetap saja sebuah senyum.


“Ayahmu sudah menunggu daritadi.”


Nate mengangkat bahu dan mengikuti Arianna setelah memberi perintah pada peri rumah pribadinya untuk menyiapkan kudapan dan air panas di kamarnya. Perbedaan lainnya yang ia baru sadari adalah rumah itu terlihat lebih cerah daripada biasanya. Entah karena warna perabotan yang terlihat lebih cemerlang atau memang suasana yang membuatnya seperti itu. Perbedaan lain adalah—kali ini ia berjalan di samping ibunya, hal yang tidak pernah ia lakukan sejak enam tahun yang lalu. Biasanya ia berjalan dengan jarak dua meter di belakang ibunya, menjauh dari wanita itu sebisanya. Nate tidak menyamakan langkah dengan ibunya jelas, ia berjalan seperti biasa. Aneh, tapi seakan-akan ibunya memang sengaja berjalan di sampingnya yang jelas tidak mungkin sama sekali. Kebetulan pasti, ia tahu pasti wanita menyebalkan itu tidak mungkin mau berjalan dekat dengannya meskipun hanya untuk semenit. Anehnya, Nate sendiri tidak merasa terlalu keberatan.


Mereka berhenti di depan pintu besar di sayap kiri kastil. Yang berambut emas mengetuk pintu. Beberapa saat, terdengar suara balasan yang mempersilahkan mereka masuk. Suara dalam seorang pria yang terdengar agak lebih lemah daripada yang Nate ingat. Tapi anak laki-laki itu berusaha tidak peduli, ia sama sekali tidak ingin mengingat bahwa sang ayah sempat dirawat di St. Mungo beberapa waktu yang lalu.


Sosok yang berbaring di atas tempat tidur tampak memilukan. Guratan umur terpatri di wajahnya dan Nate sedikit tertegun karenanya. Untuk orang yang selalu berpikir bahwa dunia ini abadi, kenyataan bahwa ayahnya tidak lagi muda membuatnya terkejut. Hampir lima puluh tahun—dan meskipun dalam ukuran penyihir itu masih tergolong muda, penyakit mulai menggerogoti nyawa pria itu. Kenyataan lain yang membuat sang anak hanya bisa menggigit bibir.


“Var1…”


“Nathan, kau sudah pulang…” ucap Odieneer pada putranya itu. Meskipun ia baru keluar dari rumah sakit beberapa waktu yang lalu, meja di samping tempat tidurnya sudah dipenuhi dengan berkas-berkas yang harus ditanda tangani dan map berisi laporan saat ia tidak ada. Pria itu mengangguk mendengar balasan dari Nate, perlahan mengalihkan perhatiannya pada istrinya. “Bisa kau pergi sebentar? Ada yang ingin kubicarakan dengan Nate.”


Wanita itu tersenyum, melangkah keluar kamar setelah mengerling ke arah putra tirinya. Sesuatu yang membuat Nate tidak habis pikir. Pertama, karena ibunya langsung mengikuti apa yang ayahnya katakan padahal biasanya ia tidak pernah tidak mencoba mengikuti pembicaraan ayahnya dengannya. Kedua, karena biasanya ibunya menganggapnya tidak ada tapi kali ini mengerling kepadanya—betapapun tidak berartinya kerlingan itu. Rumah ini semakin aneh saja menurutnya. Ia kira sesudah ini akan ada hal buruk terjadi padanya. Tidak mungkin kan wanita itu menaruh racun pada minumnya atau minum ayahnya?


“Sepertinya hubunganmu dengan ibumu sudah membaik.”


Nate tersentak, tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulut ayahnya. Selama ini, ia selalu bertindak biasa di depan ayahnya. Tidak pernah sekalipun ia bertengkar dengan sang ibu di depan pria yang menjadi panutannya dan ia rasa ayahnya sama sekali tidak menyadari ketegangan antara dia dengan ibu atau kakaknya. Dibekali dengan pikiran itu, Nate mengeluarkan ekspresi tidak mengerti sebaik yang ia bisa dan berkata, “Aku tidak mengerti maksud ayah.”


“Aku tahu hubungan kalian tidak sebaik yang kalian coba tunjukan padaku. Please, Nate, I’m the head of this house. I know everything that happened in this house,” ucap pria itu. Meskipun wajahnya masih terlihat pucat, namun seringai yang identik dengan seringai yang sering muncul di wajah putranya menghiasi wajahnya. Odieneer memberikan isyarat kepada Nate untuk duduk di dekatnya. Ibarat pribahasa dinding pun memiliki telinga, ia sebagai tuan rumah tahu segala hal yang terjadi di rumah ini. Salah satu keistimewaan dari Harvarth yang memiliki kastil tempat mereka berada sekarang, selain mantra proteksi yang kuat dan tak akan bisa ditembus oleh orang yang tidak memiliki darah Harvarth, masih banyak mantra lain yang hanya diketahui oleh pemilik sah tempat itu.


Anak laki-laki berambut cokelat itu menggelengkan kepalanya, entah apa yang ia maksud. Tapi ia tetap mengikuti isyarat ayahnya untuk duduk di tepi tempat tidur. Nate tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap sang ayah dengan ekspresi ragu-ragu.


Aldri så god hest at den ikkje kan snuble2. Your mother did a horrible mistake, but nobody’s perfect. Bahkan sebenarnya, itu semua adalah kesalahanku.”


“Bukan, Var—“ ucap Nate langsung sebelum dipotong oleh ucapan sang ayah.


“It was my fault,” tegas Odieneer. Mata dingin itu tampak menyesal—dan sesaat sosok angkuh dibalik nama Harvarth itu tampak rapuh. Tenggelam dalam penyesalannya di masa lalu. Ia menarik nafas dengan berat—seakan tiap tarikan nafasnya membawa kesakitan, dan meneruskan lagi, “ketika nama Harvarth sedang mengalami goncangan karena permasalahan internal dalam Statoil3, aku tidak bisa mengontrol emosiku dengan baik. Ketika Arianna datang kepadaku—aku membentaknya dan berkata bahwa kalau Freedret, ibu kandungmu, ia tidak akan mengangguku di saat seperti ini.”


“….”


“Kalau saja aku tidak mengatakan hal itu—Arianna juga tidak akan berkata apa-apa padamu.”


“No, Var,” ucap Nate sambil menggelengkan kepalanya keras-keras. Menolak dengan sangat tiap perkataan ayahnya. Ia tahu dengan pasti, bahwa ibunya memang tidak pernah menyayanginya dari awal. Masa kecilnya adalah kepalsuan. Meskipun mungkin memang perkataan ayahnya pada sang ibulah yang menguak tabir palsu itu. Nate mengepalkan tangannya, amarah yang dirasakannya dulu kembali mengisi rongga hatinya. “You never heard what she had said to me, Av ingen ting kjem ingen ting4. How can you expect me not to hate her after that?”


“Because she loves you—and I know that you love her as well.”


Nate menggeleng lagi. Tidak habis pikir kenapa ayahnya bisa memiliki pendapat seperti itu. Ia yang mengalami semua hal itu, ia yang mendengar semua perkataan wanita itu. Ia sendiri yang merasakan sakit dari tiap kata yang dilontarkan oleh wanita itu. Dan ayahnya masih berpendapat bahwa ada kasih sayang di antara mereka—setelah selama ini?


“She hates me, Var, she wouldn’t call me names otherwise. And I hate her too.”


Blindast er den som ikkje vil sjå5.”


“She hit me, Var! And, and…” suaranya menghilang, sejenak ia menggertakan gigi. Rasa frustasinya memuncah. Baiklah, mungkin ada bagian dari dirinya, hanya sedikit, yang merasa kehilangan sosok ibu yang ia kenal dulu. Wanita lembut yang selalu ada di sampingnya kala ia membutuhkan, kehadiran yang ia perlukan ketika sang ayah tidak bisa hadir karena terlalu sibuk. Tapi untuk apa ia merindukan sesuatu yang tidak akan pernah kembali? Nate menundukan kepalanya. “She never called me Nate the way you do…”


“ Nama…” ucap pria di akhir usia empat puluh itu perlahan. Senyum kecil muncul di wajahnya saat ia mengenang kejadian yang terjadi hampir lima belas tahun yang lalu. Saat itu musim semi dan suhu di tempat ini sekitar sepuluh derajat celcius. Odien masih bisa mengingat hal itu seakan baru kemarin terjadi. “Apa kau tahu siapa yang memberikan namamu?”


“…”


“Bukan Freedret atau aku atau siapapun yang mungkin kau kira. Ibumu, Ariannalah yang memberikan nama itu,” ujar Odien tenang, sama sekali tidak mengacuhkan ekspresi tidak percaya di wajah putranya. Kenyataanya memang itulah yang terjadi. Arianna memeluk bayi mungil itu—setidak suka apapun Arianna pada Freedret, wanita itu tetaplah seseorang yang lembut. Dan ia langsung menganggap bayi itu sebagai miliknya sendiri ketika ibu kandungnya meninggal sehabis melahirkan. Dan meskipun Odieneer merasa kehilangan sosok wanita Jerman yang merupakan ibu dari putranya, ia tidak bisa tidak merasa bangga melihat istrinya yang bisa merelakan segalanya dan memeluk putra kebanggannya. Dan sekalipun ia merasa menyesal telah mengkhianati Arianna, ia tidak akan menyesali apa yang telah ia lakukan. Karena jika tidak, ia tidak akan memiliki Nate sebagai putra.


“Nathan, it means gift of God. Kau adalah karunia Tuhan untuknya, untukku, untuk Freedret, dan semua orang yang menyayangimu.”


Nate sekali lagi menggeleng keras, menolak tiap kata yang diucapkan oleh ayahnya. Ia tidak bisa mempercayainya, tidak ingin. Ia sudah terbiasa dengan tingkahnya membenci sang ibu dan sulit baginya untuk menerima bahwa selama ini ia telah bersalah—mengucapkan kata-kata yang menusuk wanita itu. “That’s not possible… Aku bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya, she can’t love me…”


“She can, son. She is.”


Because family means more than blood.

((OOC:

1Ayah

2Even the best horse may stumble

3Perusahaan energi di Norwegia

4From nothing comes nothing

5Blindest is he who doesn't want to see. ))

Frilla
Posted Image

Tower, at 10 p.m.
I'll wait.


PS.
Did you know the flower's language of anemone?
It means unfading love. Cliche, I know.
But I can't help if it's true.
Frilla
Nate biasanya tidak banyak berkomentar pada guru-guru PTIH yang terus berganti tiap tahunnya. Paling tidak seingatnya, sih, ia tidak banyak berkomentar. Tapi kali ini ia benar-benar terbelak. Madam Simms tidak terlalu buruk, sebenarnya. Memang make-up di wajahnya agak terlalu banyak untuknya, tapi guru wanita muda jarang ditemukan di kastil ini dan harusnya Nate merasa senang dengan pergantian ini, hanya saja wanita itu terlalu... bersinar, kalau kau mengerti maksudnya. Entah memang Simms memang berbeda atau ini karena ia sudah terlalu biasa dengan perempuan-perempuan asramanya yang memiliki aura kelam. Disebut kelam juga tidak seluruhnya benar sih, tapi jelas tidak ada pemenang kontes senyum paling indah atau semacam itu. Bukannya ia tahu apa benar si Simms ikut kontes yang seperti itu.

Tapi yang ia tidak sukai bukan masalah make-up atau sifat yang terlalu berkilau sampai menyakitkan mata itu, melainkan entah kenapa profesor di depan itu mengingatkannya sedikit banyak pada kakaknya (fakta yang tidak bisa disangkal walaupun sebenarnya ia sama sekali tidak ingin mengakui bahwa wanita itu masih memiliki hubungan darah dengannya). Bukan persamaan bahwa rambut mereka sama-sama pirang--meskipun dengan berat hati Nate akan mengakui ia lebih menyukai warna rambut Miranda, rambut si Simms itu terlihat seperti buatan. Terlalu pirang dan mengkilat. Inilah sebabnya Nate lebih menyukai wanita berambut gelap. Tapi sekali lagi, bukan itu yang membuatnya teringat akan Miranda. Mungkin senyum di wajah cantik itu, yang seakan menyembunyikan jutaan kebusukan di dalamnya. Iblis yang berkedok wanita suci yang lugu. Mungkin Nate berpikir terlalu banyak, bagaimanapun ia baru pertama kali melihat guru ini dan tidak tahu banyak tentangnya. Meskipun ia berani bertaruh guru itu pasti menyembunyikan sesuatu. Tapi selama itu tidak mengganggunya, seharusnya ia tidak ambil pusing. Seharusnya. Tapi setiap nama M itu disebut, sel-sel otaknya langsung bekerja dengan giat. Mungkin hal ini berguna dalam ujian.

Jemarinya memutar-mutar pena bulunya (bulu merak albino, 127 galleon 14 sickle). Sepasang kristal gelap menatap penuh perhitungan di balik tirai cokelat tua. Ia sepertinya harus memotong rambutnya, sudah mulai sering mengganggu penglihatannya. Nate mengacak-acak rambutnya, mulai bosan dengan penuturan panjang guru di depannya. Hingga ia mulai berpikir apakah ia bisa mendapat nilai O dengan mengajak si guru kencan kapan-kapan. Tapi soal itu bisa menunggu hingga akhir pelajaran. Atau kapanlah waktu yang tepat.

Nobody can resist him anyway.

Nate menaruh kepalanya di atas meja beralaskan kedua tangannya. Menatap dengan hampir tidak tertarik bagaimana orang-orang langsung sibuk mengerjakan karangan menenai kutukan tidak termaafkan yang diperintahkan oleh pengajar di depan. Putera Harvarth itu melirik ke anak Ravenclaw yang kebetulan duduk di sebelahnya. Dengan semangat menggebu-gebu anak itu mengerjakan karangannya yang tampaknya panjangnya akan mencapai satu meter nantinya. Membayangkannya saja Nate sudah mual. Tapi mengesampingkan rasa malasnya, ia akan mengerjakan tugas itu. Setidaknya setelah ia melirik esai milik orang di sebelahnya. Bukannya Nate tidak bisa mengerjakannya sendiri, ia tahu, kok, dasar-dasar mengenai kutukan itu. Tapi untuk apa ia susah-susah berpikir ketika ada orang lain yang bisa berpikir untuknya? Dengan alasan itu, Nate mengintip esai milik Lightdarker yang duduk tidak jauh di depannya, lalu milik Michelle dan Sylar... bercanda. Memangnya ia memiliki penglihatan bagaimana sampai bisa melihat tulisan kecil-kecil yang berada sedemikian jauhnya. Yang mengingatkannya untuk mencari mantra untuk memperkuat penglihatan nanti. Untuk sementara ini, ia bisa melihat karangan anak Ravenclaw itu dulu.

Nate mengangkat kepalanya, dengan berat hati mengambil perkamen (kualitas nomor satu, tentu saja) dari tas bewarna hitam miliknnya. Jadi... kutukan tidak termaafkan, mengingatkannya pada pangeran kegelapan dan antek-anteknya. Dan kini ia harus memberikan alasan kenapa kutukan itu bisa dipakai? Rasanya ia ingin tertawa dengan keironisan ini.



In Parchment:

Esai PTIH
KUTUKAN TAK TERMAAFKAN
dibuat untuk memenuhi nilai mata pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam

Oleh: Nathan Kehl Lothurr Harvarth
Tahun keempat, Slytherin


Kutukan Tak Termaafkan adalah kutukan yang penggunaannya kepada manusia lain akan dijatuhi hukuman seumur hidup di Azkaban. Kutukan ini ilegal untuk digunakan dengan alasan apapun. Namun demikian Bartemius Crouch, Kepala Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir, memberikan kekuasaan baru pada auror untuk menggunakan kutukan ini kepada mereka yang dicurigai sebagai pelahap maut. Kutukan Tak Termaafkan terdiri dari tiga macam, dan ketiganya adalah terlarang baik berdasarkan hukum maupun moral. Adapun kutukan ini yaitu Imperius, Cruciatus, dan Avada Kedavra. Ketiganya dikategorikan sebagai Kutukan Tak Termaafkan pada tahun 1717.

{Meskipun dikatakan terlarang, merusak, dan sebagainya, saya justru jadi bertanya-tanya alasan mengapa kutukan ini diciptakan pada awalnya. Apakah orang pada zaman dahulu memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan kita sekarang? Ataukah dari awal memang kutukan ini diciptakan oleh orang-orang yang haus kekuasaan? Meskipun entah kenapa saya memiliki firasat bahwa sebenarnya kutukan ini diciptakan oleh anak kecil. Ya, saya tidak salah tulis atau gila. Tapi mungkin saja memang anak kecil yang menciptakannya. Bagaimanapun pelafalan ketiga kutukan ini misalnya saja Avada Kedavra) terdengar seperti kesalahan pelafalan dari Abra Kadabra. Mungkin anak-anak salah mengucapkan ketiga kata itu (tahulah bagaimana bocah-bocah suka sulit mengulang perkataan orang lain) dan akhirnya BOOM terciptalah kutukan ini. Tentu saja ini hanya teori saya yang belum terbukti kebenarannya, tapi patut diperhitungkan bukan? Bagaimanapun ini adalah teori yang masuk akal.}


I. Kutukan Imperius
Kutukan Imperius adalah kutukan yang digunakan untuk mengambil alih kontrol atas tubuh seseorang. Dikatakan bahwa korbannya akan berada dalam kondisi setengah sadar dan merasa seakan seluruh bebannya hilang sehingga korban merasa tidak ada ruginya untuk mengikuti kehendak sang pengguna kutukan. {Entah ada apa dengan orang-orang yang dikutuk ini, tapi kalau saya sendiri tidak akan semudah itu mengikuti perintah orang lain tanpa tahu untung ruginya}

Kutukan imperius, layaknya sihir hitam yang lain, digunakan untuk kegiatan yang bertujuan untuk meraih kekuasaan, merusak, mencelakai orang lain, dan kegiatan kriminal lainnya. Catatan sejarah belum pernah menunjukan adanya penggunaan kutukan ini untuk tujuan yang baik.

{Tidak mengherankan, karena mempelajari ilmu hitam saja sudah menunjukan tabiat yang tidak baik sebenarnya. Tapi saya rasa imperius terkadang bisa diterapkan untuk hal-hal yang cukup baik. Misalnya untuk laki-laki malang yang menyukai gadis paling populer di sekolah, namun gadis itu menatapnya saja tidak mau (bukannya ini pernah terjadi pada saya, maaf-maaf, ada juga yang terjadi kebalikannya). Kutukan imperius ini bisa digunakan kepada si gadis, siapa tahu ia akan sadar dengan kebaikan yang ada di hati si laki-laki. Meskipun penggunaan kutukan ilegal macam itu menunjukan sebaliknya mungkin, tapi yang penting niat dan cinta si laki-laki yang sangat besar hingga rela melanggar peraturan. Betul?}


II. Kutukan Cruciatus
Kutukan Cruciatus digunakan untuk memberikan rasa sakit yang amat sangat pada korbannya. Beberapa ahli sejarah percaya bahwa kutukan ini pertama kali digunakan pada zaman Kekaisaran Romawi untuk menghukum para tahanan dan budak. Hal ini dikarenakan Crucio atau Cruciatus berasal dari bahasa Latin cruciare yang artinya untuk menyiksa atau menyakiti.

{Jadi, alasan untuk menggunakan kutukan ini agak lebih mudah. Bisa digunakan di beberapa kalangan masyarakat yang masih memiliki adat hukuman siksa seperti Asia Barat dan Eropa Selatan. Atau bagi para masokis, mungkin mantra ini dapat berguna. Dan tidak akan meninggalkan bekas! Itu hal yang paling penting saya rasa. Terkadang ada orang-orang menyukai rasa sakit namun tidak ingin ketahuan oleh orang lain atau tidak ingin melihat luka di tubuh mereka. Jadi tentu kutukan ini bagus juga untuk mereka. Lagipula, tidak ada larangan untuk menggunakan kutukan ini pada tubuh sendiri bukan? Bukannya saya ingin mencoba atau apa. Maaf, saya dan kutukan Cruciatus? Jelas bukan pasangan yang baik.}


III. Kutukan Avada Kedavra
Kutukan Avada Kedavra adalah kutukan yang mengakibatkan kematian pada korbannya, tanpa luka dan tanpa jejak sehingga mustahil untuk mengetahui siapa orang yang mengucapkan mantra tersebut apabila tidak ada saksi mata. {Kecuali jika ada tanda tengkorak di atas mayat itu, sudah jelas pelakunya adalah kawanan yang itu.}

Avada Kedavra berasal dari kata archaic Sanskrit yang artinya 'from life, nothing'. Kebalikan dari kata Abra Kadabra yang berasal dari bahasa yang sama yang artinya 'from nothing, life'. Beberapa etimologist menyimpulkan bahwa mantra ini pertama kali digunakan di wilayah India yang sebenarnya sama sekali tidak mengherankan mengingat banyak sekali penyihir hebat berasal dari daerah ini.

{Saya curiga bahwa awalnya mantera ini digunakan untuk membunuh sapi. Maksud saya, di India, mamalia yang satu ini dianggap keramat dan sebagainya sehingga tidak mungkin disembelih layaknya ayam atau hewan lain. Tapi dengan mantra ini VOILA! mereka bisa tetap makan daging sapi yang lezat dan bergizi tanpa harus khawatir tidak menghormati leluhur atau dewa mereka! Meskipun saya masih berpendapat bahwa mantra ini awalnya ditemukan karena salah pelafalan.}



PS.
Maaf saya menggunakan kata ganti orang pertama di dalam tugas, ma'am. Tidak tahan untuk tidak melakukannya. Mungkin bisa dibayar dengan, ehem, detensi pribadi?
Frilla
Malam itu cerah. Bahkan angin musim gugur malam itu tidak bisa meredakan kehangatan yang meliputi kelegaan semua orang. Mungkin tidak semua, tapi kebanyakan orang. Dan di atas jembatan itu seorang pemuda berdiri. Sebuah piala emas dalam genggamannya. Cairan jingga di dalamnya ikut bergerak ketika sang laki-laki mengangkat piala itu. Senyum asimetris terpahat dalam wajah anak laki-laki bernama Nate itu.

Suasana dunia pasti sedang gempar. Kau-Tahu-Siapa sang penebar terror telah lenyap untuk selama-lamanya. Bahkan ia sendiri masih mengalami kesulitan untuk mempercayainya. 31 Oktober, hari haloween yang tidak memiliki keunikan tersendiri dibandingkan tahun lalu minus berita serangan pelahap maut yang semakin merajalela tiap harinya. Lalu berita menyebar dengan cepat bahwa pangeran kegelapan telah kalah. Lenyap tanpa bekas. Mati. Karena seseorang dengan nama—Potter? Ia tahu nama itu, (selain itu salah satu keluarga berdarah murni) seeker Gryffindor yang dulu selalu bersaing dengan salah satu Slytherin yang legendaries, Regulus Black. Entah detil mengenai hal itu bagaimana, meskipun berita yang beredar mengatakan anak dari James Potter berhasil menolak kutukan kematian. Nate tidak tahu dan tidak berniat untuk mencari tahu.

Semua senang, semua puas, semua lega. Suasana kastil terlalu ceria hingga dia merasa muak. Bukannya Nate tidak suka dengan kepergian Kau-Tahu-Siapa. Hanya saja, suasana itu sama sekali tidak cocok untuknnya. Memang tahun-tahun kegelapan akhirnya berakhir setelah semua kehilangan yang menimpa. Meskipun Norwegia tidak sekelam Inggris, ia sudah merasakan kepahitan akibat kehilangan keluarganya dalam perang. Tidak sekalipun ia sudi memaafkan pangeran kegelapan yang berani mengusik keluarganya.


Waktu bergulir.
Surya terbit dan tenggelam.
Hari berganti.


Tawa memuncah tanpa rasa humor di dalamnya. Itu hanya suatu bentuk ekspresi dari kenyataan ironis yang baru diketahuinya. Kakaknya tewas sesaat sebelum kejatuhan pangeran kegelapan. Entah berada di pihak siapa sebenarnya gadis berumur dua puluh tahunan itu. Korban yang berada di saat dan waktu yang tak tepat, membantu aurorkah, atau justru sebenarnya pelahap maut. Terpukul ia. Meskipun kakak tertuanya itu membencinya. Tapi Nate tidak sedih atau merasa kehilangan. Dan ia merasa bersalah karena sedikit banyak merasa senang dengan kematian ini. Apakah itu berarti dia orang jahat? Ia senang karena salah seorang kakaknya mati. Ia merasa lega. Apakah ini berarti pendapat gadis yang lebih tua darinya itu memang benar? Bahwa Nate memiliki hati yang busuk dan hanya akan menyengsarakan orang lain. Peduli setan. Miranda sudah mati.


“For the Dark Lord and may he rest in peace.”

Or rot in hell.

Nate mengangkat pialanya ke arah langit dan meneguk isinya. Jus labu tidak pernah terasa seenak ini sebelumnya. Dan boleh dia berkata persetan dengan anggapan orang lain yang mungkin lewat tentang dirinya yang berdiri sendiri dengan piala emas khas Hogwarts di tangan?
Frilla
Hatinya mencelos.
Sekali.



Surat itu datang di pagi hari. Sarapan dengan menu yang biasa dengan keadaan yang seperti biasa. Langit-langit sihir yang cerah, identik dengan langit musim gugur di luar. Sang tuan muda Harvarth duduk di ujung meja asrama berpanji hijau. Sekali dua kali ia mengetuk-ngetuk jarinya di meja, sementara tangannya yang satu memegang koran yang baru tiba. Serangan Kau-Tahu-Siapa masuk dalam halaman utama, seperti biasanya. Di kolom iklan ada orang yang menjual sapu PanahPerak yang sudah cukup langka. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya. Firasat pemuda itu sudah tidak enak sejak bangun. Ia tahu hari ini pasti tidak akan menyenangkan. Yang tidak ia ketahui adalah burung hantu elang milik keluarganya akan datang dan membawa goresan tinta yang membuatnya menjatuhkan piala emas dalam genggamannya.


Ayahmu masuk rumah sakit.




Langkahnya berderap cepat meninggalkan gerbang Hogwarts, meninggalkan dunia di luar gerbang yang penuh dengan kesengsaraan. Mantel cokelatnya bahkan tidak bisa mengusir dinginnya musim gugur padahal ia sudah terbiasa dengan suhu minus sepuluh derajat di tanah kelahirannya. Mungkin bukan dingin musim gugur yang membuatnya menggigil, mungkin bukan angin yang membawa hawa yang menusuk tubuhnya. Putra Harvarth itu mempercepat langkahnya, berharap pada kemungkinan yang sedikit saja, bahwa ia tidak terlambat.

Hatinya mencelos.
Dua kali.




Tidak sekalipun ia menyiakan waktunya yang terbatas. Izin untuk keluar dari sekolah tidak sulit begitu ia menunjukan suratnya. Tapi tetap saja ada orang yang tidak mengerti kebutuhan seseorang untuk bertemu dengan orang tuanya, apalagi kalau mungkin waktu mereka hanya sedikit. Tidak ada yang bisa melarang seorang anak untuk menemui ayahnya—dan ia ingin mengajarkan pelajaran itu pada seorang penyembuh yang menolak memberikannya izin masuk. Ia berdebat lama dan pria tua sok tahu itu sama sekali tidak bergeming. Malaikat penyelamat datang, wanita berambut ikal keemasan yang tampak benar-benar seperti malaikat saat itu. Sayang pangeran Harvarth itu terlanjur menyadari siapa sebenarnya malaikat itu—dan dia hanya bisa menerobos masuk langsung ke bangsal kelas VVIP tempat Odieneer Harvarth dirawat, tanpa ucapan terima kasih pada sang ibu. Pilu menginvasi hatinya. Sesaat ia merasa dunia runtuh.

Di sana terbaring sang ayah, pucat dan dikelilingi oleh tim penyembuh St. Mungo.




Derapnya terdengar semakin cepat. Ia tahu ini saat-saat yang penting. Namun semakin ia mendesak kakinya untuk berlari, tubuhnya semakin tidak menuruti perintahnya. Jantungnya terus memompa darah ke seluruh tubuhnya—memberikan asupan oksigen pada sel-sel yang kelelahan. Ia tidak ingin dikalahkan oleh keadaan, Nathan Kehl Harvarth bisa memenangkan semua pertandingan. Sekalipun itu adalah pertandingan antara niatnya dengan tubuhnya.

Kristal cokelat milik pangeran Harvarth itu menyipit, memfokuskan pemandangan di depan yang terlihat buram. Di sana, berdiri dengan gagahnya stadion tempatnya mengejar kemasyuran selama ini. Suara-suara terdengar dari dalam, sorak-sorai gegap gempita merayakan kemenangan salah satu tim yang berhasil mendapat angka terbanyak. Ia terhenyak, perlahan mengehentikan langkahnya. Jantungnya berdegup semakin kencang. Siapa yang menang dan siapa yang kalah. Ia melangkah memasuki stadion itu perlahan—menunda ilmu tentang kemenangan dan kekalahan meski asa ingin menarik kerah seseorang dan bertanya secepatnya. Seiring dengan langkahnya, jantungnya berdetak semakin cepat kalau memang masih mungkin. Dan mereka keluar—supporter dari tim yang menang selalu keluar sambil bernyanyi dengan penuh euphoria. Kali ini mereka membawa panji—

—kuning.

Ia terlambat.

Hatinya mencelos, darahnya tersirap.
Tiga kali.



Putra Slytherin itu tahu bahwa asrama berlambang ular itu tidak pernah kalah dari sang musang penjunjung loyalitas. Seakan itu sudah menjadi suatu kenyataan yang diketahui khalayak umum, bahwa predator selalu unggul atas mangsanya. Tapi kali ini keadaan berbalik—dan itu semua mungkin karena dia terlambat. Bahunya terasa lunglai, mendadak beban berat seakan dijatuhkan di atas punggungnya. Ia melangkah ke arah tim berjubah emerald yang mendarat di tepi lapangan. Raut tidak percaya dan kekecewaan menghiasi wajah-wajah itu. Sang pemuda menggertakan giginya menatap semua itu. Menyaksikan ke tujuh pemain turun perlahan.


“Kalian bermain,” sesaat nafasnya tercekat, “bagus.”

Pikirannya menyuruhnya untuk menyalahkan mereka yang bermain, karena telah dikalahkan oleh tim lawan. Tapi yang ia rasakan hanyalah rasa bersalah. Seakan apa yang ia lakukan tidak pernah benar, seakan semua keputus asaannya mendatangkan keburukan pada orang lain, seakan artinya hidup di dunia adalah untuk menyengsarakan orang lain.

Matanya terasa terbakar saking perihnya. Tapi Nate tetap diam—berdiri di sana dan memberikan senyum hampa pada mereka yang berjuang. Sampai akhirnya ia sendiri tidak tahan. Siapa yang bermain dan siapa yang tidak. Kakinya terasa mati rasa setelah berlari secepat yang ia bisa dan hasilnya—nihil. Ia ingin tertawa, ia ingin menangis. Tidak memiliki kemampuan untuk melakukan apapun—tidak sanggup menolong timnya. Tidak sanggup mengusir kekecewaan yang dirasakan oleh orang yang paling penting baginya. Ingin membuka mulut tapi tak ada lagi suara yang dapat keluar. Hanya kehampaan yang bisa ia rasakan dan kali itu, ia berpikir bahwa matipun tak apa. Sesak memenuhi rongga dadanya, memuncah dan membuatnya kesulitan bernafas. Engahnya semakin cepat dan ia mundur—akhirnya menjatuhkan diri di lapangan.

Empat belas tahun dan ia merasa semakin kecil. Empat belas tahun dan ia merasa semakin tidak berguna. Di sana ia terduduk—memperhatikan sepupunya dan kapten singa menghampiri sang putri dalam diam. Rindu. Betapa dia berharap dia bisa menggantikan mereka—merengkuh gadis itu dan mengusir rasa kecewa yang dirasakannya. Tapia apa daya ia tak mampu—ia tidak bisa melakukan apa-apa, bagaimana dia berpikir bisa membahagiakan orang itu? Pikirannya tahu untuk menjauh, otaknya memerintahkannya untuk tidak memikirkan apa yang tidak seharusnya ia pikirkan. Tapi hatinya terus berbisik, perasaannya semakin mendorongnya untuk menarik sang putri ke dalam pelukannya. Tapia apa daya ia tak mampu. Dan ia hanya bisa merindu. Mengasihi. Menyayangi. Mencinta. Menyesal.


Menyedihkan.