Frilla
Jadi begini logikanya, nikahkan sebuah ceret dengan salamander tidak berotak. Apa yang akan kau hasilkan? Persilangan antara ceret dengan salamander, tepat. Bisa lebih spesifik lagi menjadi ceret yang terbakar. Yang benar saja. Kalau sampai ada orang yang bisa menyilangkan salamander dengan ceret akan ia makan dasi seragamnya. Tidak mungkin? Tepat. Karena itu, apa kira-kira alasan ada orang yang memilih nama Kettleburn sebagai nama keluarga—nama yang kiranya akan bertahan beratus-ratus generasi kalau sanggup bertahan? Ia sudah memikirkan banyak hipotesa mengenai hal itu.

Satu, orang yang menciptakan nama itu tidak punya sense nama yang baik. Dua, orang yang menciptakan nama itu tanpa tahu artinya. Tiga, yang menciptakannya adalah troll yang juga berarti menggabungkan dua hipotesa sebelumnya. Empat, orang yang menciptakannya punya obesesi terhadap ceret. Lima, orang yang menciptakannya tahu nama itu jelek tapi tetap memakainya karena miskin ide. Enam, orang yang menciptakannya sebenarnya hanya bercanda tapi ternyata dianggap serius dan akhirnya dipanggil dengan nama itu. Tujuh, orang yang menciptakannya memang memiliki wajah seperti ceret gosong. Delapan, nama itu memang diciptakan untuk dihina agar anak-anak yang dendam pada orang bernama itu bisa mengumpat-ngumpat dalam hati dan memikirkan kenapa nama orang itu aneh. Nate paling menyukai teorinya yang ke tujuh. Wajah seperti ceret gosong. Meskipun ia belum pernah masuk ke dalam dapur dan melihat ceret gosong—ada peri rumah yang berani menggosongkan barang pasti akan langsung dipecat bahkan sebelum mahluk kerdil itu bisa membelakan matanya dan berkata, ’But, Master...’ dengan suara melengkingnya.

Jadi seperti yang pasti sudah kebanyakan orang tahu—kalau bukan seluruh mahluk di Hogwarts tahu baik manusia, hantu, maupun lukisan-lukisan tukang gosip di menara—Nate terkena detensi lagi. Tebak alasannya, karena memantrai Pixies. Kejutan. Takdir—siapa yang harus ia salahkan kali ini? Tentu saja si ceret yang seenaknya memberinya detensi seolah ia anak kelas satu yang perlu didisiplinkan. Seolah mengurangi poinnya saja tidak cukup. Kesal, nih, kesal. Dan tebak apa yang lebih mengerikan lagi, ia mendapat detensi bersama-sama dengan Pixies dan... target mantra sepanjang masa, bebek peking. Bisakah hidupnya lebih sempurna daripada ini? Bayangkan, bermain bersama mahluk biru bertelinga runcing yang mendengung seperti lalat dan mendengarkan kicau unggas centil sok jago. Sempurna. Sungguh malam minggu yang ia nantikan seumur hidupnya.

November kelabu.

Maaf, Alison dan Katherine, janji kita terpaksa ditunda lain kali. Ia ada janji lain untuk berkencan dengan Acromantula dan Centaur malam ini. Jikalau ia masih hidup untuk menyongsong hari esok, tolong sambut ia dengan secangkir Javachips dan cheesecake. Kalau ternyata ia tidak kembali, tolong seseorang urus Fenrir dan Aryzki. Mereka akan kesepian tanpa majikan mereka. Berikan makanan yang sehat untuk burung, jangan sampai mereka sakit.

Nate mengerling ke kiri dan ke kanan. Tubuhnya gemetar meskipun sudah dibalut dengan jaket hitam dengan lambang dua buah ’C’ di bagian saku. Oh, hebat. Masih ada Dawghew dan Ravn. Ia bisa hidup malam ini. Meskipun ironis sekali, pangeran Harvarth ini bukannya menghabiskan waktunya dengan berkencan di salah satu kelas kosong—justru terjebak di pinggiran hutan terlarang dengan mahluk-mahluk yang tidak jelas asal usulnya. Acromantula, centaur, manusia serigala, vampir, benar-benar mahluk yang berada paling bawah di dalam list mahluk yang ingin diajaknya menghabiskan malam minggu. Malahan, satu-satunya mahluk bukan manusia yang memenuhi syaratnya hanyalah Veela. Sayang habitatnya bukan di Inggris. Ia akan dengan senang hati mendapat detensi demi menghabiskan malam bersama mahluk dengan kecantikan yang luar biasa itu.

But—seriously.

Kalau ia mati malam ini, tolong sampaikan selamat malam pada sang putri.
Berlebihan, tapi ia tidak akan mengambil resiko.
Frilla
Senja hampir usai, malam menjelma hampir sempurna. Pemandangan luar yang tertutup salju seolah berkilauan karena tertimpa berkas-berkas cahaya jingga dari jendela kastil. Seorang anak laki-laki berjalan keluar dari kastil. Udara malam musim dingin tampak tidak menyurutkan niatnya untuk menghindari kehangatan yang disediakan dalam kastil. Tangannya menggenggam robekan perkamen. Masih ada waktu sebelum makan malam, masih cukup waktu baginya untuk sekedar berpikir sebelum menghadapi keramaian. Sepatu bootnya meninggalkan jejak-jejak di atas salju yang ditapakinya. Selangkah demi selangkah hingga ia tiba di jembatan. Ia berhenti di tengah-tengah—meletakan tangannya di pagar jembatan. Ia membuang robekan kertas di tangannya ke bawah jembatan, menatap robekan itu melayang dan perlahan hilang ditelan kegelapan.

Kenapa kau tidak pulang? Pertanyaan basa-basi pembuka, Nate kira semua orang akan lebih senang kalau ia tidak ada. Tidak perlu diucapkan juga ia sudah mengerti bahwa kehadirannya tidak diharapkan. Untuk apa bertanya seperti itu—pasti mengejeknya. Layaknya seseorang yang diasingkan karena tindakan kriminal, tempat yang dulu disebutnya rumah sudah tidak lagi menerimanya. Perbedaannya, ia tidak melakukan tindakan kriminal atau hal apapun yang menyerempet hal itu. What’s in a name? Ucap Shakespeare dalam karyanya. Nama menentukan nasib, tuan pujangga, sangat menentukan. Andai saja namanya diganti, takdirnya akan berubah. Ia tidak akan seperti sekarang ini.

Apalah artinya sebuah nama?
Harapan pemberinya—
—dan takdir penerimanya.

Bukan, bukan kalimat ejekan itu yang mengganggunya. Tapi di bagian akhir perkamen. Bibi Sindri meninggal. Tidak mungkin. Kepalan tangannya mengeras hingga buku jarinya memutih. Kepalanya pening. Ia ingin berteriak namun tak kuasa. Katakan, bagian mana yang bisa dikatakan adil dari kehidupan manusia? Takdir itu kejam—kata orang. Bukan, lebih dari itu. Mengoyak dirinya tanpa belas kasihan, sama sekali tidak mempertimbangkan luka yang masih belum menutup. Katakan padanya, Sang Pencipta, apa Kau belum puas mempermainkan hidupnya selama ini?

Belum pernah ia merasa kematian sedekat ini—tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa kematian bisa datang menjemput siapapun setiap saat. Waktu yang dimiliki oleh manusia untuk menikmati kehidupan terbatas. Tidak, belum ada vonis atau semacamnya. Tapi ia melihat pada liburan musim panas kemarin, ia tahu. Bahkan untuknya yang masih muda pun terlihat. Kekuasaan El Maut membayang-bayangi keluarganya, mungkin kelak akan ada banshee yang menyanyikan lagu kematian di rumah mereka. Masa-masa kegelapan, tidak pernah terlintas di benaknya masa ini juga berpengaruh dalam kehidupannya. Bibinya yang anggun dan banyak mengajarinya berbagai hal sejak kecil—dibunuh pelahap maut. Salah satu korban dalam serangan pelahap maut di Surrey. Apa Nicholas Flammel yang dikatakan bisa hidup abadi dan awet muda juga bisa bertahan jika terkena kutukan kematian dari mahluk-mahluk bertopeng itu?

Hari kiamat hampir tiba. Tidak ada lagi manusia yang hidup di bumi. Saat semua orang berhati cepat atau lambat musnah dalam perburuan manusia, menyisakan manusia-manusia tanpa nurani haus kekuasaan yang lebih tepat disebut hewan liar.

All hail, death.
Mungkin lebih menyenangkan daripada hidup di dunia yang sekarang ini.
Frilla
Ngantuk.

Seorang anak laki-laki berambut kecokelatan berjalan dengan wajah terkantuk-kantuk—mengacak rambutnya sesekali. Lingkaran hitam yang buruk rupa menghiasi sekeliling matanya. Ia tampak seperti panda. Sial. Oke,mungkin tidak seburuk itu—since, apa, sih, yang bisa membuat Nate tampak kurang dari tampan? Manik caramelnya melirik kanan-kiri dengan tidak fokus—dengan suatu cara berhasil menuntun sang anak laki-laki menaiki tangga spiral bewarna perak menuju kelas ramalan. Kelas yang sampai sekarang ia tidak mengerti kenapa ia ikuti. Ayolah—ini ramalan. Cabang ilmu yang paling tidak pasti, sama sekali tidak relevan, tidak bisa dipikirkan dengan logika. Kenapa juga ia mau memilih kelas ini? Oh ya, karena ia berpikir ini kelas yang paling mudah diikuti daripada segala macam kelas merepotkan yang lainnya. Ah, seandainya ia tahu apa yang sebenarnya dilakukan di kelas itu, mungkin ia tidak akan pernah meskipun hanya untuk mempertimbangkan masuk kelas ini.

Bola Kristal.

Astrologi.

Pergerakan bintang.

Membaca daun teh.
Omong kosong.

Nate menarik hood jubah seragamnya menutupi kepalanya. Ia harus berterima kasih pada siapapun yang merancang seragam Hogwarts—paling tidak hood itu membuatnya bisa menutupi wajah tidak niatnya saat melewati profesor ramalan yang nyentrik itu. Siapa namanya—rasanya sempat disebutkan di pesta awal tahun. Wanita yang seperti kelelawar tua renta dengan selera berpakaian yang pasti membuat banshee sekalipun kehilangan suara melengkingnya. Ah, ya—Trewlaney, namanya. Lihatkan, dari namanya saja sudah bisa dilihat kalau staff pengajar yang satu ini aneh. Bukannya staff yang lain tidak aneh, ya. Ia sering berpikir apa memang Hogwarts ini kurang staff berkualitas. Bukannya ia mementingkan pengajar ramalan—siapapun gurunya. Pelajaran aneh begini… tapi sudahlah, jangan membicaraka keburukan pelajaran ramalan. Kalau kena karma bisa gawat juga kan. Bukannya ia percaya dengan hal-hal tidak logis seperti itu. Tidak—ia sama sekali tidak percaya. Tapi tetap saja ia tidak ingin mengalaminya. Ia tidak percaya tapi.

Ruangan itu tampak lebih sumpek daripada ruangan lain. Kursi-kursi berlengan tampak asal dijejalkan ke dalamnya, membuat ruangan itu menjadi jauh lebih sempit daripada yang seharusnya. Panas yang menguar dari perapian membuat ruangan itu hangat, bukan, panas lebih tepatnya lagi. Apalagi dengan cahaya temaram yang ditimbulkan lampu-lampu yang dilapisi selendang. Nate dengan terpaksa—tanpa mengeluh seperti biasanya—menghempaskan dirinya di salah satu kursi berlengan. Meletakan kepalanya di atas meja dengan beralaskan tangannya sebagai bantal. Demi Merlin—ia benar-benar berharap tidak melakukan apa yang ia lakukan tadi malam. Tebak apa yang membuatnya sampai terkantuk-kantuk ke kelas begini? Belajar, ya. Tidak perlu membelakan mata begitu—semua orang juga tahu kalau Nate bukan murid yang asal-asalan. Oke, tahun kemarin memang ia kehilangan semua nilai-nilainya. Tapi akan ia buktikan kepada si Miranda itu—tahun ini, ia berbeda. Bukan berarti ia itu seorang kutu buku—oh, please—seorang Nate tidak bisa disamakan dengan seekor kutu buku yang merasa kepalanya terlalu tertinggi sehingga memutuskan untuk berada di menara terus. Lagipula, imej seorang kutu buku selalu dekat dengan anak-anak jelek yang tidak punya teman dan well—jauh dari Nate-lah.

"Pada pelajaran... kita... dengan daun teh... Tasseomancy. tertinggal di dalam cangkir... masa kini dan masa depan...melihat yang tak terlihat. ...kosongkan pikiran... duniawi karena... pusat kosmos...melampaui... masa depan.” anda bilang apa tadi, prof? Nate mengangkat kepalanya dengan wajah sembab—bukan, ia tidak menangis, idiot—mengangkat tangannya untuk menggosok mukanya sekedar untuk memastikan bahwa ia bukan berada di alam mimpi dimana semua hal bewarna merah dan jingga. Demi banshee yang mengikik di tangga, kenapa kelas ini harus begini? Pasti ini sebuh konspirasi untuk menjatuhkan Nate. Dengan cara membuatnya ngantuk dengan kondisi kelas yang hangat dan dipenuhi harum teh. Tapi—ia tidak akan kalah.

Tidak akan pernah kalah.

Nate menarik poci teh di mejanya—menyajikan teh untuk dirinya sendiri. Tanpa sengaja menjatuhkan sendok yang dipakainya untuk mengaduk teh. Saat ia menunduk untuk mengambil benda itu dari lantai, ia justru mendengar sesuatu yang membuat kepalanya terantuk meja saat akan menegakan tubuhnya. ”Ehem, Michelle, bentuk pertama aku melihat bintang yang berarti kesuksesan dan penghargaan. Berikutnya segitiga berati kau terlibat hubungan cinta segitiga.” Hei, Dewi Fortuna... kau membenciku, ya? Seharusnya ia memang tidak mengambil kelas ini—kenapa dari semua kelas pilihan yang disediakan, mereka harus mengambil pelajaran yang sama? Dan apapula cinta segitiga yang dimaksud... Ck, sudahlah. Anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya—mengusir pikiran apapun yang memasuki kepalanya. Ia meletakan sendoknya di atas meja dan mengangkat bahu. Well—bagaimanapun juga, masih ada janji itu—ia tidak peduli apapun, selama masih ada janji itu. Ia masih memiliki hak. And life goes on.

zZzzZzz....

Nate mencubit pipinya sendiri—jangan tidur, hoi. Jangan tidur.

Anak laki-laki itu mengangkat cangkirnya—meneguk isinya pelan-pelan. Teh hangat dan scone, sungguh Inggris. Seperti ibundanya tercinta, ck. Bikin kesal saja. Tapi kalau ia tidak salah ingat kata si Trewlaney tadi—jangan memikirkan hal-hal duniawi. Jelas saja, Nate sama sekali tidak dekat dengan dunia. Pikirannya sudah mendekati gerbang dunia mimpi begini. Anak itu memutar cangkirnya tiga kali sebelum meletakannya di tatakan, sementara satu tangannya sibuk memijit pelipisnya yang berdenyut menyakitkan karena kurang tidur.

Posted Image

Cangkir di depannya tampak menertawakan dirinya yang sedang kesusahan mempertahankan diri di ambang kesadaran yang menipis. Oh, sialan kalian udara hangat dan kursi yang terlalu empuk. Nate menggelengkan kepalanya beberapa kali—dia tidak akan kalah dari kantuk. Sekarang intruksi selanjutnya... argh, ia tidak mendengarkan apa kata si kelelawar tua itu tadi. Setelah itu apa—makan kue inginnya, sih, sayang bukan. Tapi sudah pastilah, berhubung mereka akan membaca daun teh, sekarang waktunya kegiatan utama berarti. Amati cangkir—eh, bukan—amati daun teh. Mari kita lihat, ramalan untuk seorang Nate (tolong camkan bahwa Nate tidak pernah percaya dengan yang namanya ramalan, sama sekali tidak percaya). Baiklah, yang sebelah kanan itu tampak seperti tikus—artinya... demi Merlin. Peringatan—tidak mungkin. Bukan, tadi dia pasti salah lihat. Ia memperhatikan cangkirnya dari arah yang lain—menyipitkan matanya dan mengangguk-angguk saat ia melihat bentuk lain yang terlihat seperti bell baginya. Bel—aha!

”Unexpected goodnews in love,” ujarnya keras dengan puas—oke, lupakan saja semua tentang si tikus aneh itu, yang ini lebih baik. Ia mengerling sosok di depannya dengan cengiran lebar sambil menyerahkan cangkirnya pada partnernya yang entah disadarinya atau tidak sudah ada dari tadi. ”Lihat Sylar, ramalanku cukup bagus, nih.”

Masih mengantuk...
Frilla
Masa-masa kegelapan. Berapa kalipun diucapkan tidak membuat anak laki-laki berambut cokelat itu menyadari apa artinya. Merasa tidak tersentuh dengan hal itu—mungkin. Kepercayaan diri yang begitu besar hingga menggelapkan matanya akan bahaya di sekelilingnya. Padahal dunia sihir sedang—meminjam istilah Master Morcerf untuk menggambarkan asrama mereka tadi—terpuruk. Tapi itu tidak ada kaitannya dengan nate bukan? Dia hidup, bahagia, berkecukupan, dan semua hal lain sama sekali bukan urusannya. Benar?

Nate duduk di sebuah kursi berlengan, menyandarkan kepalanya ke punggung kursi—mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang. Mulai dari Greatweather yang mengatakan mengenai ular-ular saling menggigit, Macbeth yang mengatakan soal kesombongan darah murni dan apa—ada yang membela diri mengatakan Slytherin memang membela darah murni dan segalanya. Oh, omong kosong. Benar, deh. Bicaralah seperti itu kalau kelahiran muggle di asrama ini sudah tidak ada. Masih banyak kan yang kelahiran muggle—bahkan tahun ini bertambah. Bernadette itu—orang tuanya muggle kan? Lalu rasanya beberapa murid di tingkat atasnya juga ada. Dan masih saja orang berpikiran dangkal dengan mengatakan hal-hal sepele tentang kemurnian darah—seolah darah mereka berbeda warna saja. Memangnya warna darah mereka apa—hijau? Dasar troll. Mengingatkannya pada editor ’War of Warlock’ yang sampai meminta dongeng—hanya sebuah dongeng, demi Merlin—direvisi hanya karena dongeng itu mengatakan menolong muggle adalah perbuatan baik. Kuno sekali pemikiran orang itu—siapa namanya, Brutus Malfoy. Ah, ya—yang dikatakan pernah bersitegang dengan kakek Beowulf dulu.

Ia tahu, sih, pendiri asrama tempatnya sekarang—Salazar Slytherin—adalah orang yang paling membanggakan kemurnian darah di masanya. Sampai terjadi perpecahan di antara pendiri Hogwarts pun karena permasalahan itu. Menggelikan—bukannya ia tidak menghormati Salazar atau apa. Bagaimanapun dia tetap seorang penyihir besar, legillimens yang handal dan seorang parselmouth pula. Dan ia cukup mengerti rasa dengki yang dimiliki orang itu—mengingat dulu muggle bertindak sewenang-wenang dengan memburu penyihir dan segalanya. Tapi tetap saja—sampai sekarang saat muggle tidak memberikan kesulitan pada mereka, masih banyak orang yang membangga-banggakan darah seolah mereka tidak memiliki hal lain untuk dibanggakan. Atau mungkin memang tidak punya? Yah, ia rasa memang karena hal itu. Untung saja Nate masih memiliki banyak hal lain yang bisa dibanggakan sehingga tidak perlu ikut-ikutan membanggakan darahnya.

Ia jadi seperti orang idiot nanti.

Sebuah kalimat yang meluncur dari mulut Szent membuatnya hampir meledak tertawa. Ini... lucu. Tapi tidak usah berkomentar dalam hal ini, ah. Tidak ada niat baginya untuk menambah atau menyanggah pernyataan itu. Ini semakin menggelikan saja. Mungkin sudah sepantasnya ia angkat bicara. Mereka mengatakan senang berada di sini—mereka yang lain mengatakan asrama ini adalah rumah. Tapi kembali ke permasalahan yang disebutkan oleh Prefek Morcerf tercinta, katanya Slytherin sudah terpuruk akhir-akhir ini. Memang—salahkan saja Nate. Karena dialah mereka gagal mempertahankan piala quidditch tahun kemarin. Karena itu mereka gagal mendapatkan poin yang mungkin bisa menyelamatkan posisi mereka. Karena dia juga—poin asrama mereka dikurangi. Salahkan saja dia. Brengsek. Terpuruk—semuanya karena Nate, begitu maksud anda prefek-prefek yang terhormat? Cara meraih kembali kejayaan itu—berlatih dan belajar.

Tentu saja, sabotase selalu menjadi sebuah pilihan.

“Merebut kembali piala quidditch,” ujar Nate dengan wajah yakin—mengangkat kepalanya. Ini salahnya kan, tidak bisa memenangkan piala. Salahkan saja dia, seeker tidak berguna. Ha. Merasa disalahkan—meskipun sebenarnya tidak ada seorang pun yang mengatakan hal itu. Tapi ia yakin, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa dia akar permasalahan ini. Lawannya hanya seorang Ziegmowit—dan dia kalah. Sekian dan terima kasih. Tapi yang benar saja—bilang saja kalian hanya iri, karena Natelah yang terpilih sebagai seeker dan bukan kalian. Ayolah, bukankah itu wajar kalau ia terpilih? Ayahnya juga pernah berkata adalah suatu kesalahan yang sangat besar kalau ia sampai tidak terpilih. Kalau sekarang ada yang iri padanya—wajar sajalah. Memang segala hal dari Nate patut untuk diirikan bukan?

Heran—kenapa tidak para prefek saja yang memberikan 1000 poin untuk Slytherin dan mengurangi poin sebanyak-banyaknya dari asrama lain dengan berbagai alasan, sepele ataupun tidak.

Mudah.




Ini mulai membosankan.

Semuanya hanya bisa mengatakan hal-hal yang membosankan—mengulang-ulang pernyataan berisi sama yang intinya pun tidak jelas. Tidak perlu dikatakan ia rasa semua juga mengerti bahwa ambisi dan kecerdikan adalah dua hal yang dapat mengangkat kita ke posisi teratas. Seperti Seth yang bisa menyingkirkan Osiris dan duduk di kursi pharaoh dengan kelicikan yang ditopang oleh ambisinya yang luar biasa besar—sebuah contoh yang layak mereka tiru. Tapi mari kita kesampingkan semua itu, Slyhterin tercinta ini yang katanya berada di ambang kehancuran karena poin mereka yang miris, salah satu cara untuk mengangkat nama mereka lagi adalah dengan memenangkan piala quidditch. Sesuai dengan perkataan Prefek du Noir yang cukup tegas mengenai tim ular yang kehilangan piala tahun kemarin. Sepertinya Quidditch hanya sebuah alat untuk mencapai kejayaan bagi mereka.

Tidak ada yang mengerti.

Bukannya menaruh masalah Slytherin di tujuh orang—tapi sejak memutuskan untuk masuk ke dalam tim, ia sudah tahu bahwa ini adalah tanggung jawab besar. Meskipun memenangkan pertandingan quidditch tidak berarti mendapat kejayaan mereka kembali—paling tidak mereka punya andil dalam menyumbangkan poin yang cukup besar. Jauh lebih baik daripada mereka yang mengecilkan arti quidditch tapi sama sekali tidak menyumbang apa-apa untuk Slytherin. Nate mengorbankan segalanya untuk piala quidditch dan 150 poin yang bisa mereka dapatkan sebagai hadiah. Kalian—apa andil kalian dalam mempertahankan kejayaan Slytherin, eh? Usahanya untuk merebut salah satu piala masih lebih baik. Dan mereka semua berkata—seolah-olah itu tidak ada artinya. Bahkan sang kapten sendiri tampak mengecilkan arti quidditch mereka. Brengsek. Bagaimana mungkin dia yang terpilih menjadi kapten, eh? Hei, Steinegger, kau sama sekali tidak pantas menyandang posisi sebagai Kapten. Sampah. Amakusa masih jauh—jauh lebih baik.

Anak laki-laki itu menopang kepalanya dengan satu tangan bertumpu di lengan kursi. Alis matanya terangkat sementara matanya menatap satu-persatu orang yang berada di sana. Baik prefek-prefek yang tampak tidak ingin berada di sini, anak-anak yang seangkatan dengannya, beberapa anak yang beberapa tahun lebih muda, kaptennya yang tercinta, dan tersangka utama penyebab sidang ini diadakan. Bocah berambut pirang yang ia tidak peduli siapa namanya yang telah menerbangkan pasir emerald mereka yang memang sudah tipis dari awal. Sekarang katakan, siapa yang salah? SIAPA yang salah? Yang jelas bukan Nate. Kalau bukan si pirang tengil itu, berarti siapapun orang yang sudah mengurangi poin mereka.

Suara sopran yang terdengar dari belakangnya membuat anak itu tersentak sedikit. Bukan—bukan punggung kursinya yang berbicara, tapi jelas ia tidak menyangka seorang Michelle ada di balik kursinya. Kenapa Michelle—tidak tahan untuk tidak berada di dekatnya barang semenit? Seringai angkuh menghiasi wajah anak laki-laki berumur tiga belas tahun itu, alisnya terangkat ketika sepasang kristal karamel miliknya mengikuti tiap pergerakan yang ditimbulkan gadis berparas Asia itu. Bahasa tubuhnya yang gemulai dan helaian rambutnya yang bergerak ketika ia membalikan tubuhnya masih persis sama dengan ingatannya. Manik cokelat miliknya balas menatap bola mata bening milik gadis itu. Seringainya semakin lebar. Katakan tuan putri, apa yang ingin kau katakan di hadapan pangeran ini?

Menjelek-jelekan asrama sendiri tidak membantu.

Oh, ya.

Menurutnya justru orang-orang tolol di sini terlalu bahagia masuk ke dalam asrama ini hingga bertindak seenaknya. Melanggar peraturan ini dan itu—bukannya ia munafik, ia juga pernah kena detensi dan mendapat pengurangan poin. Tapi langsung lima puluh poin? Tidak pernah. Lagipula poin yang ia kurangi sudah ditutupi dengan tugas-tugasnya di kelas dan keaktifannya di tim. Jadi katakan sekarang—sebenarnya siapa yang tidak berguna? Mereka yang hanya bisa berbicara ini dan itu panjang lebar—atau dia? Jelas bukan Nate yang mendapat definisi sebagai orang tidak berguna. Mereka sampah, dia permata.

Michelle duduk kembali, Sienna angkat berbicara. Beberapa orang lain juga menyatakan pendapat—Dawghew laki-laki, Ravn, Sirius dan kalimatnya yang terdengar seperti musik di telinga Nate. Oke, berlebihan memang. Tapi setidaknya kalimat itulah yang paling ingin ia dengar malam ini.Dan cukup untuk membuatnya tersenyum puas ketika menangkap lirikan anak laki-laki itu. Sulit sekali ya, ketika berbeda pendapat. Yang satu mengatakan ikuti peraturan (pendapat Sienna, sungguh siswi yang baik), yang satu lagi mengatakan tidak apa melanggar peraturan. Pendapatnya pribadi, silahkan langgar semua peraturan yang kalian mau asalkan jangan menjadi beban untuk yang lain. Bukankah Slytherin terkenal dengan kelicikinnnya? Seharusnya bukan hal yang sulit untuk menghindari hukuman, terutama pengurangan poin. Meskipun kembali pada pendapatnya sebelum ini, kalau hanya memusingkan mengenai poin, para prefek kan bisa megurangi poin asrama lain dan menambah poin asrama mereka sendiri secara besar-besaran.

"What we've lost is not the points, instead, we've lost our identity. Perang terjadi di luar, dan sebagian orang tua kalian berjuang di sana. Dan di dalam kastil ini adalah anak musuh dan calon musuhmu. Hancurkan saat mereka belum berbahaya." Kalau yang ini ia cukup setuju. Krisis identitas—sekarang pikirkan apa kualitas terbaik dari Slytherin? Independen—mereka bergerak untuk tujuan sendiri tapi bukan berarti tidak bisa bekerja sama, untuk mencapai tujuan kerja sama hanyalah satu pengorbanan kecil. Licik, licin, pintar—apapun yang berarti sama dengan tiga kata itu, hanya saja kebanyakan tidak memiliki tiga kualitas itu—hanya bermodalkan status darah mereka. Ambisius—hal yang ia rasa benar-benar sudah hilang dari mereka. Tidak ada ambisi, tidak ada keinginan untuk menjadi yang terbaik—pantas saja mereka terpuruk.

Seringai.

”Intinya, mari kita hancurkan asrama lain—tanpa merusak harga diri kita kita sebagai yang terbaik."
Frilla
Selamat siang, dunia. Di sini Nate hadir membawakan berita dari kastil Hogwarts, salah satu dari tiga sekolah sihir terbesar di daratan Eropa. Minggu ini cuaca sudah mulai dingin, membawa angin dingin dari utara pertanda musim salju yang akan segera tiba. Dingin dan lembab diakibat oleh hujan deras semalam. Ia sendiri juga harus mengenakan jaket bewarna abu-abu tua dan sarung tangan cokelat agar tidak kedinginan. Dan dia sedang melakukan tindakan bodoh dengan mendatangi danau di hari yang seperti ini.

Oke, tidak sepenuhnya bodoh. Karena ia melihat pemandangan menarik di sana.

Seringai yang sudah lama tidak muncul di wajahnya akhirnya kembali. Setelah satu tahun lamanya tidak berbuat apa-apa, akhirnya gilirannya tiba. Lihat siapa yang berada di tepi danau di sana, Dawghew, Sirius, dan Ravn. Memegang anak yang tampaknya target kali ini, Pixies or whatever. Pixies seperti nama mahluk lemah kecil dengan warna biru elektrik yang membuat mata katarak tapi punya keangkuhan setinggi langit itu. Oh, oh... sampah lainnya, mari kita buang ke Cornwall, ke Devon. Kembalikan ke habitat asalnya darimana ia diimpor ke Inggris atau dibuang karena menganggu ketentraman masyarakat di sana. Ck, anak-anak kelas dua itu, berbuat seperti ini tanpa mengajaknya—izinkan Nate untuk ikut bergabung.

Terima kasih.

Banyak.

“Sebutkan satu alasan, apa motivasi kalian melakukan lelucon...” nguiiiingnguiiing. Seperti bunyi denging yang sangat menganggu kelancaran darah ke dalam otak. Membuatnya nyaris menyumpal telinganya hanya agar ia bisa mendekat. Tidak separah itu sih, ia juga malas menyamakan denging konyol itu dengan tangisan mandrake yang membunuh. Oh, mengingat soal mandrake—membuatnya kesal saja. Untung jarinya tidak putus karena gigitan mahluk sialan itu. Apa pixie yang satu ini juga bisa menggigit? Hm... diragukan. Seingatnya dalam buku Hewan-hewan Fantastis dan Dimana Menemukannya pixie suka menggigit telinga manusia dan menerbangkannya. Ah, hewan yang benar-benar unik. Umurnya tidak panjang lagi, menurut buku—bukan karangannya sendiri. Kita buktikan saja kalau begitu, apa benar pixie itu umurnya pendek?

”Well, well, what do we have here?” sebuah pertanyaan retoris bernada riang keluar dari lubang di antara dua bibir kemerahan milik anak laki-laki itu. Rambut ikalnya menggelitik pipinya seiring dengan tiupan angin. Alisnya sempat berkedut dengan pandangan aneh ketika melihat seorang anak perempuan berwajah Asia yang menempel pada Dawghew. Oh—pasti hanya bayangannya saja. Pura-pura tidak lihat, ah.

Peskipiksi pesternomi.

Kembalilah ke tempat asalmu, wahai pixie budiman.

”Locomotor Motris,” ujarnya kalem sambil mengarahkan tongkatnya ke arah si anak-penghilang-poin-yang-tampaknya-akan-jadi-korban-kdls-alias-kekerasan-dalam-lingkungan-sekolah. Nah, kalau ia beruntung, ia akan lolos dari detensi lagi. Tapi ah—bukankah sejak dulu memang ia selalu beruntung? Karena Dewi Fortuna seorang wanita, yang pasti lebih memilih laki-laki dengan wajah tampan daripada mahluk biru dengan telinga runcing. Dan dia cukup (kalau tidak lebih) memenuhi kriteria orang yang akan ditolong sang keberuntungan. Bukankah sudah jelas?

Selamat siang, Dewi Fortuna, Nate di sini.

Berikan dia keberuntungan untuk mengeliminasi sampah masyarakat.
Frilla
Mulai lagi. Pagi yang mengerikan dipenuhi dengan kecemasan dalam mengerjakan tugas—sudah dimulai. Seperti sebuah lingkaran setan—lagi dan lagi. Well, tapi—bukannya Nate cemas atau apa. Anak laki-laki berambut kecokelatan itu mengedikan bahunya dan menguap bosan—sesekali mengacak rambutnya. Kepalanya terangkat saat membuka pintu menuju ruang kelas mantra. Matanya meneliti ruangan itu sejenak—mendapati si profesor mini itu sedang berada di mejanya, di atas buku-buku yang tebalnya pasti membuat pelupuk mata orang yang membacanya meleber seperti butterbeer yang tumpah dari cangkirnya. Dan—hee... tidakkah rambut dan jenggot beruban milik keluarga jembalang itu semakin lebat saja tiap hari. Pakai ramuan penumbuh rambut atau apa, ya? Bukannya Nate mau memanjangkan rambutnya—mengerikan sekali kalau ia sampai memiliki rambut yang keriting panjang seperti Flitwick. Atau lebih mengerikan lagi.... memiliki jenggot seperti Dumbledore. Brr...

"Baik, hari ini kita akan mencoba sebuah mantra yang cukup menarik—" menarik demi apa—mata kelpie buta. Idih. Ia selalu berpikir dari dulu—selera humor milik staff Hogwarts itu tidak ada yang benar. Mulai dari yang nyentrik sampai mengerikan—astaga, seperti kekurangan staff pengajar yang berkualitas saja. Katanya menarik—ck, memantrai mata trol yang mengamuk. Nah, itu menarik. Menaiki naga—sangat menarik. Blah, menarik sekali—seperti Nate mau saja mempertaruhkan nyawanya untuk hal-hal tidak berguna semacam itu. Bukannya ada profesor yang mengajarkan hal seperti itu—satu-satunya hal yang paling berbahaya yang diajarkan di hogwarts adalah menghadapi burung hantu sekolah yang tua renta. Kenapa tidak ada pelajaran menangkap snitch saja, sih?

CTAAAR

Salazar—

BRUAAAAK

Nate yang dari tadi duduk menopang dagu tidak sengaja memukul mejanya karena kaget—menimbulkan bunyi keras yang bergaung di ruangan itu. Wajahnya yang tadi sempat terlihat bosan langsung nyalang—seperti baru terbangun dari tidur yang panjang. Bunyi apa tadi—mengagetkan saja... astaga. Astaga. Anak laki-laki itu mengernyitkan alisnya, menatap si profesor dengan tatapan sebal. Seenaknya saja—mengagetkannya seperti itu. Dasar jembalang kerdil, goblin sinting, mahluk mini. Mau mempermalukannya, ya? Ck. Anda pikir tadi itu lucu, eh—profesor??

Tes tes tes

Nate memutar bola matanya. Tadi petir, sekarang hujan. Basah, nih. Dia basah, nih. Merusak rambut dan semua peralatannya. Ck, mahal tau, prof, mahaaal. Barang-barangnya mungkin lebih mahal daripada gaji anda setahun. Demi Merlin—si kakek tua ini maunya apa, sih? Hah, pasti dia juga ikut dalam persekongkolan menjatuhkan Nate. Semua orang—iri dengannya pasti, ya. Berdoa saja, kakek kerdil, anda tidak akan pernah menjadi seperti Nate.

“Impervius,” gumamnya pelan ke arah kepalanya, masih mendelik ke arah sang profesor.

Nate mengacungkan tongkatnya ke arah barang-barangnya dan menggumamkan ’impervius’ pelan. Tidak banyak gunanya, sih, terlanjur basah—mengingat hujannya sudah turun sejak beberapa menit yang lalu. Brengsek. Pena bulu angsanya yang diberikan oleh Bibi Cammile saat berlibur ke Perancis—buku tentang quidditch yang ia pinjam dari perpustakaan. Gawat, nih... Madam Pince pasti akan sangat murka kalau melihat bukunya basah. Mati dia. Ia pasti PASTI akan dibunuh kalau wanita mengerikan itu mengetahui hal ini. Sampai di asrama, terpaksa ia harus repot-repot mengeringkannya dengan suatu cara. Kalau beli baru... pasti ketahuan, argh. Nate mengernyitkan alisnya, kembali kesal mengingat semua hal itu. Akhirnya ia mencoba menggumamkan ’glacius’ beberapa kali. Pertama, pelafalan. Oke. Huf, kalau memang begini maunya si Flitwick itu—ya, sudah. Ia akan melakukannya.

"Glacius."

Suara sopran yang terdengar familiar itu otomatis membuatnya menoleh ke arah sang pemilik suara. Ekspresi wajahnya yang sesaat kesal tadi langsung digantikan dengan wajah yang cerah begitu melihat sosok gadis berambut prang itu. Habisnya—ia kira tidak ada orang yang bisa diajaknya mengobrol—ternyata dia memang selalu beruntung. Baru berpikir begitu, langsung muncul Sienna yang dikirim oleh Dewi Fortuna padanya. Ah—benar, memang tidak ada orang yang tidak mencintai Nate. Seorang dewi sekalipun/

”Sien,” sapanya pelan sambil melompat duduk ke kursi di sebelah sepupunya itu. Cengiran lebar terplester di wajahnya—ia melirik ke arah gadis di sebelah sepupunya itu dan melebarkan matanya sesaat sebelum mengangkat bahu dan menyapa gadis itu juga, ”hai, Dark—kalau aku boleh memanggil seperti itu.” Ya, pasti boleh, dong, permintaan Nate sama dengan perintah dari Kau-Tahu-Siapa. Ck, anak laki-laki yang ini—pasti belum menyadari betapa besar bahaya yang ditimbulkan kalau ia sampai mengucapkan kalimat itu. Cari mati—kata orang. Tapi ini ’kan hanya istilah—ya? Ya? Lagipula misalnya nih, misalnya dia bertemu dengan Kau-Tahu-Siapa, pastinya orang itu juga menjadikan Nate anak emasnya. Ya, kan? Kan? Well, terkadang ada juga orang yang tidak tahu kapan harus berhenti menilai dirinya terlalu tinggi. Apa boleh dikata—ketika hidup begitu sempurna terbentang di depannya, tidak ada yang terasa lebih tinggi.

Anak laki-laki itu menoleh kembali ke arah gadis berambut pirang di sebelahnya dan berkata dengan mimik yang berubah-ubah di setiap kalimat. ”Sien—si Flitwick itu menyebalkan sekali. Semua barang-barangku basah, ck. Ngomong-ngomong bagaimana liburan musim panasmu?”

Musim panas—

—cukup buruk.

”Glacius,” ujarnya sambil mengacungkan tongkatnya ke arah mejanya yang basah. Beku, membekulah semuanya! Gagal. Cih. Pupilnya melebar ketika menangkap kilatan mantera yang mengarah ke seorang laki-laki yang sudah sangat akrab di matanya. Seringai jahil muncul di wajahnya—ikut mengarahkan tongkatnya dan menggumamkan ”glacius” ke arah tongkat laki-laki itu. Seringainya semakin lebar melihat kilatan mantera yang keluar dari ujung tongkatnya. Nah, kalau tongkat membeku kira-kira apa yang bisa dilakukan? Percobaan yang menarik bukan—efek dari mantra Glacius pada tongkat sihir.

”Nice aim,” ujarnya pada orang yang duduk di belakangnya itu. Tersentak sedikit sebelum menyadari siapa yang diajaknya berbicara. Goddamnall. Ia memutar bola matanya dan kembali menatap Sienna. Apapun selain dia.



Norwegia, salah satu negara Skandinavia yang terletak di bagian utara daratan Eropa. Tanah nenek moyangnya yang agung. Begitu banyak cerita yang diwariskan di tanah Skandinavia itu—tentang Loki dan Ragnarok—hari kiamat bagi para dewa, saat para dewa lenyap menjadi abu, tentang Sigmund dan Hiordis—kisah mengenai dendam dan kebencian, cerita-cerita yang tidak kalah dikenang dari mitologi Perseus dan Andromeda. Tahu kenapa mitologi Norse berbeda? Karena jarang ada akhir yang bahagia dalam tiap ceritanya. Pernah mendengar cerita tentang Sigurd dan Brynhild? Brunhilde, seorang perawan dengan kecantikan yang luar biasa yang terkurung dalam lingkaran api dan Sigurd, seorang ksatria pemberani yang berhasil melompati api itu dan bertemu dengan sang maiden. Mereka berdua bertemu dan jatuh cinta pada pandangan pertama. And they live happily ever after. Tidak akan. Ini bukan dongeng para muggle dimana semuanya berakhir bahagia.

Kalian pikir, setelah beribu cobaan yang menghalangi Sigurd, pada akhirnya ia akan menemukan akhir yang bahagia dalam seorang Brynhild bukan?

Kenyataan—memang tidak sesuai dengan harapan.

Dia juga.

Sang pangeran menyentuh pelipisnya—mendengus kesal kepada dirinya sendiri. Brengsek. Bagaimana mungkin ia bisa tidak menyadari suara yang sudah familiar itu? Lupa—tidak mungkin. Memangnya ia Sigurd yang bisa dengan mudahnya ditipu untuk meminum ramuan pelupa. Tolong seseorang bunuh dia—tidak, jangan—kasihan orang-orang yang nanti akan merindukannya. Cukup cubit pipinya dan bangunkan dia dari mimpi yang aneh ini Ck. Sialan. Nate adalah orang yang benar-benar terkutuk. Alisnya bertautan—ia menggumamkan glacius beberapa kali ke arah meja dan bukunya secara asal—tidak terjadi apa-apa. Gagal semua, menambah jumlah urat merah di pelipisnya yang berdenyut seiring kekesalannya yang terus meningkat. Sialan. Konsentrasi, konsentrasi—hal paling mutlak dalam penguasaan mantra apapun. Sekaligus juga merupakan hal yang paling sulit dilakukannya di saat-saat seperti ini. Argh. Lupakan saja.

Kembali ke persoalan yang lebih menarik daripada membekukan air yang menetes akibat hujan buatan goblin tampan di depan, Sienna mengatakan liburannya tidak istimewa—oh, bagus. Masih lebih baik daripada liburannya kalau begitu—yang sebenarnya akan berlangsung dengan baik kalau saja tidak ada Miranda, penyihir iblis yang ingin ia tusuk-tusuk dan umpankan pada naga moncong pendek Swedia atau ibunya yang ingin ia asingkan ke Ethiopia dengan iringan tarian peri rumah yang merasa senang terbebas dari penyihir wanita itu. Nate menunjukan cengirannya lagi dan mengangkat bahu, “lebih baik daripada liburanku berarti, mengerikan—musim panas kali ini. Eh, ngomong-ngomong, memangnya aku belum pernah memintamu untuk berhenti memanggilku dengan sebutan ‘Nathan’? Kau terdengar seperti ibuku.”

"Dia memang gila, Harvarth. Sepertinya Hoggie-Woggie tidak mampu membayar pengajar yang lebih professional," ujar suara tanpa perasaan dari sebelah kanannya—sebelah Sienna lebih tepatnya. Membuatnya mengangguk setuju meskipun tidak sepenuhnya sependapat dengan perkataan Dawghew. Hogwarts seharusnya mampu membayar pengajar yang professional, ia lebih setuju dengan pendapat bahwa Flitwick dan Dumbledore merencanakan sesuatu. Hm… ia mencium ada bau-bau nepotisme di sini. Atau mungkin Flitwick punya affair dengan Mcgonaggal? Oh, tidak. Yang terakhir itu jangan dibayangkan—ARGH. Mental imej yang sungguh mengerikan. Ck, imajinasi yang terlalu tinggi terkadang membawa kesengsaraan. Ta-tapi, kalau ternyata ia benar bagaimana? Wah, gossip ini benar-benar perlu diluruskan! Nate menatap mata Dawghew dengan wajah serius sambil berbisik pelan, “menurutmu—mungkin tidak Flitwick punya affair dengan McGonaggal?”

Imajinasimu hebat sekali, Nathan.

Pasti cukup untuk membuatnya tidak bisa tidur seminggu.

Nate melirik ke seorang anak laki-laki yang duduk di sebelahnya—yang menanyakan apa tugas mereka dengan wajah sembab seperti baru bangun tidur—yang menurut Nate, memang itulah yang tadi dikerjakan oleh teman sepermainannya itu sebelum entah apa membangunkannya. Sebelum Nate menjawab, sepupu berambut pirangnya sudah menjawab terlebih dahulu, menyisakan hanya sebuah kalimat untuk diucapkan olehnya, “hei, landak tua, sudah puas tidurnya?” Kalau bukan Nate yang mengatakan kalimat itu, pasti Sylar akan mendelik dan melakukan entah hal apa pada yang berani memanggilnya seperti itu. Oh, segala keuntungan yang didapatkannya… Menyenangkan.

Nate memutar-mutar tongkat dengan inti helaian bulu unicorn di tangannya. Kalau tidak sengaja muncul kilatan mantra dari tongkatnya dan mengenai seseorang—ck, jelas bukan salahnya. Siapa suruh punya keberuntungan yang tidak bagus sampai bisa terkena mantra nyasar. Lalu omong-omong tentang mantra nyasar—siapa itu yang memantrai kenop pintu? Demi Merlin, kalau mereka terkunci di sini… bagaimana, ya? Manik caramel itu menyusuri asal mula kilatan itu dan menemukan pelaku dari pengrusakan itu. Bingo. Seharusnya dia sudah menduga, siapa lagi orang yang lebih gila daripada troll Ravenclaw itu? Meskipun bagaimana otak troll bisa disamakan dengan kecerdasan otak yang dijunjung oleh penghuni langit itu ia sama sekali tidak mengerti. Bukannya ia perlu atau ingin mengerti—sama sekali bukan urusannya, benar, deh. Apakah menurutmu Nate terlalu mulia untuk memikirkan hal remeh semacam itu? Dipandangannya sendiri, jelas iya.

“Glacius.” Cukup satu kata, tidak perlu lebih, sudah membuat anak laki-laki berambut ikal kecokelatan itu kembali menoleh ke meja di belakangnya. Menatap tepat ke dalam dua Kristal bening yang sudah lebih dari familiar di matanya. Ia tidak bisa melihat dengan jelas apa yang dimantrai oleh gadis itu—yang jelas sesuatu yang berada di bawah, di lantai. Tapi meja di depan gadis itu menghalangi pandangannya. Bukan masalah kan? Seperti ia tertarik saja dengan apapun yang terjadi pada gadis itu.

Katakan, Nathan—apa kau masih peduli padanya?
Tidak.
Tidak usah munafik, semua orang juga tahu hal yang sebenarnya…
Tutup mulut, brengsek.
Kau tidak akan mengkhawatirkannya kalau kau sudah tidak peduli padanya.
Hanya karena dia miliku, bukan karena aku peduli.
Baiklah, terserah…
Tentu saja, aku melakukan apapun yang kuinginkan.


“Perlu bantuan, Michelle, dear?” ujarnya sambil menunjukan cengirannya yang biasa. Baiklah, anggap saja ini salah satu dari tindakan yang biasa ia lakukan. Kenapa juga harus dianggap lebih? Orang bilang, orang yang mengaku tidak pernah berbuat kesalahan adalah orang yang paling sering berbuat kesalahan. Karena orang yang tidak merasa salah tidak akan melakukan evaluasi terhadap tindakan ataupun perkataannya yang salah. Tapi teorema ini tidak berlaku pada Nate, karena apapun yang terjadi—Nate selalu benar. Tindakannya saat ini pun bisa dibenarkan, ia tidak pernah berkata tidak akan pernah berbicara dengan Michelle atau apa. Apa yang ia lakukan ini tidak salah, mengerti? Bagus.