Frilla
Well... apa kabar?

Suhu sekitar 15 derajat di sini. Aku hampir tidak bisa merasakan semangat musim panas, hahaha. Aku ada di Tromso sekarang, menemani ayah berurusan dengan mayor entah untuk apa. Kurasa membicarakan izin pembangunan atau apa. Kurasa tidak akan ada orang yang percaya beliau sempat sakit sebelumnya kalau melihat tingkahnya sekarang. Kesana kemari mengurus urusan yang ayah tinggalkan selama beliau dirawat. Liburan musim panas dan dia lebih memilih untuk mengurus perusahaannya daripada bersenang-senang dengan keluarga, meskipun memang bisa dibilang kami ke Tromso untuk liburan. Cassandra (adikku) tampak senang datang ke sini. Kurasa ia sedikit bosan dengan Beauxbatons, terlalu ketat untuknya. Aku akan senang kalau dia masuk ke Hogwarts saja, tapi tampaknya ibu ingin Cass mendapat pendidikan etika yang 'sepantasnya'. Terserah lady saja, aku tidak ingin berdebat dengannya. Selama Cass juga merasa senang.

Tromso kota yang menakjubkan. Matahari tidak pernah tenggelam di musim panas, meskipun aku sedikit menyayangkannya. Kudengar pemandangan di sini bagus sewaktu malam, ada aurora di malam hari. Katanya Tromso adalah salah satu tempat terbaik di dunia untuk menyaksikan fenomena ini. Sayangnya di musim panas, tidak ada kata malam. Mungkin lain kali kita bisa kesini bersama, aku yakin kau pasti menyukai tempat ini. Terutama jika ada aurora itu. Cantik, dan pasti romantis kan? Hahaha. Lalu, liburanmu sendiri bagaimana? Tidak main mata dengan siapapun kan? Bercanda. Mungkin seharusnya kau yang bertanya, ya... Tapi tenang saja, kalau aku bertemu dengan perempuan lain yang berusaha mengajakku berkencan, aku akan mengatakan padanya aku sudah punya pacar cantik yang menunggu di Inggris. Hahaha. Aku akan ke Diagon Alley untuk membeli perlengkapan sekitar Agustus. Kuharap kita bisa bertemu nanti.

Pasti aneh sekali, jauh-jauh ke Inggris sementara ada Durmstrang yang begitu dekat. Aku seharusnya bersekolah di sana, tapi ibu tidak mengizinkan. Dulu kupikir itu salah satu caranya untuk menghalangi keinginanku. Tapi sekarang... kupikir dia hanya khawatir. Bekas sekolah Grindewald dan segalanya. Well, aku mencoba untuk berpikir positif akhir-akhir ini. Lagipula aku tidak menyesal dia melarangku ke sana. Di Hogwarts, aku jadi bisa bertemu denganmu dan yang lain. Salazar, can you believe that I've missed you already? Kurasa aku harus menyeret ayah untuk ke Inggris secepatnya.

Oh, aku baru menerima lencana prefek pagi ini. Sedikit mengejutkan, haha. Kau tahu aku bukan termasuk dalam kategori murid teladan, entah berapa poin yang sudah kukurangi dari asrama kita--dan detensi yang kudapatkan... well, aneh juga. Meskipun waktu itu aku sudah berjanji padamu, masih sulit bagiku. Kau tahu, untuk berpikir aku layak mendapat semua ini. Prefek, benar-benar kekuasaan yang cukup besar. Aku tidak yakin bisa menjalankan tugas ini dengan baik. Kau menerima lencana juga? Maksudku, mengingat kurasa kau murid terbaik di angkatan kita dan segalanya. Kurasa aku tidak perlu bertanya, kau pasti dipilih. Bukan kejutan, hahaha...

Jadi, kita bertemu di Diagon Alley nanti? Can't hardly wait. Mohon bantuannya, prefek Solathel!

Love,
Nate.



PS.
Kalau Fenrir (burung hantu elang ini) macam-macam dan mulai menyebalkan, masukan saja owl treat ke paruhnya. Semoga dia bisa diam. Aku benar-benar berpikir harus mencari burung hantu yang bisu. Atau men'silencio'nya permanen juga terdengar seperti solusi yang menarik.
Frilla
It started with once upon a time.

Nathan, in Hebrew it means gift of God. Berapa kalipun diulang rasanya masih sulit sekali untuk mempercayainya. Dia, yang sejak dulu selalu merasa dipandang sebelah mata, tapi ternyata semua itu hanyalah khayalan yang diciptakan oleh hatinya yang tidak mau memaafkan. Dia mencoba untuk percaya, menancapkan dalam-dalam pengetahuan yang baginya adalah suatu hal yang sama sekali baru... dan membuatnya lega. Bukan, terlalu mengecilkan jika ia berkata hanya merasa lega. Seperti menemukan oasis setelah tersesat di gurun berhari-hari. Klise. Melebih-lebihkan. Hiperbola. Mungkin. Tidak akan ada yang mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang Nate. Tapi yang jelas ia merasa bersyukur, karena Tuhan memang ada.

I will believe
so the two of us can be together in love


Dia akan berusaha mempercayai, bahwa hidupnya tidak perlu dihabiskan untuk sesuatu yang tidak ia sukai. Tidak perlu lagi ada kata-kata haus akan perhatian dan ingin sepasang kristal terang miliki sang ibu menatapnya. Bebas menentukan, tanpa ada batasan bernama 'pantas' dan 'tidak pantas'. Penentunya adalah diri sendiri. Karena dengan mempercayai itu, kini dia bisa menemukan kembali sang putri. Jadi katakan selamat datang pada Nathan Kehl Harvarth yang baru.

Anak laki-laki itu tersenyum kecil. Semuanya akan baik-baik saja sekarang. Ia menutup matanya, merasakan vibrasi dari tiap kata yang terlontar dari gadis di depannya. Suara sopran yang mengalun lembut, sentuhan di bahunya, dan aroma lili yang menyusup tanpa diundang. Membuat saraf-sarafnya menegang sesaat karena invasi yang lama tak terjadi. Sulit dipercaya. Amat sangat sulit. Seakan segala kegalauannya selama bertahun-tahun ini tidak pernah terjadi, tidak pernah ada dari awal. Lima belas menit yang penuh dengan antisipasi sebenarnya hanya sebuah imajinasi dari dunia berbeda. Waktu tidak pernah berjalan sejak 16 Maret 1979. Ia tidak ingin membuka matanya. Ia tidak ingin membuka matanya dan menyadari bahwa ternyata semuanya hanya mimpi. Yang mana kenyataan dan yang mana mimpi, sulit dibedakan sekarang. Tempatnya sekarang berada terasa nyata, tapi terlalu indah untuk sebuah kenyataan.

Tapi selama ia bersama Michelle, ia tidak peduli di alam mana ia berada. Mimpi atau kenyataan, persetan. Jika ini mimpi biarkan dia tidur selamanya, jika ini kenyataan... Jika ini kenyataan. Yah, sentuhan di bahunya terasa nyata. Untaian kata yang terdengar juga terasa nyata, meskipun dalam bayangannya ia mengira akan ada makian atau paling tidak penolakan. Kata yang menusuk dan membuatnya harus berlutut meminta maaf. Bukti bahwa ini bukan hanya sekedar imajinasinya saja.

Ia akan menjanjikan apapun untuk Michelle.

I’ll hold your hand forever, don’t let go
let’s make a promise, the two of us


"I swear," bisiknya menanggapi kalimat terakhir gadis berdarah campuran di depannya. Kelopak matanya membuka, memperlihatkan kilauan kristal cokelat yang dipenuhi emosi yang tak terdefinisikan. Nate menghela nafas, bersyukur ketakutannya untuk membuka mata tidak terbukti. Hangat. Aroma lili dan anemone berpadu menjadi satu. Lili, keeps unwanted visitors away. Anemone, unfading love. Mengerti pesannya? Kalian tidak diinginkan dalam kisah mereka berdua, pergi jauh-jauh selagi kalian bisa. Terima kasih, selamat tinggal. Pemuda itu nyengir melihat tingkah gadis yang bersandar padanya itu. Betapa dia merindukan saat-saat yang seperti ini. Kasih ini masih ada. Dan akan selalu ada.

Tidak peduli kau menginginkannya atau tidak, Tuan Putri. Karena sekarang Nate sudah memutuskan, apapun yang terjadi, apapun, ia tidak akan lari. Dan meskipun itu berarti ia harus menyakiti dirinya sendiri, pergi ke neraka sekalipun ia tidak peduli. Lagipula dia memang setan dari awal. Apapun, bagaimanapun. Ia tidak akan melepas Michelle lagi sekarang.

“A game. The most important match in my life.”
Nathan Kehl Harvart has caught the snitch.


Tiga tahun. Entah perlu diulang sampai berapa kali satuan waktu itu hingga Nate benar-benar terbiasa dengan fakta yang terbentang di hadapannya ini. Banyak keajaiban tahun ini. Mulai dari kejadian pribadi hingga yang menyangkut nasib seluruh dunia. Anehnya, semua keajaiban itu terjadi setelah Pangeran Kegelapan jatuh. Pertanda bahwa memang penyihir itu membawa malapetaka bagi semua orang bahkan yang tidak memiliki urusan dengannya? Mungkin. Tapi persetan dengan pangeran kegelapan dan nasib seluruh dunia. Ia bisa tidak peduli dengan semua itu. Saat ia di sini, bersama Michelle. Di bawah kerlip bintang. Konstelasi di malam musim semi. Vela, Crater, Virgo, Leo, Cancer. Coma Berenices. Sedikit dari konstelasi yang namanya diambil dari tokoh sejarah. Berenices, istri dari Ptolemy III Euergetes yang mengorbankan rambut kebanggaannya pada Dewi Aphrodite untuk keselamatan suaminya.

Bahkan langit juga mengalunkan nada-nada lembut mengenai kisah cinta. Malam yang sungguh tepat untuk menjalin rangkaian kasih. Crater, Corvus, Hydra. Langit memberikan nasehat mengenai kejujuran. Nate mengerti. Kebohongan hanya akan menjadi penyakit untuk semua orang.

So in order to light your light fill me
I hug you tightly


Nate belum mengatakan apa-apa lagi. Hanya degup jantung dan suara nafas lembut terdengar di sela-sela keheningan malam. Rasanya sayang jika dia harus memperdengarkan melodi lain yang bisa mengusik alunan orkestra malam. Tapi demi mereka berdua, apa salahnya merusak sedikit melodi yang bahkan tidak didengar orang lain selain mereka? Dengan pikiran itu Nate mengangkat tangannya dan merengkuh sang putri. Dekapan lembut yang membuat berpikir berulang-ulang alasan hingga ia bisa melakukan hal-hal bodoh yang membuatnya kehilangan Michelle dulu. Kapan terakhir kali ia menyentuh gadis itu? Fairest princess, never before he imagined they'd ended like this.

"So, this means we're okay now, right?"

Smile.

"Together, once again."

And they live happily ever after.
The end.
Frilla
Michelle kecil memiliki rambut pirang kecoklatan sebahu dengan ikal-kal besar menjuntai di sekeliling wajah, sorot tajam dan waspada nyaris selalu tersirat dari sepasang manik yang minim pendar keceriaan. Tingginya sekitar satu kepala lebih tinggi daripada anak-anak perempuan sebaya di pre-school, dan ia tidak pernah menemukan cara yang benar untuk meminjam boneka beruang milik anak lain tanpa membuat mereka menangis meraung-raung.

Since the day that we met
I ain't never had anyone make me feel this way
And my heart is sure it wants to be with you


Lalu omma akan tergopoh-gopoh datang untuk meminta maaf pada orangtua si korban sambil beberapa kali membungkukkan badan dan bertutur dengan logat Asia yang kental. Celemek dengan noda saus tomat masih tersampir di pinggang, dan dari tubuhnya menguar aroma today's menu cafe di sisi perempatan pusat kota. Surai hitam sang ibu kala itu masih panjang, rapi terikat menjadi satu kuncir di belakang punggung. Sementara poni tebal yang menutupi kening nampak sedikit lepek dan berantakan, mungkin karena peluh dan terpaan angin saat terburu-buru melintasi jalan menuju sekolah setelah menerima telepon dari kepala sekolah. Michelle sudah lupa namanya.

Dengan bibir mengerucut dan hidung mengernyit seakan merasa integritas lembaga pendidikan yang dibinanya akan tercemar apabila publik menyaksikan seorang pelayan berkulit kuning dan anak perempuannya yang tidak tahu adat berada di pekarangan sekolah lebih lama lagi, ia akan mengomel dalam Bahasa Perancis dengan cepat—entah apakah sindiran terhadap orang asing terkandung di dalamnya, karena jelas si gadis kecil dan ibunya tidak dapat menangkap keseluruhan maksud ucapan dari nenek tua itu—dan menyuruh Mrs. Kim untuk membawa putrinya pulang dengan catatan, anak itu wajib menerima wejangan sopan santun tentang cara bergaul ala seorang gadis Eropa.

Wanna give you the whole world
If you make that promise to me, You're gonna stay
Without you here with me, I'm lost and so confused


Tahun-tahun berlalu, namun fille berdarah campuran dua benua itu tidak pernah berubah. Ia masih keras kepala dan cuek, juga tak segan memukuli murid-murid lain di sekolah yang memandangnya setengah mata—hanya karena tidak banyak brunette jangkung bermata sipit tinggal di Avallon. Ketika kekuatan sihir mulai menampakkan diri, ia berhasil membuat seorang anak laki-laki pingsan saat bermain bola tangkap. Semua orang berpikir tidak mungkin sebuah bola karet mampu membuat seseorang sampai terkapar dengan benjol sebesar telur ayam di dahi, maka tersiarlah cerita bagaimana seorang gadis temperamental berhasil membalas dendam pada teman sekelasnya yang sering mengolok dengan menghantam kepala anak itu dengan pemukul bisbol saat semua sedang tidak memperhatikan.

Tapi sebagaimanapun buruk pandangan orang lain, ibunya tidak pernah mengeluh. Ia mempercayai dan menyayangi putri kecil yang dia lahirkan sepenuh hati, menerima pandangan negatif dari mereka tanpa mengeluhkan apapun. Sementara bermil-mil jauhnya dari tempat itu, sang ayah duduk berpangku tangan sembari menganggap si anak perempuan tidak cukup berharga untuk dijaga baik-baik karena warisan klan hanya akan diturunkan pada kaum lelaki. Dan Michelle tidak pernah membayangkan bagaimana wujud rupanya kini jika sepanjang masa-masa sulit itu, satu-satunya orang yang mendampingi bukanlah Kim Eun-soo. Atau sikap yang ditunjukkan omma kala itu tak ubahnya seperti kisah yang baru saja mengalun. Mungkin ia sudah dibuang ke panti asuhan antah-berantah atau bunuh diri.

Dan ia tidak percaya selama ini berani mengaku-ngaku sebagai seorang korban tanpa mengetahui kenyataan sebenarnya bahwa sang pangeran mengalami gejolak semacam itu berkecamuk dalam hati sepanjang waktu. Tatkala yang ada dalam pikirannya hanya konfrontasi atas adegan pemuda itu mencium gadis lain, Nate setengah mati menahan diri sebab merasa ia tak cukup pantas bersanding dengannya. Ia sendiri tak yakin jika berada di posisi pemuda itu, ia mampu melakukan hal serupa.

Now who's the little selfish princess, eh...?

I'm gonna be the love that's gonna last
And be the one that got your back
Ain't nothing ever that bad that we won't be together?


Hening. Meski tidak yakin apakah waktu berjalan lambat hanya ketika bergulir di sisinya, ia merasa detik telah jauh meninggalkan mereka dalam kehampaan ketika kesadaran kembali memecut. Ada keyakinan terpantul pada iris berlapis bening kornea milik bola mata cokelat sang fille, namun merangkai kata-kata dari bibir nampaknya bukan pekerjaan mudah pada situasi seperti ini. Gadis itu menggenggam erat buketnya, merasakan keringat dingin menjalari telapak, tapi ia tidak takut. A life with no regrets—setelah malam ini usai ia hanya menginginkan hadiah manis dari Morpheus. Ia bersyukur karena bukan kenyataan pahit yang disuguhkan kebenaran dari kisah panjang dan melelahkan milik mereka.

"And you're silly for keeping these out from me. You know it's not the perfect Nathan Harvarth that anyone else see whom I adore—it's you."

"This man,"
Michelle mengerjap sebentar, meletakkan tangan kanannya di pundak Nate. Mendongak untuk menatap lekat-lekat guratan sempurna wajah milik pemuda yang sama tiga tahun lalu—dan tercekat saat menyadari betapa orang yang dikasihinya telah bertambah dewasa. "along with his goods and his flaws; I accept him." Maniknya mengerling sepasang lain milik sang lawan bicara, terdiam, namun tidak menunjukkan tanda telah selesai bicara. Ia memejamkan mata. "But I won't forgive you—"

"—unless you swear that you will not let such thoughts come up in your mind again. Ever. I'd never be happy if it's not you."


Sesak, jadi jangan suruh ia berbicara lebih lanjut karena pastinya memang tidak mungkin. Selain karena merasa takut racauan akan membuatnya terdengar seperti aktris yang tengah memerankan sebuah roman picisan, Michelle sudah merasa jantungnya berpindah ke kepala—berdentum-dentum dalam rongga tempurung. Sedetik berselang, pemilik helaian gelombang tergerai itu menunduk, memandangi kelopak-kelopak cantik Anemone dengan pipi bersemu. Keningnya bersandar pada tubuh sosok di hadapan.

It's more than words to say.

And though we both made our mistakes
And some we never wish we made
But we'll be okay if we just stay together
Frilla
Once upon a time there was a little prince
He was so full of himself
that he never thought about anyone else

But one day, the prince met a beautiful princess
He offered his hand to the princess
and was happy when the she took his hand


Pemuda itu tidak bergeming. Hanya menatap dalam kebisuan, tidak ingin menemukan kata-kata yang mungkin bisa mengakhiri malam ini. Dan jika sang kala mau mengabulkan permintaannya untuk kali ini saja, bekukanlah waktu agar ia bisa menatap sang putri seperti ini selamanya. Sekalipun hanya sebuah ilusi semu, tenang sebelum badai. Tapi ia tidak perlu mendengar penolakan.

Nate bertanya-tanya sejak kapan ia menjadi orang yang seperti ini. Hidup sebagai anak seorang pengusaha yang kaya raya membuatnya mendapatkan semua hal yang bisa ia inginkan. Tapi justru hal yang ia inginkan adalah sesuatu yang tidak bisa didapatkan dengan emas. Kasih sang ibu sebagai contoh. Nate terbiasa untuk menyerah di saat ia tidak bisa mendapatkan sesuatu. Ia menyerah untuk kasih sayang, ia menyerah untuk kebahagiaan. Dan awalnya ia ingin menyerah untuk Michelle juga. Ia pernah menyerah untuk memiliki gadis itu. Tapi kali ini ia tidak bisa. Ia tidak bisa menyerah. Untuk pertama kalinya, ia ingin bertahan dan tidak berputus asa. Dia pernah kehilangan gadis itu sekali, ia tidak ingin kehilangannya lagi. Meski dihujam berkali-kali, meskipun pikirannya galau hingga ia hampir merasa tidak waras lagi, ia tidak ingin menyerahkan setitik harapan untuk mengulang kebersamaan mereka lagi.

Sejak kelas transfigurasi itu, pertama kali ia menemukan sosok seorang Michelle lewat bantuan Sylar. Banyak orang kurang ajar di sana. Mereka menjelek-jelekan gadis itu dan Nate ingin membelanya. Selain karena ia sendiri memang merasa tersinggung dengan ucapan mereka. Kisah mereka berdua berawal dari sana. Sebuah tantangan kecil dari sahabatnya, yang mengantarkannya pada sosok yang menghantui pikirannya selama hampir empat tahun kebelakang.


Time passed
and the prince had gotten attached to the princess
But no one knew, that the prince held a secret

His secret was his insecure feeling
Although he was acting proud and all
Actually he always thought that he was worth nothing
And he thought, he didn't deserve the princess

Then he took another girl
so that the princess would hate him
and live happily with other man who was better than him


Nathan, it means gift of God. Tidak pernah sekalipun ia punya pikiran bahwa dirinya adalah sesuatu yang baik, hadiah, karunia, apalagi dari suatu entitas Maha Kuasa seperti Tuhan. Apa yang ia bawa selain musibah? Tapi mendengar kalimat itu dari ayahnya dan pengetahuan bahwa sang ibu tidak pernah membencinya, memberikan suatu harapan baru baginya.

Harapan itu juga yang membawanya ke sini.

Sekali lagi. Berdua. Di bawah langit bertabur bintang yang menjadi saksi ikrar mereka tiga tahun lalu. Anehnya kali ini ia tidak merasa tegang atau gugup. Jantungnya tidak berdetak cepat atau apapun yang menunjukan tanda-tanda perasaan yang kacau seperti yang seharusnya ia rasakan. Aneh. Ia bisa tersenyum dengan mudah, seakan seluruh bebannya hilang tanpa bekas. Mungkin karena tanpa sadar, ia sudah siap menerima segala kemungkinan yang bisa terjadi. Meskipun ia masih juga merasa ingin melompat dari menara. Nate merasa sangat labil. Sebentar ia merasa tenang lalu di saat yang lain ia merasa kesal, sedih, gugup, frustasi. Ia benar-benar meragukan kewarasannya sekarang. Crazy in love, eh? Literally.

Kebisuan diantara mereka entah bagaimana justru membuatnya nyaman. Mungkin juga itu efek dari tatapan sepasang kristal gelap di depannya. Bagaimana bisa dulu ia sampai memikirkan untuk meninggalkan Michelle? Tolol benar dia sampai ingin menyerah. Apa yang ia lakukan dengan Crossroad waktu itu? Hanya karena si M itu berkata sesuatu yang membuatnya marah, hanya karena ia merasa begitu tidak bergunanya. Yah, itu alasannya. Karena ia merasa tidak bisa melakukan apa-apa. Lemah. Ia sangat kecil di hadapan dunia. Tapi ia tidak cukup lemah untuk menyerah sekarang.


Years passed, the prince had grown up
and he never once forgot about the princess
His heart was aching so much he couldn't bear it

And one day the prince realized
that he had paid so much for the princess' happiness
his love was beyond pain
...so maybe he did deserve her


Ia berharap bisa menafsirkan arti dari pandangan gadis di depannya. Helaan halus yang hanya bisa ia hubungkan dengan kata 'lelah'. Lelah dengannya keheningan di antara mereka, atau lelah padanyakah? Nate tahu dia adalah orang yang pesimis. Ia selalu mencoba menghapus pikiran buruknya dengan sugesti lain. Jika dia berkata dia orang yang hebat, mungkin ada keajaiban yang membuatnya menjadi orang yang berguna. Membohongi diri sendiri agar tidak merasakan sakitnya mengetahui bahwa kehadirannya di dunia tidak memiliki arti untuk siapapun. Tapi ada saat-saat dimana ia tahu bahwa sugestinya tidak akan berguna. Sifat pesimisnya sudah menancap begitu dalamnya hingga meskipun ia akhirnya tahu bahwa keluarganya tidak menganggapnya sebuah gangguan, ia tetap merasa khawatir. Dan kali ini ia khawatir bahwa sang putri merasa sudah lelah dengan gangguan yang ia timbulkan.

"Give me one reason."

Tertegun. Apa yang harus Nate katakan? Ia tidak memiliki alasan apa-apa. Terlebih lagi, alasan untuk apa? Alasan mengapa ia memanggil gadis itu kesini? Alasan mengapa ia pergi dulu? Alasan bagi gadis itu untuk tidak langsung menghujatnya? Ia berpikir terlalu dalam. Apa alasannya berada di sini, apa alasan ia ingin bertemu dengan Michelle, ada hal yang ingin ia katakan.

"I never told you that I hated my mother, did I?"

Pemuda itu membalikan tubuhnya memunggungi sang gadis. Nate tidak memiliki satu alasan yang diminta oleh gadis itu. Tapi ada hal yang ingin ia beritahukan pada Michelle. Rahasia yang tidak pernah ia katakan pada orang lain sebelumnnya. Tarikan nafas panjang terdengar dari sosok itu sebelum ia melanjutkan kalimatnya. "She told me that I'm unworthy, because I was another woman's. Constantly being told that made me believe it. I was happy to piss off my mother and just screw my life around. But then I met you. For the first time in my life, I wanted someone to see me as more than what I showed to the world. But as the time passed, I knew that you're too good for me. I had to leave, I had to leave you, otherwise you wouldn't be happy."


He ran, searched for the princess
When he found her,
he was scared that the princess didn't want him
But the prince thought that the pain worth the princess

So he offered his hand for the second time
and hoped that the princess would take it again
And maybe the story would end happily ever after


"I’m not making excuses for my actions," ujarnya cepat, ingin menekankan bahwa ia tahu tindakannya selama ini tidak bisa dibenarkan dan ia juga tidak punya niat untuk membenarkan apa yang sudah ia lakukan. Untuk meminta maaf sekarang pun rasanya sudah tidak pantas. Ia menoleh sedikit ke arah gadis itu sebelum kembali memalingkan wajahnya. Ia menghela nafas dan meneruskan kembali ucapannya, "but I have to show you the real me. I’m not a man without flaws, I am selfish, I am possessive, I am not proud of myself, I never think myself as a man who deserve someone like you. There are thousand of men out there who are far better fitted to be with you, than me."

Ya, ia tahu. Sangat tahu malah, meskipun itu tidak membuatnya kehilangan keinginan untuk mencabik-cabik pemuda mana saja yang mendekati sang putri. Cemburu, envy. Salah satu dari tujuh dosa pokok yang hukumannya adalah kedua mata dijahit dengan kawat. Ia tidak bisa memiliki sang putri, tapi ia tidak ingin ada orang lain yang memilikinya. Ia adalah orang yang sangat brengsek. Ia tahu. Ia sudah tahu hal itu bahkan ketika akhirnya ia membalikan tubuhnya dan menatap gadis berparas oriental di hadapannya.

"But even after knowing that, I'm still wanting you."
Frilla
"berani menghadapi musang macam itu... berani sekali kau, miss..."
"Nate, Nathan Harvarth."

"Michelle, sir. Michelline Fara Solathel."

"...want to be an item?"

Rasanya sudah lama tidak mengenang kejadian tersebut. Lama, lama sekali. Seakan telah lama terkubur dalam bagian paling tak terjamah dalam rongga tengkorak. Sampai-sampai ia tak lagi ingat kapan terakhir kali rekaan ulangnya terlukis dalam pikiran, hingga tanpa dinyana detik itu mendadak kilasan dirinya di masa lalu berkelebat, memeragakan dialog serupa dengan apa yang ia lakoni hampir empat tahun silam. Entah apakah seakan terpanggil oleh situasi yang tengah berlangsung saat ini, nostalgia begitu saja ramah menghampiri.

Tersenyum, Michelle membiarkan kesadarannya tenggelam dalam dunia awal mula, mengingat bagaimana ekspresi kekakuan penuh kekesalan Arvid, rupa Chucky dan potongan rambutnya saat berusia sebelas tahun dan kondisi kelas ketika itu. Hmm, dimana McG saat seorang pangeran berkuda putih mendarat ke tengah medan perang? Dan sungguh ia tidak pernah berhasil mempercayai bahwa sebuah kebetulan yang memperkenalkannya pada seorang anak laki-laki tertampan di kelas—lantas di kemudian hari menjadi pergunjingan setiap gadis di kastil—merupakan pertanda atas terjadinya perubahan hidup pada hidup gadis itu selamanya, bak kisah dongeng.

Thousands of your smile
Getting back when I look back on those days of us
Now I feel they are still calling me


Waktu itu tak sedikitpun terpikir bahwa sebuah jawaban sambil lalu yang menyambut ajakan bocah sebelas tahun untuk menjalin hubungan lebih dari sekedar teman, akan membuahkan perasaan yang begitu dalam. Siapa sangka semua bergulir begitu lancar, begitu manis, dan tanpa terasa rupanya butir waktu telah jauh meninggalkan. Mereka terpaut, mereka berbagi. Atau paling tidak salah satu sisi pernah merasakan demikian. Tadinya ia yakin tidak ada yang salah dari untaian cerita indah ini, begitu mempercayai setiap gurat ketulusan yang terperi. Namun kembali, kebetulan serupa muncul dan menghadapkan mereka pada persimpangan jalan—dan perpisahan menukik tajam.

Ya, kebetulan paling menakjubkan sekaligus ironis itu bernama Takdir.

Banyak hal yang terjadi selama nyaris satu tahun kebersamaan itu. Setiap hari bagaikan lembaran baru. Halaman kosong dalam diary untuk diisi dengan berbagai momen menyenangkan. Mulai dari hal-hal kecil hingga kejutan yang luarbiasa—tak ada yang tak berhasil menyentuh hati sang putri. Seluruhnya membekas, menyisakan banyak kenangan dalam memori. Tetapi di antara semua itu, rupanya hanya salah satu yang paling diingatnya. Karena ia bukan hanya meninggalkan jejak, namun sekaligus berhasil membenamkan setiap butiran kenangan yang lain, menyisakan kawah hitam menganga.

Looking for the word
Just a simple word
To open up closing door of my heart


Kalau saja siang itu takdir tidak begitu kejam menyuguhkan drama pengkhianatan sang pujaan hati, apakah detik ini mereka akan berada disini untuk tujuan yang berbeda? Apakah ia akan hidup dalam bayangan angan-angan dan kepalsuan setiap detik, setiap saat selama bersama dengan pemuda yang ia anggap segalanya? Ataukah pada lain kesempatan, takdir akan kembali mengunjungi untuk menghadiahkan pengungkapan dengan alternatif yang berbeda? We never knew.

Lalu apa yang akan kau kabarkan hari ini padaku, Tuan Takdir?

Ia tidak berhasil menebak perasaan dan isi pikiran pemilik tatapan manik cokelat di hadapannya tiga tahun lalu, dan juga tidak beranggapan akan dapat melakukan hal tersebut sekarang. Maka Michelle bertanya, apa yang takdir inginkan darinya, namun tentu saja tidak ada tanggapan—takdir tidak mengangkat telepon malam ini, seperti juga malam-malam yang lalu. Ia tidak pernah menjawab panggilan sang fille. Hanya mampu terpekur seorang diri bersama kuntum Anemone putih dalam genggaman, ia menghadapi hujaman kedua bola mata pemuda itu. Pemuda yang sama dengan setiap gambaran sosok dalam ingatan.

Sepertinya ia yang disodori tuntutan untuk memilih, mengulangi semuanya dari awal atau mengakhiri sampai disini. Mungkin sudah terlalu banyak tombol 'restart' tertera dalam jalinan kisahnya sampai tercipta dirinya yang sekarang. Kehilangan ingatan, kembalinya sang ayah, mengetahui keberadaan seorang adik dan menghapus jejak Crosette—setiap melalui percabangan, dan harus membuat satu keputusan ia bertekad untuk tidak lagi menoleh ke belakang atau merasa menyesal. Tidak pernah berpikir bahwa seharusnya the second option yang terpilih. Karena itulah, fondasi keyakinan menjadi hal yang mesti dibangun saat ini. Tiga tahun lalu janjinya dinodai, namun tidak akan lagi ia membiarkan untuk kedua kali, kejadian menyakitkan terulang.

Helaan napas kecil terdengar, diikuti anggukan kecil. Saat membuka mulutnya perlahan, sopran halus sang gadis memecah keheningan.

"Give me one reason."to say yes.

Let me dive into your heart once again
To try to keep our story going on
Is the key of heart
Frilla
I've been alone so many nights now
And I've been waiting for the stars to fall


Lima belas manit terpanjang dalam hidupnya. Dan keseluruhannya ia habiskan dengan terdiam menatap langit seperti orang bodoh. Mengecek arloji setiap menit, menanti jarum panjang tiba di angka dua belas. Di menit-menit terakhir pikirannya mulai semakin pelik. Puluhan kemungkinan mulai dari yang terburuk hingga yang terbaik sehingga rasanya amat mustahil untuk terjadi membanjiri benaknya. Begitu sibuknya ia dengan cerveaunya hingga hal yang ia ketahui selanjutnya adalah suara langkah di belakangnya. Dekat. Ada kemungkinan lain bahwa itu sama sekali bukan orang yang ia tunggu, memang. Bisa saja itu Filch, meskipun ia ragu karena kalau memang pak tua itu yang datang, pasti langkahnya lebih berantakan dan terlebih lagi pasti langsung berteriak marah melihat seorang siswa melanggar jam malam. Mungkin Profesor Sinistra yang tiba-tiba ada kencan romantis di bawah bintang dengan suaminya yang terhitung baru. Tapi kesunyian yang mengikuti suara langkah itu memberitahunya.

Dan tiba-tiba ia merasa yakin bahwa dia memang idiot.

Apa yang ia harapkan dengan datang ke sini, dengan mengirim bunga itu, dan pesan itu, dan... segalanya. Ia dicampakan, mencampakan. Nate dan Michelle, itu hanya mimpi. Sudah waktunya ia bangun dan menyadari hal itu. Bodoh. Tolol. Narre, dalam bahasa ibunya. Bisa-bisanya ia masih mengharapkan sesuatu yang begitu di luar jangkauannya setelah semua hal yang ia lakukan.

Nate mengepalkan tangannya. Ia ingin membalikan tubuhnya sekarang, melarikan diri dari tempatnya sekarang. Jauh dan jauh dari kenyataan. Demi Tuhan, seharusnya ia mengubur diri saja bersama mandrake-mandrake di rumah kaca. Tapi ketika ia membalikan tubuhnya dan menatap sepasang kristal cokelat yang ia rindukan. Ia merasa lebih bodoh daripada sebelumnya. Bagaimana mungkin ia bisa merasa bodoh dengan melakukan tindakan yang sama sekali tidak bodoh? Kalau kau mengerti maksud anak laki-laki itu. Dan lupakanlah persoalan mengenai sebenarnya dia idiot atau tidak, karena di depannya ada masalah yang lebih penting. She's standing there. Right in front of him, no kidding. Nate merasa nafasnya kembali tercekat, seperti yang selalu terjadi ketika ia kehilangan kata-kata. Betapa ia merindukan menatap gadis itu seperti sekarang, bukan hanya kilasan di kelas atau asrama, bukan hanya sepersekian detik di meja asrama atau lorong. Helen of Troy. Cleopatra. Neferiti. Phryne. Bathsheba. Marie Antoinette. Buat daftar nama-nama wanita di dunia ini yang dikatakan sebagai mahluk tercantik di bumi dan sisakan satu tempat untuk seorang Michelline Fara Solathel.

When you're standing here in front of me
That's when I know that God does exist


Tanpa sadar seulas senyum muncul di wajah pemuda itu. Semuanya akan baik-baik saja. Meskipun terlihat mustahil, meskipun setelah semua yang terjadi di antara mereka, kisah ini akan berakhir dengan bahagia. Nate dan Michelle. Michelle dan Nate. Berdua. Bukan hanya mimpi tapi dalam kenyataan. Happily ever after. Just like the story books.


"If you're trying to attract me into somekind of joke—this isn't funny, Harvarth."


Senyumnya hilang dalam sekejap. Tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih. Tentu saja. Sejak kapan kehidupan itu mudah dan sejalan dengan keinginannya? Tapi ia sudah sampai di sini, semua sudah terlanjur terjadi, dan ia tidak berniat untuk mundur lagi. Ia sendiri yang sudah bersumpah, demi sang putri, demi secercah harapan akan kebersamaan, apapun akan ia lakukan. Ia berharap, memohon, meminta, membutuhkan masa depan itu. Bersama menyusuri danau seperti dulu, senyum dan perbincangan yang membuat bahkan kelas paling membosankan sekalipun menjadi menyenangkan, berdua saja. Jika ia bisa mendapatkan hal itu, Nate bersumpah tidak akan pernah menginginkan hal lain. Hanya satu hal itu saja, yang ingin ia miliki.

"It wasn't meant to be funny," ujar Nate, menatap gadis itu tepat di kedua matanya. Untuk menunjukan bahwa dia serius kali ini, tanpa kebohongan. Bukankah mereka berdua sama-sama sudah muak dengan kebohongan?

And I can't imagine two worlds spinning apart,
Come together eventually


Tidak ada lelucon. Anemone, dalam bahasa bunga artinya unfading love--cinta yang tak pernah sirna. Dan Nate sungguh-sungguh merasa seperti itu. Sekalipun ia menjauh, menarik diri dari sang putri, tak pernah sekalipun ia melupakannya. Masih ada begitu besarnya rasa sayang itu hingga ia terkadang ingin mengiris-iris pemuda lain yang berada dalam radius lima meter dari sang putri. Ia tahu ia luar biasa egois, masih menganggap Michelle sebagai miliknya hingga saat ini. Tapi bukankah semua manusia memang egois? Dan malam ini, ia membulatkan tekadnya. Nate akan mendapatkan sang putri kembali. Demi Tuhan, bagaimana mungkin ia bisa merasa seperti ini, sih? Ia benar-benar rela melakukan apa saja, bahkan kalaupun harus membunuh seseorang--jangankan itu, disuruh loncat dari menara ini pun ia rela kalau itu artinya ia dan Michelle bisa kembali bersama. Kali ini ia benar-benar tidak peduli lagi pada apapun. Nate menginginkan putrinya kembali. Serius. Ia akan membunuh siapapun yang berani menghalanginya.


Tapi bagaimana jika memang sang putri yang menolak?


Lidahnya kelu. Setelah mengucapkan satu kalimat itu, Nate tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya menatap nanar gadis itu. Pedih rasanya jika berpikir bahwa ada kemungkinan Michelle menolaknya. Ia yang salah, ia tahu. Dari awal. Seandainya ia tidak melakukan semua hal di masa lalu itu... Tuhan, dia hanya bisa bermimpi ia bisa mengulang kembali sang kala. Antara harapan dan putus asa. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Apa yang harus ia katakan agar gadis itu mau melihatnnya seperti dulu? Galau, khawatir, takut, berharap.

Dan akhirnya ia tetap membisu.

But this journey, it was worth the fight
To be with you
Just to be with you
Frilla
Could it be you
Or do I lose my way?
I'm here but colorblind


—dan bukunya yang berjatuhan menimbulkan bunyi debam mengerikan, bergema di sepanjang lorong bawah tanah, menyusul ekspresi terperangah tak percaya saat sebuket besar kuntum kelopak putih disodorkan ke hadapan oleh salah seorang Slytherin tahun pertama bertubuh kecil.

Anemone.

Tapi bukan hanya itu alasan atas reaksi keterkejutan gadis jangkung dengan helaian ponytail panjang tersebut pada senja seusai pelajaran, suatu hari di awal musim semi. Isi pesan yang tertera bersama rangkaian bunga tersebut, beserta tulisan tangan sang pengirim—sekalipun tidak mengukirkan nama—merupakan penyebab utama menggelegaknya suatu perasaan yang sudah lama terkubur dalam-dalam. Ia sendiri tak yakin apakah harapan adalah tanggapan tepat untuk menyambut situasi yang tengah dihadapi, namun nampaknya kuasa menjawab sudah disabotase hati.

Beribu sanggahan yang berusaha digalinya sembari menghabiskan sisa hari dengan peringai gelisah tidak juga berhasil menyumpal. Setelah menghabiskan potongan burger pada jam makan malam dengan berusaha keras menahan gerak bola mata untuk tidak melirik ke salah satu arah, ia buru-buru ambil langkah seribu untuk memendam diri dalam kamar, memandangi langit-langit rendah sambil duduk bersila di atas tempat tidur berlapis selimut zamrud. Sebelah tangannya mengelus tengkuk Azure yang meringkuk dalam pangkuan, dan sudah tak terhitung berapa kali helaan napas terdengar selama hal ini berlangsung.

Another 03.16.1979

Tidak mungkin Santa Klaus begitu baik bersedia mengabulkan permintaan hadiah Natal konyol yang ia jejalkan ke dalam kaus kaki di perapian beberapa bulan lalu.

Close my eyes
I try to hide
I'm listening to my voice inside
What's on to tell me right or wrong


Pandangannya kembali mengerling pada seikat Anemone yang teronggok di sisi—kini tengah diendus oleh si kucing pandai dan selalu ingin tahu—untuk memastikan bahwa benda pemberian itu bukan ilusi semata. Perlahan jemari tangannya yang bebas menelusuri bagian-bagian bunga cantik tersebut, menyentuh tangkai, daun, mahkota, kemudian menghirup aroma lembut yang menguar ketika ia mendekatkan buket itu. Oke, wujudnya mungkin riil, nyata. Lantas bagaimana dengan maknanya? Unfading love—cinta yang tidak pudar—dia ingin Michelle mempercayai bahwa sejak awal rasa itu pernah ada, setelah semua yang dilakukannya?

Dilematis. Pemikiran yang membuat ia ingin berteriak histeris kalau saja tidak khawatir anak-anak perempuan di luar, seperti Sienna dan Laffy khususnya, akan segera berhamburan masuk untuk mencari tahu apa ada Banshee muncul di dalam kamar mereka. Di satu sisi kenyataan bahwa sang pangeran pernah mengkhianati; menolak, mencampakkan, telah sukses meninggalkan lubang besar pada rongga dada. Tapi tentu bagian lain dari dirinya segera menegaskan bahwa selamanya tak ada seorangpun mampu mengobati lubang tersebut, tak ada seorangpun yang lebih ia harapkan kehadirannya untuk kembali mengisi, kecuali orang yang bersangkutan.

Dan kenyataan jelas mengungkap bahwa keinginan untuk menutup kembali koyakan luka itu tak putus-putus selalu ia panjatkan. Hanya saja kini setelah kesempatan itu menganga, ketakutan mengalami rasa sakit yang lebih besar justru menghampiri. Membuatnya terlalu pengecut untuk bangkit dan memacu langkah. Bagaimana kalau semua ini hanyalah serangkaian permainan lain yang sengaja dirancang? Bagaimana kalau lagi-lagi ia dijebak dalam kenaifan untuk mengucap ikrar? Ia memang tidak pernah menyesali diri yang pernah menjanjikan segalanya pada sang kekasih, tidak sekalipun. Namun siapa yang membuatnya harus menelan kembali semua dalam kepahitan?

So leave the past behind
I only wanna feel the sunlight stop the fight and see it in your eyes
Wish I just knew what I should do


Bagaimanapun hanya ada satu cara untuk mengendus sisa-sisa ketulusan.

Maka disanalah kakinya terpancang. Di hadapan portal yang akan menghubungkannya ke dunia lain—dunia dimana hanya mereka berdua yang bermukim. Nate dan Michelle. Michelle dan Nate. Dunia milik mereka, tiga tahun silam. Sekalipun sebisa mungkin berlambat-lambat selama perjalanan meniti tangga menuju ke menara ini, tetap saja ia tiba lebih awal. Lima menit sebelum waktu perjanjian, demikian jam sakunya mengabarkan.

Gerakannya terhenti saat merapatkan sweater abu-abu yang tersampir di atas kaus lengan panjang putih dan twirly skirt biru muda selutut, karena menyadari tanpa bermaksud sengaja telah mengenakan peninggalan milik pemuda yang akan ia temui sesaat lagi. Tidak mungkin ditanggalkan sekarang, apa boleh buat. Ia mendengus, memejamkan mata, kemudian menarik napas dalam-dalam—berusaha mengendalikan degup yang berdentum, entah karena habis melanglang dari bagian terendah hingga tertinggi kastil, atau faktor lain. Diabaikannya cekat yang bercokol di faring, dan tangannya memutar gagang pintu menuju ruangan kelas Astronomi.

This is it.

Ruangan yang sama. Dengan langit bertabur bintang yang tak ubahnya serupa. Dan tatapan dari manik pekat berwarna identik dengan miliknya, menghujam dari sosok yang bersandar pada selusur jendela. Detik berjalan enggan, lambat-lambat merangkak dalam keremangan di bawah siraman kubah titik keperakan, tatkala kedua insan saling menyapa dalam geming. Sang tuan putri yang lantas memalingkan wajah, sementara kedua mary-jane menimbulkan ketukan ringan pada permukaan lantai. Menghantarkannya merekat bentangan jarak. Sampai kira-kira satu meter tertinggal, ia mendongak untuk kembali mendaratkan pandang pada gurat familiar di hadapan. Jauh lebih kacau, perasaannya, di banding sekuali ramuan yang tengah meletup.

"If you're trying to attract me into somekind of joke—this," uraian gelombang cokelatnya yang tergerai hingga mencampai pinggang berkilauan tertimpa cahaya, ketika genggaman kiri fille berdarah campuran itu mengacungkan buket Anemone kepada pengirimnya. "isn't funny, Harvarth." Oke, ia berhasil. Tidak ada emosi yang boleh bergerak sebelum logika berbicara. Hanya saja, aneh menyadari alih-alih menuntut, nada suara dan sorot mata gadis itu justru menyiratkan harapan dan kerinduan yang mendalam seolah mengatakan—"Mengapa baru sekarang?"

Because as long as you wish for it,
the promise will always be there.


Maybe it is me
Used to plan to see that it's you
For everything I am, everything I need, lies in you
Frilla
On the day I couldn’t see
my heart I felt insecure
The meaning of loving somebody
it’s something I decide myself


Detik, menit, jam. Waktu memang sudah ditakdirkan untuk berjalan dan tidak ada kehendak dari siapapun yang bisa menghentikannya. Layaknya butir jam pasir yang terus jatuh, kehidupan juga terus bergulir. Meskipun tiada detik yang tidak ia lewati tanpa penyesalan. Seakan seluruh perbuatannnya bertahun-tahun ini adalah kesalahan, hanya tersisa rasa sesal yang membuncah dan harapan untuk memutar kembali sang waktu. Tapi kala yang hilang juga telah menjadi gurunya. Dan kini Nathan Kehl Harvarth akan memperbaiki salah satu kesalahannya.

Pukul sembilan lewat lima puluh lima menit. Sepuluh menit berlalu sejak anak laki-laki itu tiba di menara. Setelah melewatkan musim dingin di Norwegia yang suhunya mencapai minus dua puluh derajat tahun ini, Nate sanggup ke luar di malam hari hanya dengan berlapis sweater putih tidak seberapa tebal di atas kemejanya. Meskipun memang hangat yang dibawa musim semi sudah mulai mencairkan salju di luar. Anak laki-laki itu berdiri dalam diam. Manik cokelatnya menatap pemandangan di luar jendela yang dari ketinggiannya sekarang, hanya tampak seperti dataran hampa, siap dipenuhi benih-benih baru keesokan hari, berkilauan dalam temaram rembulan. Rasa antisipasi menjalar ke tengkuknya. Bukan gelap malam yang menjadi musuhnya, bukan angin yang membuatnya gemetar. Degup yang sama, bukan, lebih menegangkan daripada saat mengejar kemahsyuran di lapangan quidditch. Mengejar dan menangkap snitch. Dan kali ini juga.


“You've been terribly chipper these days. May I ask what merits the occasion?”
“A game. The most important match in my life.”



Tiga tahun, kurang lebih. Siapa yang bisa percaya selama waktu itu hidupnya ia habiskan dalam sebuah dunia khayal. Curiga dan dengki, tak percaya bahwa ada artinya ia dilahirkan. Berpikir selamanya ia ditakdirkan berada dalam kegelapan, sendiri karena tidak ia tidak pantas untuk didampingi. Menatap penuh rindu apa yang ia pikir bukan untuknya. Sulit dipercaya begitu bodohnya otak yang selama ini ia banggakan itu. Andai saja dari awal ia bisa melihat dengan mata yang benar-benar terbuka, Nate tahu hidupnya sebenarnya sudah sempurna dari awal. Tapi dia telah mengacaukannya, dengan tangannya sendiri. Dan penyesalan yang seperti apapun tidak akan cukup untuk menghapus kebodohan yang telah dilakukannya.

Tapi ia masih bisa memperbaikinya bukan? Ia harap... masih. Dan dengan setitik harapan itulah, ia berdiri di tempat itu. Menunggu akan datangnya sang putri. Kalau itu masih mungkin. Tiga tahun penghindaran, sesak dan tersakiti namun tahu bahwa itu adalah yang terbaik untuk orang yang begitu berarti. Nate tidak peduli betapa sakitnya penderitaan yang harus ia rasakan. Anything for her happiness, anything. Tapi tampaknya justru sebaliknya. Nate telah menyakiti, melukai hati gadis itu. Ia tidak yakin, apakah kata-katanya, tindakannya, bisa membuat sang putri kembali menatapnya seperti dahulu. Hatinya terus memanggil, berdenyut untuk satu kemungkinan kecil. Bahwa apa yang dikatakan oleh gadis itu... pengakuan yang begitu tulus itu, masih ada. Masih nyata. Meskipun Nate sendiri yang sudah mencabik kepercayaan dan harapan. Ia berharap, meminta, memohon, agar setidaknya, belum terlambat baginya. Untuk jujur pada perasaannya, untuk jujur pada orang yang dikasihinya. Untuk mendapatkan kembali apa yang telah hilang. Sekalipun ia harus menjual jiwanya sekalipun.


Satu menit.

Tinggal enam puluh detik lagi.


Gemetar. Bagaimana seandainya semua harapan yang dipegangnya selama ini hanyalah kepalsuan belaka? Seandainya ia tidak datang. Apa lagi yang bisa diharapkannya sesudah itu? Hancur. Lebur. Ucapkan selamat tinggal pada Nathan Kehl Harvarth. Gemetar. Seandainya, seandainya janji itu palsu, terlupakan. Apa lagi yang bisa ia percayai? Ia tidak berpikir sejauh itu sebelumnya. Belum terlambat baginya untuk pergi. Lebih baik ia tidak tahu daripada harus mengetahui kebenaran yang menyakiti. Kakinya ingin membawanya lari dari sana. Secepatnya pergi dari tempat itu, ikrar yang pertama. Sumpah selamanya. Mereka, berdua. Tanpa orang lain. Dan ia ingat saat itu. Seakan baru, seakan tidak pernah terlewati. Saat ia percaya bahwa segalanya sempurna, karena mereka berdua, dan itu cukup. Untuknya, untuk mereka, untuk dunia. Percaya. Harapan. Janji. Kasih. Kemana perginya hal-hal itu selama ini? Apa ia yakin akan membuang mereka sekali lagi, tanpa pernah mempelajari bagaimana perasaan sang putri sebelumnya.

Ingin tertawa, ingin menangis. Kakinya tak sanggup melangkah, tubuhnya bersandar pada bingkai jendela. Malam itu juga cerah seperti saat ini. Bintang-bintang menjadi saksi dari ikrar rahasia mereka. Berdua. Dua. Dua. Tanpa orang lain. Tuhan, betapa ia menginginkan semua itu kembali. Perasaan memuncah ini, tak bisa ditahan. Biarkanlah. Betapapun sakitnya kebenaran. Selama itu yang diinginkan oleh sang putri. Nate menerimanya. Apapun konsekuensinya. Dan Nate menyadari betul posisinya sekarang. Seorang manusia. Merasa, menginginkan, mempercayai, mengharapkan. Sakit, kecewa, sedih, senang, bahagia. Ia tidak peduli, sekalipun kali ini yang diterimanya adalah penolakan. Ketidakhadiran, muak. Nate... akan menerimanya. Meskipun, setitik harapan itu tidak pernah hilang.

Three years ago, I gave you a proposal.
Tonight, I'm offering you my hope.



I promise you, I won’t wander off anymore
I’ll be strong...and prove myself to you
I won’t run away, I’ll turn around to face you
so I can see how you feel