Frilla
"Sudah musim semi, ya."

Gadis itu tersenyum kecil, menoleh pada seorang lain yang melangkah di sisinya. Bola mata cokelatnya berkilau, memantulkan cahaya matahari yang agak redup karena terhalang kabut senja. Sesaat pandangannya bertemu dengan bola mata dengan warna senada, milik ia yang kemudian balas berujar,

“Hm…”

Sang pemuda mengiyakan perkataan gadis di sampingnya tanpa benar-benar mengatakan apa-apa. Hanya membalas senyum si gadis dengan cengiran lebar—pelan-pelan meraih tangan miliknya dan digenggamnya lembut seiring dengan langkah mereka.

“Michelle suka musim semi?”

Dia yang dipanggil 'Michelle' nampak mengangguk. Sesaat ia mengalihkan pandangannya dari pemuda di sampingnya ke arah lain; ke suatu titik pada permukaan danau di kejauhan.

"Lebih suka musim gugur—tapi oh well, setidaknya danaunya tidak membeku."

Apa yang ia lakukan?

Alone for a while I've been searching through the dark
For traces of the love you left inside my lonely heart—

Tidak pernah berubah, permukaan danau hitam selalu setengah membeku saat musim dingin. Sinar matahari senja terpantul di beberapa bagiannya, menimbulkan semburat warna teduh yang lembut. Kini tanah di sekitarnya terselimuti bantalan tebal salju, tanpa sedikitpun mengizinkan sepetak tanah kecoklatan masih menyembul dari antaranya. Santa pasti tidak sabar ingin mendekorasi hari pertunjukannya dengan putih salju, yang seakan menghapus segala kekotoran dunia dengan tiap serpihannya. Minggu terakhir di awal musim dingin, beberapa hari sebelum Natal. Benar-benar waktu yang tepat untuk membangkitkan kembali ingatan yang serasa sudah lama sekali. How nostalgic.

Uap putih mengepul dari napas yang ia hembuskan. Dingin—tak diragukan lagi. Semestinya ia tidak berada di tempat semacam ini; bukankah ia tak menyukai sensasi ketika ujung-ujung jemari kakinya mati rasa? Namun toh kenyataannya ia tidak mendekam di ruang rekreasi asramanya, menikmati secangkir teh panas di depan perapian... ah. Entah mengapa. Langkah kakinya yang terbungkus sepatu boot tebal—dengan warna yang tak jauh berbeda jika disandingkan dengan timbunan salju yang mengitarinya—meninggalkan jejak-jejak berpola di sepanjang tepi danau. Kepalanya yang sejak tadi tertunduk kini sedikit terangkat, menengadah.

—to weave by picking up the pieces that remain
Melodies of life—love's lost refrain

Sepi sekali.

Tentu, siapa yang mau berkeliaran di luar pada cuaca seperti ini?—kalau bukan seseorang dengan kesadaran yang nyaris melewati batas seperti dirinya. Kenapa? Pertanyaan semudah itu entah mengapa sangat manjur untuk membuatnya tidak berkutik. Seharusnya bukan masalah besar bagi orang lain. Seharusnya dapat dilupakan dengan mudah oleh orang lain. Lantas, kenapa tidak dengan dirinya? Blank. Michelle tidak dapat menjawab pertanyaan itu, alasan apa yang sebetulnya membuat dirinya kerapkali berkutat dengan perasaan yang sama. Tidak mengerti, sampai kapanpun hanya itu yang dapat ia mengerti.

Langkahnya terhenti. Perlahan ia memutar tubuhnya dan menghadap ke tepi danau. Kabut mulai turun mendekati permukaannya, sementara matahari nampak semakin lemah termakan pekat awan di sisi lain, jauh di seberang sana. Mulai gelap. Sesaat ia menggigil, membuatnya harus memeluk kedua lengannya sendiri. Aneh, tahun lalu ia tidak perlu menghangatkan diri. Tahun lalu ia tidak merasakan bibirnya pecah-pecah, dingin dan tanpa dilihatpun ia tahu warnanya sudah sepucat warna ungu violet. Tahun lalu... ia tidak seorang diri, ia tidak diam dan dihinggapi perasaan yang penuh kecamuk seperti yang ia rasakan sekarang saat memandangi danau.

Tidak ada yang berubah, right.

Our paths they did cross, though I cannot say just why
We met, we laughed, we held on fast, and then we said goodbye
And who'll hear the echoes of stories never told?

Saat itu, untuk kedua kali dalam hidupnya sebuah pertanyaan yang sama muncul di dalam benaknya. Bagaimana rasanya kematian? Mengapa ia merasa begitu dekat, seakan ada sesuatu tak nampak yang menariknya ke dalam lubang tersebut. Begitu menggoda, menjanjikannya dengan hal-hal yang terbayang sangat indah dan jauh lebih baik daripada apa yang dapat ia peroleh di dunia—baik dunia Muggle, maupun sihir. Napas yang dihelanya semakin berat, matanya terpejam. Kakinya kembali melangkah—lurus ke depan. Benar, ia sudah pernah hilang ingatan sekali, ia sudah pernah terselamatkan dari maut sekali.

Ketika Michelle mendapatkan kembali kendali atas tubuhnya, sebagian besar ruas-ruasnya sudah mati rasa. Tidak lagi terasa dingin, tidak terasa sakit—tidak terasa apa-apa. Hanya ada perasaan nyaman dan ringan. Air sudah mencapai tinggi pelupuk matanya; ketika alih-alih berusaha meronta atau berbalik, ia terus maju. Seakan suatu magnet yang ganjil tengah menariknya untuk berjalan lebih jauh ke kedalaman di bawah permukaan danau hitam, atau ada rantai tak terlihat kini mencengkram pergelangan kakinya. Tentu, padahal ia tahu dengan jelas—

—ia tidak bisa berenang.

Let them ring out loud till they unfold...
0 Responses