Just too many barriers
That we keep running into
Been tryin', but we just can't break through
5 tahun yang lalu, keadaannya mirip seperti ini. Malam di pertengahan musim dingin, salju turun lebat menutupi semua pemandangan dengan kasih putihnya yang semu. Ia ingat sosok masa lalunya yang saat itu berumur delapan tahun sedang bermain dengan sapu terbang mainannya. Desingan lucu mengiringi perjalanannya mengelilingi kamar tidurnya yang cukup luas. Sebelum ia berhenti mendadak karena suara keras yang membuatnya terjatuh. Suara pintu ruang kerja ayahnya yang dibanting dengan luapan amarah, sekarang ia tahu hal itu. Tapi sosok kecilnya tidak tahu dan ingin mencari tahu. Waktu menunjukan pukul lima sore—ia ingat betul. Waktu yang dipilih ibunya untuk menyisip teh sambil membaca buku di ruang keluarga. Sehingga pada waktu itu ia yang merengut karena terjatuh memutuskan untuk bertanya mengenai suara keras itu pada ibunya yang tidak perlu dicari.
Nate kecil menghampiri wanita berambut keemasan yang sedang terhenyak di sebuah kursi bewarna safir. Baki berisi teh dan kue-kuehan tampak belum di sentuh sama sekali. Pada waktu itu seharusnya ia tahu bahwa ada yang tidak beres—tapi mana bisa anak kecil membaca tanda-tanda? Senyum lebar menghiasi wajah manis anak laki-laki itu saat ia menghampiri sang ibu dan bertanya mengenai suara tadi. Orang yang ditanya mengangkat wajahnya, sisa-sisa air mata masih tampak. Bahkan dirinya yang waktu itu sudah bisa melihat ada sesuatu yang aneh. Sosok kecil itu menyentuh tangan sang ibu, hendak bertanya. Tapi bukan jawaban yang didapatnya, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanannya—ia yang tidak menduga sama sekali, kehilangan keseimbangan dan jatuh menabrak meja teh. Nate bisa mengingat kejadian itu dengan jelas seolah baru kemarin. Sakit yang ia rasakan di pipinya tidak sebanding dengan rasa terluka ketika ibu yang amat disayanginya memukulnya. Sebuah tatapan tidak percaya dan pertanyaan terlontar darinya, ia masih tidak ingin percaya bahwa ibunya tega memukul dan menatapnya dengan pandangan penuh kebencian yang menusuk ulu hatinya. Wanita itu membuka mulut—mengucapkan dua hal yang mengubah segalanya dengan suara bergetar.
You are no son of mine.
I wish you were never born.
Lima tahun dan bekas pernyataan itu masih terasa. Ia pergi, ingin meninggalkan bayangan sang ibu jauh di belakangnya. Karena—bukankah selama ini ibu menyayanginya? Meskipun Nate yang sekarang tahu, semuanya hanya sandiwara semata. Anak kecil itu berlari mencari kenyataan, dan siapa yang bisa mengalahkan ayahnya dalam pengetahuan? Pikirnya waktu itu, berjinjit untuk meraih pegangan pintu besar ke kamar ayahnya. Terkunci. Padahal tempat itu selalu terbuka untuk Nate, sekalipun ayahnya sedang sibuk sekalipun—ia akan mengizinkan Nate untuk masuk meski hanya memberi tahu bahwa ia tidak bisa diganggu.
Badai datang—tangisan salju semakin deras, tapi Nate masih terpaku di depan pintu besar itu. Seolah tersesat kehilangan arah. Rumah tempat bermainnya selama ini mendadak asing dan terlalu besar untuknya. Ia putus asa dan ketakutan. Jadi dicobanya mengetuk pintu—tak ada jawaban, semakin keras dan semakin keras—tetap tidak ada jawaban meski hanya satu kata. Rasa sakit karena ditinggalkan itu masih ada. Takut dan perasaan terbuang bermain-main di hatinya. Tapi ia yang dulu masih ingin berharap, masih ingin mempertahankan keadaan yang lama. Jadi dia kembali berlari—lukisan di koridor terdiam ketika melihatnya, padahal Nate biasa bercengkrama dengan mereka. Tapi semuanya membisu dan anak itu bisa membayankan tatapan prihatin menyorotnya dari segala arah. Ini tidak benar. Pikirnya saat itu—ketika ia berlari ke kamar kakak pertamanya. Dipikirnya Miranda pasti bisa memberikan kenyataan padanya. Pasti bisa membuat segala keresahannya ini pergi.
Pintu terbuka dan ia masuk. Gadis berumur sekitar tujuh belas tahun itu tampak seperti biasa dan sesaat Nate tampak tenang. Mungkin yang tadi terjadi hanyalah mimpi buruk. Nate bercerita—mengatakan apa yang dikatakan oleh wanita yang masih ia anggap ibu beberapa saat yang lalu. Kemudian terdiam, menunggu kata-kata lembut dari sang kakak. Tapi apa yang diharapkannya tidak pernah datang. Tatapan jijik dan langkah mundur justrulah yang diberikan padanya.
I knew it, I was right.
Angin yang berhembus terasa lebih dingin daripada tadi—dan itu mengatakan sesuatu. Atau mungkin itu hanya perasaannya saja. Demi Merlin, dia benci musim salju. Kelam dan suram, seolah segala petaka akan tiba saat ini juga. Ia tidak menanggapi lagi kata-kata anak kelas satu yang dipanggilnya kurcaci tadi. Atau siapapun yang berbicara lagi setelahnya. Entah tidak ingin atau tidak bisa. Tapi saat pikirannya dipenuhi hal-hal lain, mungkin hal itu wajar.
"Having fun, dear?"
Ada kalanya ia merasa dipermainkan, ada kalanya ia merasa dibodoh-bodohi oleh Sang Pencipta dan sekarang adalah salah satu dari kala itu. Suara itu terasa lebih menusuk daripada angin musim dingin. Itu kata-katanya. Tidak pernah ia bayangkan kondisinya bisa terbalik begini—tapi mungkin seharusnya dia sudah bisa menebak. Atau tidak? Tapi ia tidak bisa menerimanya. Keadaan berbalik, berarti keunggulan berbalik. Tidak juga, ya. Sejak awal dia memang sudah kalah. Ia hanya terperosok semakin dalam—miris rasanya. Bahkan untuk menolehkan kepalanya saja ia tak kuasa. Ia merasa seperti tenggelam, berusaha menggapai cahaya di atasnya namun terus ditarik oleh sesuatu yang berada di bawahnya. Bagaimana sulitnya menahan diri untuk tidak merengkuh sesuatu yang paling disayanginya namun tahu tidak pantas untuk melakukan itu, Nate merasakannya lebih dari siapapun.
This mountain we've been trying to climb
It's never ending
Just can't do nothing
Sebelas tahun dan masih belum berpikir jauh ke dapan. Baru merasakan kebebasan setelah lepas dari penjara yang membelenggunya. Ia senang—ia gembira dengan keadaannya yang baru. Masih dinaungi euforia kebebasan ia melupakan hakikat dirinya. Bertingkah tanpa pikir panjang, berbuat ini dan itu tanpa memikirkan efek yang akan ditimbulkannya. Lalu ia menemukannya. Sosok yang membuatnya tertawa lepas seakan dunia hanya milik mereka. Dia yang mau menerima Nate begitu saja di saat bahkan keluarganya sendiri hanya memandangnya sebelah mata. Itu sebuah kesalahan—karena Nate tahu ia tidak pantas untuk mendapatkan gadis itu. Ia menyesal telah jatuh. Ia menyesal telah menjadi beban untuk sang maiden. Tapi ia tidak menyesal untuk semua yang telah mereka lewati bersama. Meskipun kini ia lelah merasa karena sakit yang terus menerus ketika harus melepasnya—ia tidak menyesal. Untuk membalas semua kebahagiaan yang pernah diberikan gadis itu padanya—ia rela meskipun harus menjual nyawanya pada setan sekalipun.
”Aku juga sayang, kok.”
Manusia, benar-benar mahluk yang kompleks. Berapa kalipun ia pikirkan, tetap saja ia tidak bisa mengerti. Jangankan keseluruhan mahluk bernama manusia, bahkan dirinya sendiri pun tidak bisa ia mengerti walaupun hanya setengahnya saja. Bagaimana sebagian dirinya ingin mengorbankan apa saja, apa saja yang ia miliki demi dapat kembali mengulang masa-masa bersama sang putri dan sebagian lagi yang tahu betapa tidak pantasnya keinginan itu—betapa rendah dirinya jika disandingkan oleh sang maiden, betapa ia tahu bahwa ia tidak bisa memberikan hal yang layak padanya. Dipikirkan terus pun penyelesaiannya tidak kunjung datang. Jadi dia memutuskan untuk menyingkirkan keinginan yang ia anggap egois itu. Memberikan yang terbaik untuk kebahagiaan sang putri—pangeran manapun akan melakukan hal itu.
Nate membalikan tubuhnya—menoleh ke sang putri yang berada dalam jarak yan begitu dekat hingga untuk sesaat Nate merasa bisa meraihnya. Ia menatap dalam-dalam kristal kecokelatan yang berkali-kali ia kagumi keelokannya. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman culas yang tidak pernah ingin ia berikan pada gadis di depannya jika keadaannya tidak seperti ini. Kepalanya terangkat angkuh saat ia menyenderkan tubuhnya ke pagar jembatan—meletakan tangannya di atas benda kokoh itu dengan posisi santai. Andai saja ada mantra untuk kembali ke masa lalu. Ia ingin menjawab pertanyaan yang terdengar menusuk itu, memberikan kalimat balasan yang bisa membuat sang gadis membencinya meskipun yang ia ingin lakukan hanyalah mengaitkan jemari mereka seperti dua tahun yang lalu. Ia dikalahkan oleh seseorang ternyata, ”Selamat malam Michelle. Sudah lama sekali sejak kita terakhir kali bertemu."
Too many locks, too many crimes
Too many tears, too many lies
Too many barriers
Pernahkah kau merasa hidupmu tidak akan bisa lebih buruk lagi? Nate pernah. Kalau kau berasal dari Norwegia atau setidaknya, tahu mengenai kisah-kisah Norse, mungkin pernah mendengar kisah mengenai Sigurd yang mengalahkan Fafnir? Dan tidakkah kehidupannya semakin lama semakin terlihat seperti kisah sang pahlawan yang membawa shieldmaiden keluar dari lingkaran api? Dan kini babak kehidupannya mungkin sudah sampai pada adegan pertikaian antara Gudrun dan Brynhild. Demi Merlin, jangan bilang hal yang terakhir terjadi padanya adalah ia mati dibunuh pacar baru Michelle. Ia tidak sudi. Meskipun Nate tidak keberatan untuk mati sekarang—tidak seperti ada penyesalan lagi di dunia ini. Saat ia tidak memiliki apa-apa lagi, pergi ke ketiadaan juga tidak ada bedanya. Mungkinkah segalanya akan berbeda jika pertanyaannya dulu terjawab? Jika sang putri berbicara padanya, mengatakan tidak akan pernah mengkhianati janjinya—akankah segalanya berbeda? Nate tidak tahu pasti—tapi itu akan membuatnya lebih kesulitan lagi untuk merelakannya. Seharusnya ia berterima kasih, karena dengan jawaban bisu itu... ia tahu bahwa sang putri ternyata tidak menginginkannya.
”Sudah kenal dengan Michelle, Arietta?” tanyanya dengan senyum menghiasi sudut wajahnya, sengaja mengalihkan pandangannya dari gadis berdarah Korea ke gadis di dekatnya.
Bisakah Michelle melihat isyarat yang tidak terucapkan oleh sang pangeran? Sadarkah betapapun terlihat santainya Nate, buku jarinya memutih karena tangannya mengepal sedemikian eratnya. Sadarkah meskipun ia tersenyum, matanya tidak memperlihatkan kebahagiaan. Lihatkah betapapun tegarnya ia berdiri, kakinya terasa lemas karena terlalu lama berdiri mengharapkan rembulan. Lihatkah meskipun ia mendengarkan melodi alam dan ucapan semua orang, yang diharapkan indera pendengarannya hanya suara sopran yang dengan lancang terpatri di ingatannya meski tak ingin. Sadarkah, meskipun semua hal yang terjadi—hatinya masih memberikan isyarat untuk terus mencinta?
Hanya lewat isyarat ini—
ia bisa berkata jujur.
Kasih ini masih ada, untukmu seorang.
”Kami bersenang-senang, mau bergabung?” jawabnya bernada biasa dengan pertanyaan lain—kembali mengerling gadis berambut ikal panjang itu. Kepalanya kembali terasa pening, hal yang selalu terjadi ketika stress mulai merayap masuk ke dalam dirinya. Tangannya menyentuh pelipisnya—meskipun tidak cukup lama untuk membuat orang pasti mengenai sakit yang terasa. Nate meneruskan lagi, masih dengan kepala terangkat dan senyum angkuh yang sama, ”Kau sudah kenal dengan semuanya, Michelle? Arietta, kau sudah kenal, ya. Yang ini Alvera—dan satu lagi... siapa namamu, miss?”
I know I'm gonna keep wishing I was with you
But we just gotta stop
That we keep running into
Been tryin', but we just can't break through
5 tahun yang lalu, keadaannya mirip seperti ini. Malam di pertengahan musim dingin, salju turun lebat menutupi semua pemandangan dengan kasih putihnya yang semu. Ia ingat sosok masa lalunya yang saat itu berumur delapan tahun sedang bermain dengan sapu terbang mainannya. Desingan lucu mengiringi perjalanannya mengelilingi kamar tidurnya yang cukup luas. Sebelum ia berhenti mendadak karena suara keras yang membuatnya terjatuh. Suara pintu ruang kerja ayahnya yang dibanting dengan luapan amarah, sekarang ia tahu hal itu. Tapi sosok kecilnya tidak tahu dan ingin mencari tahu. Waktu menunjukan pukul lima sore—ia ingat betul. Waktu yang dipilih ibunya untuk menyisip teh sambil membaca buku di ruang keluarga. Sehingga pada waktu itu ia yang merengut karena terjatuh memutuskan untuk bertanya mengenai suara keras itu pada ibunya yang tidak perlu dicari.
Nate kecil menghampiri wanita berambut keemasan yang sedang terhenyak di sebuah kursi bewarna safir. Baki berisi teh dan kue-kuehan tampak belum di sentuh sama sekali. Pada waktu itu seharusnya ia tahu bahwa ada yang tidak beres—tapi mana bisa anak kecil membaca tanda-tanda? Senyum lebar menghiasi wajah manis anak laki-laki itu saat ia menghampiri sang ibu dan bertanya mengenai suara tadi. Orang yang ditanya mengangkat wajahnya, sisa-sisa air mata masih tampak. Bahkan dirinya yang waktu itu sudah bisa melihat ada sesuatu yang aneh. Sosok kecil itu menyentuh tangan sang ibu, hendak bertanya. Tapi bukan jawaban yang didapatnya, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanannya—ia yang tidak menduga sama sekali, kehilangan keseimbangan dan jatuh menabrak meja teh. Nate bisa mengingat kejadian itu dengan jelas seolah baru kemarin. Sakit yang ia rasakan di pipinya tidak sebanding dengan rasa terluka ketika ibu yang amat disayanginya memukulnya. Sebuah tatapan tidak percaya dan pertanyaan terlontar darinya, ia masih tidak ingin percaya bahwa ibunya tega memukul dan menatapnya dengan pandangan penuh kebencian yang menusuk ulu hatinya. Wanita itu membuka mulut—mengucapkan dua hal yang mengubah segalanya dengan suara bergetar.
You are no son of mine.
I wish you were never born.
Lima tahun dan bekas pernyataan itu masih terasa. Ia pergi, ingin meninggalkan bayangan sang ibu jauh di belakangnya. Karena—bukankah selama ini ibu menyayanginya? Meskipun Nate yang sekarang tahu, semuanya hanya sandiwara semata. Anak kecil itu berlari mencari kenyataan, dan siapa yang bisa mengalahkan ayahnya dalam pengetahuan? Pikirnya waktu itu, berjinjit untuk meraih pegangan pintu besar ke kamar ayahnya. Terkunci. Padahal tempat itu selalu terbuka untuk Nate, sekalipun ayahnya sedang sibuk sekalipun—ia akan mengizinkan Nate untuk masuk meski hanya memberi tahu bahwa ia tidak bisa diganggu.
Badai datang—tangisan salju semakin deras, tapi Nate masih terpaku di depan pintu besar itu. Seolah tersesat kehilangan arah. Rumah tempat bermainnya selama ini mendadak asing dan terlalu besar untuknya. Ia putus asa dan ketakutan. Jadi dicobanya mengetuk pintu—tak ada jawaban, semakin keras dan semakin keras—tetap tidak ada jawaban meski hanya satu kata. Rasa sakit karena ditinggalkan itu masih ada. Takut dan perasaan terbuang bermain-main di hatinya. Tapi ia yang dulu masih ingin berharap, masih ingin mempertahankan keadaan yang lama. Jadi dia kembali berlari—lukisan di koridor terdiam ketika melihatnya, padahal Nate biasa bercengkrama dengan mereka. Tapi semuanya membisu dan anak itu bisa membayankan tatapan prihatin menyorotnya dari segala arah. Ini tidak benar. Pikirnya saat itu—ketika ia berlari ke kamar kakak pertamanya. Dipikirnya Miranda pasti bisa memberikan kenyataan padanya. Pasti bisa membuat segala keresahannya ini pergi.
Pintu terbuka dan ia masuk. Gadis berumur sekitar tujuh belas tahun itu tampak seperti biasa dan sesaat Nate tampak tenang. Mungkin yang tadi terjadi hanyalah mimpi buruk. Nate bercerita—mengatakan apa yang dikatakan oleh wanita yang masih ia anggap ibu beberapa saat yang lalu. Kemudian terdiam, menunggu kata-kata lembut dari sang kakak. Tapi apa yang diharapkannya tidak pernah datang. Tatapan jijik dan langkah mundur justrulah yang diberikan padanya.
I knew it, I was right.
Angin yang berhembus terasa lebih dingin daripada tadi—dan itu mengatakan sesuatu. Atau mungkin itu hanya perasaannya saja. Demi Merlin, dia benci musim salju. Kelam dan suram, seolah segala petaka akan tiba saat ini juga. Ia tidak menanggapi lagi kata-kata anak kelas satu yang dipanggilnya kurcaci tadi. Atau siapapun yang berbicara lagi setelahnya. Entah tidak ingin atau tidak bisa. Tapi saat pikirannya dipenuhi hal-hal lain, mungkin hal itu wajar.
"Having fun, dear?"
Ada kalanya ia merasa dipermainkan, ada kalanya ia merasa dibodoh-bodohi oleh Sang Pencipta dan sekarang adalah salah satu dari kala itu. Suara itu terasa lebih menusuk daripada angin musim dingin. Itu kata-katanya. Tidak pernah ia bayangkan kondisinya bisa terbalik begini—tapi mungkin seharusnya dia sudah bisa menebak. Atau tidak? Tapi ia tidak bisa menerimanya. Keadaan berbalik, berarti keunggulan berbalik. Tidak juga, ya. Sejak awal dia memang sudah kalah. Ia hanya terperosok semakin dalam—miris rasanya. Bahkan untuk menolehkan kepalanya saja ia tak kuasa. Ia merasa seperti tenggelam, berusaha menggapai cahaya di atasnya namun terus ditarik oleh sesuatu yang berada di bawahnya. Bagaimana sulitnya menahan diri untuk tidak merengkuh sesuatu yang paling disayanginya namun tahu tidak pantas untuk melakukan itu, Nate merasakannya lebih dari siapapun.
This mountain we've been trying to climb
It's never ending
Just can't do nothing
Sebelas tahun dan masih belum berpikir jauh ke dapan. Baru merasakan kebebasan setelah lepas dari penjara yang membelenggunya. Ia senang—ia gembira dengan keadaannya yang baru. Masih dinaungi euforia kebebasan ia melupakan hakikat dirinya. Bertingkah tanpa pikir panjang, berbuat ini dan itu tanpa memikirkan efek yang akan ditimbulkannya. Lalu ia menemukannya. Sosok yang membuatnya tertawa lepas seakan dunia hanya milik mereka. Dia yang mau menerima Nate begitu saja di saat bahkan keluarganya sendiri hanya memandangnya sebelah mata. Itu sebuah kesalahan—karena Nate tahu ia tidak pantas untuk mendapatkan gadis itu. Ia menyesal telah jatuh. Ia menyesal telah menjadi beban untuk sang maiden. Tapi ia tidak menyesal untuk semua yang telah mereka lewati bersama. Meskipun kini ia lelah merasa karena sakit yang terus menerus ketika harus melepasnya—ia tidak menyesal. Untuk membalas semua kebahagiaan yang pernah diberikan gadis itu padanya—ia rela meskipun harus menjual nyawanya pada setan sekalipun.
”Aku juga sayang, kok.”
Manusia, benar-benar mahluk yang kompleks. Berapa kalipun ia pikirkan, tetap saja ia tidak bisa mengerti. Jangankan keseluruhan mahluk bernama manusia, bahkan dirinya sendiri pun tidak bisa ia mengerti walaupun hanya setengahnya saja. Bagaimana sebagian dirinya ingin mengorbankan apa saja, apa saja yang ia miliki demi dapat kembali mengulang masa-masa bersama sang putri dan sebagian lagi yang tahu betapa tidak pantasnya keinginan itu—betapa rendah dirinya jika disandingkan oleh sang maiden, betapa ia tahu bahwa ia tidak bisa memberikan hal yang layak padanya. Dipikirkan terus pun penyelesaiannya tidak kunjung datang. Jadi dia memutuskan untuk menyingkirkan keinginan yang ia anggap egois itu. Memberikan yang terbaik untuk kebahagiaan sang putri—pangeran manapun akan melakukan hal itu.
Nate membalikan tubuhnya—menoleh ke sang putri yang berada dalam jarak yan begitu dekat hingga untuk sesaat Nate merasa bisa meraihnya. Ia menatap dalam-dalam kristal kecokelatan yang berkali-kali ia kagumi keelokannya. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman culas yang tidak pernah ingin ia berikan pada gadis di depannya jika keadaannya tidak seperti ini. Kepalanya terangkat angkuh saat ia menyenderkan tubuhnya ke pagar jembatan—meletakan tangannya di atas benda kokoh itu dengan posisi santai. Andai saja ada mantra untuk kembali ke masa lalu. Ia ingin menjawab pertanyaan yang terdengar menusuk itu, memberikan kalimat balasan yang bisa membuat sang gadis membencinya meskipun yang ia ingin lakukan hanyalah mengaitkan jemari mereka seperti dua tahun yang lalu. Ia dikalahkan oleh seseorang ternyata, ”Selamat malam Michelle. Sudah lama sekali sejak kita terakhir kali bertemu."
Too many locks, too many crimes
Too many tears, too many lies
Too many barriers
Pernahkah kau merasa hidupmu tidak akan bisa lebih buruk lagi? Nate pernah. Kalau kau berasal dari Norwegia atau setidaknya, tahu mengenai kisah-kisah Norse, mungkin pernah mendengar kisah mengenai Sigurd yang mengalahkan Fafnir? Dan tidakkah kehidupannya semakin lama semakin terlihat seperti kisah sang pahlawan yang membawa shieldmaiden keluar dari lingkaran api? Dan kini babak kehidupannya mungkin sudah sampai pada adegan pertikaian antara Gudrun dan Brynhild. Demi Merlin, jangan bilang hal yang terakhir terjadi padanya adalah ia mati dibunuh pacar baru Michelle. Ia tidak sudi. Meskipun Nate tidak keberatan untuk mati sekarang—tidak seperti ada penyesalan lagi di dunia ini. Saat ia tidak memiliki apa-apa lagi, pergi ke ketiadaan juga tidak ada bedanya. Mungkinkah segalanya akan berbeda jika pertanyaannya dulu terjawab? Jika sang putri berbicara padanya, mengatakan tidak akan pernah mengkhianati janjinya—akankah segalanya berbeda? Nate tidak tahu pasti—tapi itu akan membuatnya lebih kesulitan lagi untuk merelakannya. Seharusnya ia berterima kasih, karena dengan jawaban bisu itu... ia tahu bahwa sang putri ternyata tidak menginginkannya.
”Sudah kenal dengan Michelle, Arietta?” tanyanya dengan senyum menghiasi sudut wajahnya, sengaja mengalihkan pandangannya dari gadis berdarah Korea ke gadis di dekatnya.
Bisakah Michelle melihat isyarat yang tidak terucapkan oleh sang pangeran? Sadarkah betapapun terlihat santainya Nate, buku jarinya memutih karena tangannya mengepal sedemikian eratnya. Sadarkah meskipun ia tersenyum, matanya tidak memperlihatkan kebahagiaan. Lihatkah betapapun tegarnya ia berdiri, kakinya terasa lemas karena terlalu lama berdiri mengharapkan rembulan. Lihatkah meskipun ia mendengarkan melodi alam dan ucapan semua orang, yang diharapkan indera pendengarannya hanya suara sopran yang dengan lancang terpatri di ingatannya meski tak ingin. Sadarkah, meskipun semua hal yang terjadi—hatinya masih memberikan isyarat untuk terus mencinta?
Hanya lewat isyarat ini—
ia bisa berkata jujur.
Kasih ini masih ada, untukmu seorang.
”Kami bersenang-senang, mau bergabung?” jawabnya bernada biasa dengan pertanyaan lain—kembali mengerling gadis berambut ikal panjang itu. Kepalanya kembali terasa pening, hal yang selalu terjadi ketika stress mulai merayap masuk ke dalam dirinya. Tangannya menyentuh pelipisnya—meskipun tidak cukup lama untuk membuat orang pasti mengenai sakit yang terasa. Nate meneruskan lagi, masih dengan kepala terangkat dan senyum angkuh yang sama, ”Kau sudah kenal dengan semuanya, Michelle? Arietta, kau sudah kenal, ya. Yang ini Alvera—dan satu lagi... siapa namamu, miss?”
I know I'm gonna keep wishing I was with you
But we just gotta stop