Frilla
Masa-masa kegelapan. Berapa kalipun diucapkan tidak membuat anak laki-laki berambut cokelat itu menyadari apa artinya. Merasa tidak tersentuh dengan hal itu—mungkin. Kepercayaan diri yang begitu besar hingga menggelapkan matanya akan bahaya di sekelilingnya. Padahal dunia sihir sedang—meminjam istilah Master Morcerf untuk menggambarkan asrama mereka tadi—terpuruk. Tapi itu tidak ada kaitannya dengan nate bukan? Dia hidup, bahagia, berkecukupan, dan semua hal lain sama sekali bukan urusannya. Benar?

Nate duduk di sebuah kursi berlengan, menyandarkan kepalanya ke punggung kursi—mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang. Mulai dari Greatweather yang mengatakan mengenai ular-ular saling menggigit, Macbeth yang mengatakan soal kesombongan darah murni dan apa—ada yang membela diri mengatakan Slytherin memang membela darah murni dan segalanya. Oh, omong kosong. Benar, deh. Bicaralah seperti itu kalau kelahiran muggle di asrama ini sudah tidak ada. Masih banyak kan yang kelahiran muggle—bahkan tahun ini bertambah. Bernadette itu—orang tuanya muggle kan? Lalu rasanya beberapa murid di tingkat atasnya juga ada. Dan masih saja orang berpikiran dangkal dengan mengatakan hal-hal sepele tentang kemurnian darah—seolah darah mereka berbeda warna saja. Memangnya warna darah mereka apa—hijau? Dasar troll. Mengingatkannya pada editor ’War of Warlock’ yang sampai meminta dongeng—hanya sebuah dongeng, demi Merlin—direvisi hanya karena dongeng itu mengatakan menolong muggle adalah perbuatan baik. Kuno sekali pemikiran orang itu—siapa namanya, Brutus Malfoy. Ah, ya—yang dikatakan pernah bersitegang dengan kakek Beowulf dulu.

Ia tahu, sih, pendiri asrama tempatnya sekarang—Salazar Slytherin—adalah orang yang paling membanggakan kemurnian darah di masanya. Sampai terjadi perpecahan di antara pendiri Hogwarts pun karena permasalahan itu. Menggelikan—bukannya ia tidak menghormati Salazar atau apa. Bagaimanapun dia tetap seorang penyihir besar, legillimens yang handal dan seorang parselmouth pula. Dan ia cukup mengerti rasa dengki yang dimiliki orang itu—mengingat dulu muggle bertindak sewenang-wenang dengan memburu penyihir dan segalanya. Tapi tetap saja—sampai sekarang saat muggle tidak memberikan kesulitan pada mereka, masih banyak orang yang membangga-banggakan darah seolah mereka tidak memiliki hal lain untuk dibanggakan. Atau mungkin memang tidak punya? Yah, ia rasa memang karena hal itu. Untung saja Nate masih memiliki banyak hal lain yang bisa dibanggakan sehingga tidak perlu ikut-ikutan membanggakan darahnya.

Ia jadi seperti orang idiot nanti.

Sebuah kalimat yang meluncur dari mulut Szent membuatnya hampir meledak tertawa. Ini... lucu. Tapi tidak usah berkomentar dalam hal ini, ah. Tidak ada niat baginya untuk menambah atau menyanggah pernyataan itu. Ini semakin menggelikan saja. Mungkin sudah sepantasnya ia angkat bicara. Mereka mengatakan senang berada di sini—mereka yang lain mengatakan asrama ini adalah rumah. Tapi kembali ke permasalahan yang disebutkan oleh Prefek Morcerf tercinta, katanya Slytherin sudah terpuruk akhir-akhir ini. Memang—salahkan saja Nate. Karena dialah mereka gagal mempertahankan piala quidditch tahun kemarin. Karena itu mereka gagal mendapatkan poin yang mungkin bisa menyelamatkan posisi mereka. Karena dia juga—poin asrama mereka dikurangi. Salahkan saja dia. Brengsek. Terpuruk—semuanya karena Nate, begitu maksud anda prefek-prefek yang terhormat? Cara meraih kembali kejayaan itu—berlatih dan belajar.

Tentu saja, sabotase selalu menjadi sebuah pilihan.

“Merebut kembali piala quidditch,” ujar Nate dengan wajah yakin—mengangkat kepalanya. Ini salahnya kan, tidak bisa memenangkan piala. Salahkan saja dia, seeker tidak berguna. Ha. Merasa disalahkan—meskipun sebenarnya tidak ada seorang pun yang mengatakan hal itu. Tapi ia yakin, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa dia akar permasalahan ini. Lawannya hanya seorang Ziegmowit—dan dia kalah. Sekian dan terima kasih. Tapi yang benar saja—bilang saja kalian hanya iri, karena Natelah yang terpilih sebagai seeker dan bukan kalian. Ayolah, bukankah itu wajar kalau ia terpilih? Ayahnya juga pernah berkata adalah suatu kesalahan yang sangat besar kalau ia sampai tidak terpilih. Kalau sekarang ada yang iri padanya—wajar sajalah. Memang segala hal dari Nate patut untuk diirikan bukan?

Heran—kenapa tidak para prefek saja yang memberikan 1000 poin untuk Slytherin dan mengurangi poin sebanyak-banyaknya dari asrama lain dengan berbagai alasan, sepele ataupun tidak.

Mudah.




Ini mulai membosankan.

Semuanya hanya bisa mengatakan hal-hal yang membosankan—mengulang-ulang pernyataan berisi sama yang intinya pun tidak jelas. Tidak perlu dikatakan ia rasa semua juga mengerti bahwa ambisi dan kecerdikan adalah dua hal yang dapat mengangkat kita ke posisi teratas. Seperti Seth yang bisa menyingkirkan Osiris dan duduk di kursi pharaoh dengan kelicikan yang ditopang oleh ambisinya yang luar biasa besar—sebuah contoh yang layak mereka tiru. Tapi mari kita kesampingkan semua itu, Slyhterin tercinta ini yang katanya berada di ambang kehancuran karena poin mereka yang miris, salah satu cara untuk mengangkat nama mereka lagi adalah dengan memenangkan piala quidditch. Sesuai dengan perkataan Prefek du Noir yang cukup tegas mengenai tim ular yang kehilangan piala tahun kemarin. Sepertinya Quidditch hanya sebuah alat untuk mencapai kejayaan bagi mereka.

Tidak ada yang mengerti.

Bukannya menaruh masalah Slytherin di tujuh orang—tapi sejak memutuskan untuk masuk ke dalam tim, ia sudah tahu bahwa ini adalah tanggung jawab besar. Meskipun memenangkan pertandingan quidditch tidak berarti mendapat kejayaan mereka kembali—paling tidak mereka punya andil dalam menyumbangkan poin yang cukup besar. Jauh lebih baik daripada mereka yang mengecilkan arti quidditch tapi sama sekali tidak menyumbang apa-apa untuk Slytherin. Nate mengorbankan segalanya untuk piala quidditch dan 150 poin yang bisa mereka dapatkan sebagai hadiah. Kalian—apa andil kalian dalam mempertahankan kejayaan Slytherin, eh? Usahanya untuk merebut salah satu piala masih lebih baik. Dan mereka semua berkata—seolah-olah itu tidak ada artinya. Bahkan sang kapten sendiri tampak mengecilkan arti quidditch mereka. Brengsek. Bagaimana mungkin dia yang terpilih menjadi kapten, eh? Hei, Steinegger, kau sama sekali tidak pantas menyandang posisi sebagai Kapten. Sampah. Amakusa masih jauh—jauh lebih baik.

Anak laki-laki itu menopang kepalanya dengan satu tangan bertumpu di lengan kursi. Alis matanya terangkat sementara matanya menatap satu-persatu orang yang berada di sana. Baik prefek-prefek yang tampak tidak ingin berada di sini, anak-anak yang seangkatan dengannya, beberapa anak yang beberapa tahun lebih muda, kaptennya yang tercinta, dan tersangka utama penyebab sidang ini diadakan. Bocah berambut pirang yang ia tidak peduli siapa namanya yang telah menerbangkan pasir emerald mereka yang memang sudah tipis dari awal. Sekarang katakan, siapa yang salah? SIAPA yang salah? Yang jelas bukan Nate. Kalau bukan si pirang tengil itu, berarti siapapun orang yang sudah mengurangi poin mereka.

Suara sopran yang terdengar dari belakangnya membuat anak itu tersentak sedikit. Bukan—bukan punggung kursinya yang berbicara, tapi jelas ia tidak menyangka seorang Michelle ada di balik kursinya. Kenapa Michelle—tidak tahan untuk tidak berada di dekatnya barang semenit? Seringai angkuh menghiasi wajah anak laki-laki berumur tiga belas tahun itu, alisnya terangkat ketika sepasang kristal karamel miliknya mengikuti tiap pergerakan yang ditimbulkan gadis berparas Asia itu. Bahasa tubuhnya yang gemulai dan helaian rambutnya yang bergerak ketika ia membalikan tubuhnya masih persis sama dengan ingatannya. Manik cokelat miliknya balas menatap bola mata bening milik gadis itu. Seringainya semakin lebar. Katakan tuan putri, apa yang ingin kau katakan di hadapan pangeran ini?

Menjelek-jelekan asrama sendiri tidak membantu.

Oh, ya.

Menurutnya justru orang-orang tolol di sini terlalu bahagia masuk ke dalam asrama ini hingga bertindak seenaknya. Melanggar peraturan ini dan itu—bukannya ia munafik, ia juga pernah kena detensi dan mendapat pengurangan poin. Tapi langsung lima puluh poin? Tidak pernah. Lagipula poin yang ia kurangi sudah ditutupi dengan tugas-tugasnya di kelas dan keaktifannya di tim. Jadi katakan sekarang—sebenarnya siapa yang tidak berguna? Mereka yang hanya bisa berbicara ini dan itu panjang lebar—atau dia? Jelas bukan Nate yang mendapat definisi sebagai orang tidak berguna. Mereka sampah, dia permata.

Michelle duduk kembali, Sienna angkat berbicara. Beberapa orang lain juga menyatakan pendapat—Dawghew laki-laki, Ravn, Sirius dan kalimatnya yang terdengar seperti musik di telinga Nate. Oke, berlebihan memang. Tapi setidaknya kalimat itulah yang paling ingin ia dengar malam ini.Dan cukup untuk membuatnya tersenyum puas ketika menangkap lirikan anak laki-laki itu. Sulit sekali ya, ketika berbeda pendapat. Yang satu mengatakan ikuti peraturan (pendapat Sienna, sungguh siswi yang baik), yang satu lagi mengatakan tidak apa melanggar peraturan. Pendapatnya pribadi, silahkan langgar semua peraturan yang kalian mau asalkan jangan menjadi beban untuk yang lain. Bukankah Slytherin terkenal dengan kelicikinnnya? Seharusnya bukan hal yang sulit untuk menghindari hukuman, terutama pengurangan poin. Meskipun kembali pada pendapatnya sebelum ini, kalau hanya memusingkan mengenai poin, para prefek kan bisa megurangi poin asrama lain dan menambah poin asrama mereka sendiri secara besar-besaran.

"What we've lost is not the points, instead, we've lost our identity. Perang terjadi di luar, dan sebagian orang tua kalian berjuang di sana. Dan di dalam kastil ini adalah anak musuh dan calon musuhmu. Hancurkan saat mereka belum berbahaya." Kalau yang ini ia cukup setuju. Krisis identitas—sekarang pikirkan apa kualitas terbaik dari Slytherin? Independen—mereka bergerak untuk tujuan sendiri tapi bukan berarti tidak bisa bekerja sama, untuk mencapai tujuan kerja sama hanyalah satu pengorbanan kecil. Licik, licin, pintar—apapun yang berarti sama dengan tiga kata itu, hanya saja kebanyakan tidak memiliki tiga kualitas itu—hanya bermodalkan status darah mereka. Ambisius—hal yang ia rasa benar-benar sudah hilang dari mereka. Tidak ada ambisi, tidak ada keinginan untuk menjadi yang terbaik—pantas saja mereka terpuruk.

Seringai.

”Intinya, mari kita hancurkan asrama lain—tanpa merusak harga diri kita kita sebagai yang terbaik."
0 Responses