Frilla
Senja hampir usai, malam menjelma hampir sempurna. Pemandangan luar yang tertutup salju seolah berkilauan karena tertimpa berkas-berkas cahaya jingga dari jendela kastil. Seorang anak laki-laki berjalan keluar dari kastil. Udara malam musim dingin tampak tidak menyurutkan niatnya untuk menghindari kehangatan yang disediakan dalam kastil. Tangannya menggenggam robekan perkamen. Masih ada waktu sebelum makan malam, masih cukup waktu baginya untuk sekedar berpikir sebelum menghadapi keramaian. Sepatu bootnya meninggalkan jejak-jejak di atas salju yang ditapakinya. Selangkah demi selangkah hingga ia tiba di jembatan. Ia berhenti di tengah-tengah—meletakan tangannya di pagar jembatan. Ia membuang robekan kertas di tangannya ke bawah jembatan, menatap robekan itu melayang dan perlahan hilang ditelan kegelapan.

Kenapa kau tidak pulang? Pertanyaan basa-basi pembuka, Nate kira semua orang akan lebih senang kalau ia tidak ada. Tidak perlu diucapkan juga ia sudah mengerti bahwa kehadirannya tidak diharapkan. Untuk apa bertanya seperti itu—pasti mengejeknya. Layaknya seseorang yang diasingkan karena tindakan kriminal, tempat yang dulu disebutnya rumah sudah tidak lagi menerimanya. Perbedaannya, ia tidak melakukan tindakan kriminal atau hal apapun yang menyerempet hal itu. What’s in a name? Ucap Shakespeare dalam karyanya. Nama menentukan nasib, tuan pujangga, sangat menentukan. Andai saja namanya diganti, takdirnya akan berubah. Ia tidak akan seperti sekarang ini.

Apalah artinya sebuah nama?
Harapan pemberinya—
—dan takdir penerimanya.

Bukan, bukan kalimat ejekan itu yang mengganggunya. Tapi di bagian akhir perkamen. Bibi Sindri meninggal. Tidak mungkin. Kepalan tangannya mengeras hingga buku jarinya memutih. Kepalanya pening. Ia ingin berteriak namun tak kuasa. Katakan, bagian mana yang bisa dikatakan adil dari kehidupan manusia? Takdir itu kejam—kata orang. Bukan, lebih dari itu. Mengoyak dirinya tanpa belas kasihan, sama sekali tidak mempertimbangkan luka yang masih belum menutup. Katakan padanya, Sang Pencipta, apa Kau belum puas mempermainkan hidupnya selama ini?

Belum pernah ia merasa kematian sedekat ini—tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa kematian bisa datang menjemput siapapun setiap saat. Waktu yang dimiliki oleh manusia untuk menikmati kehidupan terbatas. Tidak, belum ada vonis atau semacamnya. Tapi ia melihat pada liburan musim panas kemarin, ia tahu. Bahkan untuknya yang masih muda pun terlihat. Kekuasaan El Maut membayang-bayangi keluarganya, mungkin kelak akan ada banshee yang menyanyikan lagu kematian di rumah mereka. Masa-masa kegelapan, tidak pernah terlintas di benaknya masa ini juga berpengaruh dalam kehidupannya. Bibinya yang anggun dan banyak mengajarinya berbagai hal sejak kecil—dibunuh pelahap maut. Salah satu korban dalam serangan pelahap maut di Surrey. Apa Nicholas Flammel yang dikatakan bisa hidup abadi dan awet muda juga bisa bertahan jika terkena kutukan kematian dari mahluk-mahluk bertopeng itu?

Hari kiamat hampir tiba. Tidak ada lagi manusia yang hidup di bumi. Saat semua orang berhati cepat atau lambat musnah dalam perburuan manusia, menyisakan manusia-manusia tanpa nurani haus kekuasaan yang lebih tepat disebut hewan liar.

All hail, death.
Mungkin lebih menyenangkan daripada hidup di dunia yang sekarang ini.
0 Responses