Frilla
Mulai lagi. Pagi yang mengerikan dipenuhi dengan kecemasan dalam mengerjakan tugas—sudah dimulai. Seperti sebuah lingkaran setan—lagi dan lagi. Well, tapi—bukannya Nate cemas atau apa. Anak laki-laki berambut kecokelatan itu mengedikan bahunya dan menguap bosan—sesekali mengacak rambutnya. Kepalanya terangkat saat membuka pintu menuju ruang kelas mantra. Matanya meneliti ruangan itu sejenak—mendapati si profesor mini itu sedang berada di mejanya, di atas buku-buku yang tebalnya pasti membuat pelupuk mata orang yang membacanya meleber seperti butterbeer yang tumpah dari cangkirnya. Dan—hee... tidakkah rambut dan jenggot beruban milik keluarga jembalang itu semakin lebat saja tiap hari. Pakai ramuan penumbuh rambut atau apa, ya? Bukannya Nate mau memanjangkan rambutnya—mengerikan sekali kalau ia sampai memiliki rambut yang keriting panjang seperti Flitwick. Atau lebih mengerikan lagi.... memiliki jenggot seperti Dumbledore. Brr...

"Baik, hari ini kita akan mencoba sebuah mantra yang cukup menarik—" menarik demi apa—mata kelpie buta. Idih. Ia selalu berpikir dari dulu—selera humor milik staff Hogwarts itu tidak ada yang benar. Mulai dari yang nyentrik sampai mengerikan—astaga, seperti kekurangan staff pengajar yang berkualitas saja. Katanya menarik—ck, memantrai mata trol yang mengamuk. Nah, itu menarik. Menaiki naga—sangat menarik. Blah, menarik sekali—seperti Nate mau saja mempertaruhkan nyawanya untuk hal-hal tidak berguna semacam itu. Bukannya ada profesor yang mengajarkan hal seperti itu—satu-satunya hal yang paling berbahaya yang diajarkan di hogwarts adalah menghadapi burung hantu sekolah yang tua renta. Kenapa tidak ada pelajaran menangkap snitch saja, sih?

CTAAAR

Salazar—

BRUAAAAK

Nate yang dari tadi duduk menopang dagu tidak sengaja memukul mejanya karena kaget—menimbulkan bunyi keras yang bergaung di ruangan itu. Wajahnya yang tadi sempat terlihat bosan langsung nyalang—seperti baru terbangun dari tidur yang panjang. Bunyi apa tadi—mengagetkan saja... astaga. Astaga. Anak laki-laki itu mengernyitkan alisnya, menatap si profesor dengan tatapan sebal. Seenaknya saja—mengagetkannya seperti itu. Dasar jembalang kerdil, goblin sinting, mahluk mini. Mau mempermalukannya, ya? Ck. Anda pikir tadi itu lucu, eh—profesor??

Tes tes tes

Nate memutar bola matanya. Tadi petir, sekarang hujan. Basah, nih. Dia basah, nih. Merusak rambut dan semua peralatannya. Ck, mahal tau, prof, mahaaal. Barang-barangnya mungkin lebih mahal daripada gaji anda setahun. Demi Merlin—si kakek tua ini maunya apa, sih? Hah, pasti dia juga ikut dalam persekongkolan menjatuhkan Nate. Semua orang—iri dengannya pasti, ya. Berdoa saja, kakek kerdil, anda tidak akan pernah menjadi seperti Nate.

“Impervius,” gumamnya pelan ke arah kepalanya, masih mendelik ke arah sang profesor.

Nate mengacungkan tongkatnya ke arah barang-barangnya dan menggumamkan ’impervius’ pelan. Tidak banyak gunanya, sih, terlanjur basah—mengingat hujannya sudah turun sejak beberapa menit yang lalu. Brengsek. Pena bulu angsanya yang diberikan oleh Bibi Cammile saat berlibur ke Perancis—buku tentang quidditch yang ia pinjam dari perpustakaan. Gawat, nih... Madam Pince pasti akan sangat murka kalau melihat bukunya basah. Mati dia. Ia pasti PASTI akan dibunuh kalau wanita mengerikan itu mengetahui hal ini. Sampai di asrama, terpaksa ia harus repot-repot mengeringkannya dengan suatu cara. Kalau beli baru... pasti ketahuan, argh. Nate mengernyitkan alisnya, kembali kesal mengingat semua hal itu. Akhirnya ia mencoba menggumamkan ’glacius’ beberapa kali. Pertama, pelafalan. Oke. Huf, kalau memang begini maunya si Flitwick itu—ya, sudah. Ia akan melakukannya.

"Glacius."

Suara sopran yang terdengar familiar itu otomatis membuatnya menoleh ke arah sang pemilik suara. Ekspresi wajahnya yang sesaat kesal tadi langsung digantikan dengan wajah yang cerah begitu melihat sosok gadis berambut prang itu. Habisnya—ia kira tidak ada orang yang bisa diajaknya mengobrol—ternyata dia memang selalu beruntung. Baru berpikir begitu, langsung muncul Sienna yang dikirim oleh Dewi Fortuna padanya. Ah—benar, memang tidak ada orang yang tidak mencintai Nate. Seorang dewi sekalipun/

”Sien,” sapanya pelan sambil melompat duduk ke kursi di sebelah sepupunya itu. Cengiran lebar terplester di wajahnya—ia melirik ke arah gadis di sebelah sepupunya itu dan melebarkan matanya sesaat sebelum mengangkat bahu dan menyapa gadis itu juga, ”hai, Dark—kalau aku boleh memanggil seperti itu.” Ya, pasti boleh, dong, permintaan Nate sama dengan perintah dari Kau-Tahu-Siapa. Ck, anak laki-laki yang ini—pasti belum menyadari betapa besar bahaya yang ditimbulkan kalau ia sampai mengucapkan kalimat itu. Cari mati—kata orang. Tapi ini ’kan hanya istilah—ya? Ya? Lagipula misalnya nih, misalnya dia bertemu dengan Kau-Tahu-Siapa, pastinya orang itu juga menjadikan Nate anak emasnya. Ya, kan? Kan? Well, terkadang ada juga orang yang tidak tahu kapan harus berhenti menilai dirinya terlalu tinggi. Apa boleh dikata—ketika hidup begitu sempurna terbentang di depannya, tidak ada yang terasa lebih tinggi.

Anak laki-laki itu menoleh kembali ke arah gadis berambut pirang di sebelahnya dan berkata dengan mimik yang berubah-ubah di setiap kalimat. ”Sien—si Flitwick itu menyebalkan sekali. Semua barang-barangku basah, ck. Ngomong-ngomong bagaimana liburan musim panasmu?”

Musim panas—

—cukup buruk.

”Glacius,” ujarnya sambil mengacungkan tongkatnya ke arah mejanya yang basah. Beku, membekulah semuanya! Gagal. Cih. Pupilnya melebar ketika menangkap kilatan mantera yang mengarah ke seorang laki-laki yang sudah sangat akrab di matanya. Seringai jahil muncul di wajahnya—ikut mengarahkan tongkatnya dan menggumamkan ”glacius” ke arah tongkat laki-laki itu. Seringainya semakin lebar melihat kilatan mantera yang keluar dari ujung tongkatnya. Nah, kalau tongkat membeku kira-kira apa yang bisa dilakukan? Percobaan yang menarik bukan—efek dari mantra Glacius pada tongkat sihir.

”Nice aim,” ujarnya pada orang yang duduk di belakangnya itu. Tersentak sedikit sebelum menyadari siapa yang diajaknya berbicara. Goddamnall. Ia memutar bola matanya dan kembali menatap Sienna. Apapun selain dia.



Norwegia, salah satu negara Skandinavia yang terletak di bagian utara daratan Eropa. Tanah nenek moyangnya yang agung. Begitu banyak cerita yang diwariskan di tanah Skandinavia itu—tentang Loki dan Ragnarok—hari kiamat bagi para dewa, saat para dewa lenyap menjadi abu, tentang Sigmund dan Hiordis—kisah mengenai dendam dan kebencian, cerita-cerita yang tidak kalah dikenang dari mitologi Perseus dan Andromeda. Tahu kenapa mitologi Norse berbeda? Karena jarang ada akhir yang bahagia dalam tiap ceritanya. Pernah mendengar cerita tentang Sigurd dan Brynhild? Brunhilde, seorang perawan dengan kecantikan yang luar biasa yang terkurung dalam lingkaran api dan Sigurd, seorang ksatria pemberani yang berhasil melompati api itu dan bertemu dengan sang maiden. Mereka berdua bertemu dan jatuh cinta pada pandangan pertama. And they live happily ever after. Tidak akan. Ini bukan dongeng para muggle dimana semuanya berakhir bahagia.

Kalian pikir, setelah beribu cobaan yang menghalangi Sigurd, pada akhirnya ia akan menemukan akhir yang bahagia dalam seorang Brynhild bukan?

Kenyataan—memang tidak sesuai dengan harapan.

Dia juga.

Sang pangeran menyentuh pelipisnya—mendengus kesal kepada dirinya sendiri. Brengsek. Bagaimana mungkin ia bisa tidak menyadari suara yang sudah familiar itu? Lupa—tidak mungkin. Memangnya ia Sigurd yang bisa dengan mudahnya ditipu untuk meminum ramuan pelupa. Tolong seseorang bunuh dia—tidak, jangan—kasihan orang-orang yang nanti akan merindukannya. Cukup cubit pipinya dan bangunkan dia dari mimpi yang aneh ini Ck. Sialan. Nate adalah orang yang benar-benar terkutuk. Alisnya bertautan—ia menggumamkan glacius beberapa kali ke arah meja dan bukunya secara asal—tidak terjadi apa-apa. Gagal semua, menambah jumlah urat merah di pelipisnya yang berdenyut seiring kekesalannya yang terus meningkat. Sialan. Konsentrasi, konsentrasi—hal paling mutlak dalam penguasaan mantra apapun. Sekaligus juga merupakan hal yang paling sulit dilakukannya di saat-saat seperti ini. Argh. Lupakan saja.

Kembali ke persoalan yang lebih menarik daripada membekukan air yang menetes akibat hujan buatan goblin tampan di depan, Sienna mengatakan liburannya tidak istimewa—oh, bagus. Masih lebih baik daripada liburannya kalau begitu—yang sebenarnya akan berlangsung dengan baik kalau saja tidak ada Miranda, penyihir iblis yang ingin ia tusuk-tusuk dan umpankan pada naga moncong pendek Swedia atau ibunya yang ingin ia asingkan ke Ethiopia dengan iringan tarian peri rumah yang merasa senang terbebas dari penyihir wanita itu. Nate menunjukan cengirannya lagi dan mengangkat bahu, “lebih baik daripada liburanku berarti, mengerikan—musim panas kali ini. Eh, ngomong-ngomong, memangnya aku belum pernah memintamu untuk berhenti memanggilku dengan sebutan ‘Nathan’? Kau terdengar seperti ibuku.”

"Dia memang gila, Harvarth. Sepertinya Hoggie-Woggie tidak mampu membayar pengajar yang lebih professional," ujar suara tanpa perasaan dari sebelah kanannya—sebelah Sienna lebih tepatnya. Membuatnya mengangguk setuju meskipun tidak sepenuhnya sependapat dengan perkataan Dawghew. Hogwarts seharusnya mampu membayar pengajar yang professional, ia lebih setuju dengan pendapat bahwa Flitwick dan Dumbledore merencanakan sesuatu. Hm… ia mencium ada bau-bau nepotisme di sini. Atau mungkin Flitwick punya affair dengan Mcgonaggal? Oh, tidak. Yang terakhir itu jangan dibayangkan—ARGH. Mental imej yang sungguh mengerikan. Ck, imajinasi yang terlalu tinggi terkadang membawa kesengsaraan. Ta-tapi, kalau ternyata ia benar bagaimana? Wah, gossip ini benar-benar perlu diluruskan! Nate menatap mata Dawghew dengan wajah serius sambil berbisik pelan, “menurutmu—mungkin tidak Flitwick punya affair dengan McGonaggal?”

Imajinasimu hebat sekali, Nathan.

Pasti cukup untuk membuatnya tidak bisa tidur seminggu.

Nate melirik ke seorang anak laki-laki yang duduk di sebelahnya—yang menanyakan apa tugas mereka dengan wajah sembab seperti baru bangun tidur—yang menurut Nate, memang itulah yang tadi dikerjakan oleh teman sepermainannya itu sebelum entah apa membangunkannya. Sebelum Nate menjawab, sepupu berambut pirangnya sudah menjawab terlebih dahulu, menyisakan hanya sebuah kalimat untuk diucapkan olehnya, “hei, landak tua, sudah puas tidurnya?” Kalau bukan Nate yang mengatakan kalimat itu, pasti Sylar akan mendelik dan melakukan entah hal apa pada yang berani memanggilnya seperti itu. Oh, segala keuntungan yang didapatkannya… Menyenangkan.

Nate memutar-mutar tongkat dengan inti helaian bulu unicorn di tangannya. Kalau tidak sengaja muncul kilatan mantra dari tongkatnya dan mengenai seseorang—ck, jelas bukan salahnya. Siapa suruh punya keberuntungan yang tidak bagus sampai bisa terkena mantra nyasar. Lalu omong-omong tentang mantra nyasar—siapa itu yang memantrai kenop pintu? Demi Merlin, kalau mereka terkunci di sini… bagaimana, ya? Manik caramel itu menyusuri asal mula kilatan itu dan menemukan pelaku dari pengrusakan itu. Bingo. Seharusnya dia sudah menduga, siapa lagi orang yang lebih gila daripada troll Ravenclaw itu? Meskipun bagaimana otak troll bisa disamakan dengan kecerdasan otak yang dijunjung oleh penghuni langit itu ia sama sekali tidak mengerti. Bukannya ia perlu atau ingin mengerti—sama sekali bukan urusannya, benar, deh. Apakah menurutmu Nate terlalu mulia untuk memikirkan hal remeh semacam itu? Dipandangannya sendiri, jelas iya.

“Glacius.” Cukup satu kata, tidak perlu lebih, sudah membuat anak laki-laki berambut ikal kecokelatan itu kembali menoleh ke meja di belakangnya. Menatap tepat ke dalam dua Kristal bening yang sudah lebih dari familiar di matanya. Ia tidak bisa melihat dengan jelas apa yang dimantrai oleh gadis itu—yang jelas sesuatu yang berada di bawah, di lantai. Tapi meja di depan gadis itu menghalangi pandangannya. Bukan masalah kan? Seperti ia tertarik saja dengan apapun yang terjadi pada gadis itu.

Katakan, Nathan—apa kau masih peduli padanya?
Tidak.
Tidak usah munafik, semua orang juga tahu hal yang sebenarnya…
Tutup mulut, brengsek.
Kau tidak akan mengkhawatirkannya kalau kau sudah tidak peduli padanya.
Hanya karena dia miliku, bukan karena aku peduli.
Baiklah, terserah…
Tentu saja, aku melakukan apapun yang kuinginkan.


“Perlu bantuan, Michelle, dear?” ujarnya sambil menunjukan cengirannya yang biasa. Baiklah, anggap saja ini salah satu dari tindakan yang biasa ia lakukan. Kenapa juga harus dianggap lebih? Orang bilang, orang yang mengaku tidak pernah berbuat kesalahan adalah orang yang paling sering berbuat kesalahan. Karena orang yang tidak merasa salah tidak akan melakukan evaluasi terhadap tindakan ataupun perkataannya yang salah. Tapi teorema ini tidak berlaku pada Nate, karena apapun yang terjadi—Nate selalu benar. Tindakannya saat ini pun bisa dibenarkan, ia tidak pernah berkata tidak akan pernah berbicara dengan Michelle atau apa. Apa yang ia lakukan ini tidak salah, mengerti? Bagus.
0 Responses