Frilla
Ngantuk.

Seorang anak laki-laki berambut kecokelatan berjalan dengan wajah terkantuk-kantuk—mengacak rambutnya sesekali. Lingkaran hitam yang buruk rupa menghiasi sekeliling matanya. Ia tampak seperti panda. Sial. Oke,mungkin tidak seburuk itu—since, apa, sih, yang bisa membuat Nate tampak kurang dari tampan? Manik caramelnya melirik kanan-kiri dengan tidak fokus—dengan suatu cara berhasil menuntun sang anak laki-laki menaiki tangga spiral bewarna perak menuju kelas ramalan. Kelas yang sampai sekarang ia tidak mengerti kenapa ia ikuti. Ayolah—ini ramalan. Cabang ilmu yang paling tidak pasti, sama sekali tidak relevan, tidak bisa dipikirkan dengan logika. Kenapa juga ia mau memilih kelas ini? Oh ya, karena ia berpikir ini kelas yang paling mudah diikuti daripada segala macam kelas merepotkan yang lainnya. Ah, seandainya ia tahu apa yang sebenarnya dilakukan di kelas itu, mungkin ia tidak akan pernah meskipun hanya untuk mempertimbangkan masuk kelas ini.

Bola Kristal.

Astrologi.

Pergerakan bintang.

Membaca daun teh.
Omong kosong.

Nate menarik hood jubah seragamnya menutupi kepalanya. Ia harus berterima kasih pada siapapun yang merancang seragam Hogwarts—paling tidak hood itu membuatnya bisa menutupi wajah tidak niatnya saat melewati profesor ramalan yang nyentrik itu. Siapa namanya—rasanya sempat disebutkan di pesta awal tahun. Wanita yang seperti kelelawar tua renta dengan selera berpakaian yang pasti membuat banshee sekalipun kehilangan suara melengkingnya. Ah, ya—Trewlaney, namanya. Lihatkan, dari namanya saja sudah bisa dilihat kalau staff pengajar yang satu ini aneh. Bukannya staff yang lain tidak aneh, ya. Ia sering berpikir apa memang Hogwarts ini kurang staff berkualitas. Bukannya ia mementingkan pengajar ramalan—siapapun gurunya. Pelajaran aneh begini… tapi sudahlah, jangan membicaraka keburukan pelajaran ramalan. Kalau kena karma bisa gawat juga kan. Bukannya ia percaya dengan hal-hal tidak logis seperti itu. Tidak—ia sama sekali tidak percaya. Tapi tetap saja ia tidak ingin mengalaminya. Ia tidak percaya tapi.

Ruangan itu tampak lebih sumpek daripada ruangan lain. Kursi-kursi berlengan tampak asal dijejalkan ke dalamnya, membuat ruangan itu menjadi jauh lebih sempit daripada yang seharusnya. Panas yang menguar dari perapian membuat ruangan itu hangat, bukan, panas lebih tepatnya lagi. Apalagi dengan cahaya temaram yang ditimbulkan lampu-lampu yang dilapisi selendang. Nate dengan terpaksa—tanpa mengeluh seperti biasanya—menghempaskan dirinya di salah satu kursi berlengan. Meletakan kepalanya di atas meja dengan beralaskan tangannya sebagai bantal. Demi Merlin—ia benar-benar berharap tidak melakukan apa yang ia lakukan tadi malam. Tebak apa yang membuatnya sampai terkantuk-kantuk ke kelas begini? Belajar, ya. Tidak perlu membelakan mata begitu—semua orang juga tahu kalau Nate bukan murid yang asal-asalan. Oke, tahun kemarin memang ia kehilangan semua nilai-nilainya. Tapi akan ia buktikan kepada si Miranda itu—tahun ini, ia berbeda. Bukan berarti ia itu seorang kutu buku—oh, please—seorang Nate tidak bisa disamakan dengan seekor kutu buku yang merasa kepalanya terlalu tertinggi sehingga memutuskan untuk berada di menara terus. Lagipula, imej seorang kutu buku selalu dekat dengan anak-anak jelek yang tidak punya teman dan well—jauh dari Nate-lah.

"Pada pelajaran... kita... dengan daun teh... Tasseomancy. tertinggal di dalam cangkir... masa kini dan masa depan...melihat yang tak terlihat. ...kosongkan pikiran... duniawi karena... pusat kosmos...melampaui... masa depan.” anda bilang apa tadi, prof? Nate mengangkat kepalanya dengan wajah sembab—bukan, ia tidak menangis, idiot—mengangkat tangannya untuk menggosok mukanya sekedar untuk memastikan bahwa ia bukan berada di alam mimpi dimana semua hal bewarna merah dan jingga. Demi banshee yang mengikik di tangga, kenapa kelas ini harus begini? Pasti ini sebuh konspirasi untuk menjatuhkan Nate. Dengan cara membuatnya ngantuk dengan kondisi kelas yang hangat dan dipenuhi harum teh. Tapi—ia tidak akan kalah.

Tidak akan pernah kalah.

Nate menarik poci teh di mejanya—menyajikan teh untuk dirinya sendiri. Tanpa sengaja menjatuhkan sendok yang dipakainya untuk mengaduk teh. Saat ia menunduk untuk mengambil benda itu dari lantai, ia justru mendengar sesuatu yang membuat kepalanya terantuk meja saat akan menegakan tubuhnya. ”Ehem, Michelle, bentuk pertama aku melihat bintang yang berarti kesuksesan dan penghargaan. Berikutnya segitiga berati kau terlibat hubungan cinta segitiga.” Hei, Dewi Fortuna... kau membenciku, ya? Seharusnya ia memang tidak mengambil kelas ini—kenapa dari semua kelas pilihan yang disediakan, mereka harus mengambil pelajaran yang sama? Dan apapula cinta segitiga yang dimaksud... Ck, sudahlah. Anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya—mengusir pikiran apapun yang memasuki kepalanya. Ia meletakan sendoknya di atas meja dan mengangkat bahu. Well—bagaimanapun juga, masih ada janji itu—ia tidak peduli apapun, selama masih ada janji itu. Ia masih memiliki hak. And life goes on.

zZzzZzz....

Nate mencubit pipinya sendiri—jangan tidur, hoi. Jangan tidur.

Anak laki-laki itu mengangkat cangkirnya—meneguk isinya pelan-pelan. Teh hangat dan scone, sungguh Inggris. Seperti ibundanya tercinta, ck. Bikin kesal saja. Tapi kalau ia tidak salah ingat kata si Trewlaney tadi—jangan memikirkan hal-hal duniawi. Jelas saja, Nate sama sekali tidak dekat dengan dunia. Pikirannya sudah mendekati gerbang dunia mimpi begini. Anak itu memutar cangkirnya tiga kali sebelum meletakannya di tatakan, sementara satu tangannya sibuk memijit pelipisnya yang berdenyut menyakitkan karena kurang tidur.

Posted Image

Cangkir di depannya tampak menertawakan dirinya yang sedang kesusahan mempertahankan diri di ambang kesadaran yang menipis. Oh, sialan kalian udara hangat dan kursi yang terlalu empuk. Nate menggelengkan kepalanya beberapa kali—dia tidak akan kalah dari kantuk. Sekarang intruksi selanjutnya... argh, ia tidak mendengarkan apa kata si kelelawar tua itu tadi. Setelah itu apa—makan kue inginnya, sih, sayang bukan. Tapi sudah pastilah, berhubung mereka akan membaca daun teh, sekarang waktunya kegiatan utama berarti. Amati cangkir—eh, bukan—amati daun teh. Mari kita lihat, ramalan untuk seorang Nate (tolong camkan bahwa Nate tidak pernah percaya dengan yang namanya ramalan, sama sekali tidak percaya). Baiklah, yang sebelah kanan itu tampak seperti tikus—artinya... demi Merlin. Peringatan—tidak mungkin. Bukan, tadi dia pasti salah lihat. Ia memperhatikan cangkirnya dari arah yang lain—menyipitkan matanya dan mengangguk-angguk saat ia melihat bentuk lain yang terlihat seperti bell baginya. Bel—aha!

”Unexpected goodnews in love,” ujarnya keras dengan puas—oke, lupakan saja semua tentang si tikus aneh itu, yang ini lebih baik. Ia mengerling sosok di depannya dengan cengiran lebar sambil menyerahkan cangkirnya pada partnernya yang entah disadarinya atau tidak sudah ada dari tadi. ”Lihat Sylar, ramalanku cukup bagus, nih.”

Masih mengantuk...



ZzzZzZz…

Gunakan logikamu, bagaimana kira-kira keadaan orang yang dipikirannya hanya ada bantal dan selimut chincila yang hangat? Nah, begitulah keadaan bocah ini sekarang. Ditambah suasana yang hangat ini, ia merasa seperti landak yang sudah tidak sabar memasuki hibernasi tapi terus diganggu oleh setan-setan jahat. Salah satunya Trewlaney yang pastinya tidak mengizinkannya tidur di sini, kecuali kalau ia pura-pura mendapat penglihatan ketika mimpi. Tapi bagaimana caranya coba—seolah ia bisa mengatur tingkah lakunya sewaktu tidur saja. Setan yang kedua adalah Sylar yang tumben-tumbennya datang ke kelas dengan wajah segar bugar, tidak ada satupun gurat-gurat kurang tidur muncul di wajahnya. Ini pasti kutukan. Pasti jembalang yang pernah ia tendang marah dan memberinya kutukan kantuk dan pasti juga jembalang itu suka pada Sylar hingga justru membuatnya sembuh dari penyakitnya. Cih. Jembalang sial, setan ketiga. Setan yang keempat... bukan, bukan setan, Succubus. Iblis wanita cantik yang gemar menjebak kaum adam. Ia pasti sudah sedikit terperosok ke alam mimpi.

Nate dengan enggan meraih cangkir rekannya—Sylar, tidak salah lagi.

Memang kau kira siapa?

Posted Image

Wahai kekuatan kosmos dan alam semesta, tunjukan masa depan pemilik cangkir ini lewar bentuk daun teh. Nah. Apa yang ia lihat di sana? Coba tebak? Burung, buku, anjing, kucing? Bukan. Yang ia lihat adalah... daun teh. Seperti yang seharusnya ia lihat. Mana tanda apapun itu yang seharusnya ada di dalam cangkir? Jangan bilang daya imajinasinya kurang, di saat ia justru memiliki imajinasi yang berlebihan begini, mana mungkin kurang. Pokoknya ia melihat daun teh. Bentuknya seperti... kepiting mungkin? Entah, deh. Abstrak. Boleh tidak ia mengatakan bentuk lukisan Picaso? Tidak—tidak ada arti bentuk Picaso di buku buatan Cassandra Vablatsky itu, berarti tidak boleh menyebutnya seperti itu. Ck. Seperti bantal? Atau tempat tidur...?

Baiklah, ia akan mengatakan ini sekali saja seumur hidupnya, bahwa ada satu hal yang tidak bisa dilakukan dengan sempurna oleh seorang Nathan Kehl Harvarth. Dan hal itu adalah… ia tidak mempunyai mata batin a.k.a. ia tidak bisa meramal. Darimana kesimpulan itu bisa ia ambil? Well, lihat saja. Sudah lima menit ia memandangi cangkir Sylar, berharap mata batin dan kekuatan kosmos pelingkup bumi yang dikatakan itu akan muncul dan memberikan gambaran yang seharusnya datang menurut teori ramalan dari Trewlaney, dan apakah hasilnya? Nul. Zero. Nihil. Tidak, mata batinnya tidak memberikan bimbingan sama sekali. Dan ia terpaksa mengakui ia tidak punya bakat di bidang ini. Bukan berarti ia ingin memiliki bakat ramalan atau apa—ia sudah bilangkan kalau pelajaran ini hanya omong kosong dan sama sekali tidak pasti dibandingkan pelajaran lainnya. Tapi kegagalan tetap membuatnya kesal dan merasa kalah. Dan semua orang tahu Nate benci kekalahan.

Jadi di saat seperti ini—hanya ada satu yang bisa ia lakukan.

Meramal, jelas. Apa yang kau harapkan?

Nate memutar-mutar cangkir rekannya. Sesekali mengangguk dengan wajah sok yakin—percaya diri dengan entah teori macam apa yang muncul di kepalanya. Ekspresinya serius, seolah kali ini ia benar-benar sedang menghayati perannya sebagai peramal. Ia berdeham dan mulai berbicara, ”well, yang kulihat di cangkirmu adalah.... jam, yang berarti peringatan pada penundaan. Dengar itu Sylar, jangan suka terlambat lagi. Lalu kalau diputar begini... aku melihat gurita yang berarti peringatan juga. Aneh, apa akhir-akhir ini ada yang dendam padamu, Sylar?”

Menyenangkan.

Hehe.

Peringatan untukmu Sylar, makanya... bagaimana bisa orang ini menularkan kantuk yang sedemikian berat padanya sementara ia sendiri bisa datang ke sini tanpa susah payah dengan mata terbuka lebar? Tidak adil. Pasti Sylar sudah menjampi-jampi dirinya, membuat sindrom kantuk berpindah tempat dengan indahnya. Heh. Tunggu, sejak kapan Sylar dan jembalang itu berteman? Uwoh, menyebalkan. Mereka berdua pasti berkonspirasi agar Nate mendapat nilai jelek di pelajaran ini. Pasti jembalang itu naksir Sylar sampai rela mengutuk Nate seperti ini. Hm... apakah jembalang bisa mengutuk? Rasanya mahluk berkepala kentang itu bahkan tidak punya otak... apa itu berarti Sylar yang memanfaatkan mahluk lemah tak berdaya dengan taring super tajam itu? Wogh. Tidak ia sangka rekannya itu tidak punya rasa keprijembalangan. Setidaknya Nate hanya menendang mahluk malang itu.

Malang kepala nenekmu.
0 Responses