Frilla
“I just want to be happy, Nate—please?”


“Dimana kakakmu?”
“Hee? Siapa?”

Gurat-gurat kemarahan tampak jelas di wajah wanita berambut keemasan itu—suaranya terdengar bergetar sedikit ketika berkata lagi, “aku tahu kau pasti ada hubungannya dengan semua ini, Nathan. Di mana Gisselle?”

“Saa…”—who knows? Wajah laki-laki itu tidak tampak peduli—hanya mengangkat bahunya sedikit tanpa mengalihkan perhatiannya sedikit pun dari buku yang baru ia beli di salah satu toko majalah di dekat hotel Karuizawa yang mereka tinggali.

“Nathan—I swear, if you don’t tell me right away—“

“Berisik. Mana aku tahu kemana Gisselle pergi—aku bukan orang tua yang bertugas mengawasinya—bukankah seharusnya itu tugasMU.“


“Nathan—kau yang paling dekat dengan Gisselle, kau pasti tahu kakakmu ada di mana sekarang—kan?”

“Aku tidak tahu, Ayah,” ujar Nate tanpa benar-benar menatap mata ayahnya. Maaf, tapi ia sudah berjanji pada Gisselle—dan Merlin tahu ia tidak pernah mengingkari apa yang sudah ia janjikan.

“Benarkah?”

“T-tentu saja, untuk apa aku berbohong!”

“Begitu. Aku kecewa padamu, Nathan.”


“Kau—memuakkan.”

“Berisik! Mau apa lagi sekarang?! Belum puas memakiku, eh?”

“Semuanya—Gisselle menghilang—semua ini karena kau... Kenapa bukan kau saja yang pergi dari sini?!”

“Apa hubunganku dengan ini semua—dia sudah cukup besar untuk memilih jalannya sendiri—bagaimana mungkin itu salahku?!”

“Pasti kau yang menanamkan ide-ide gila itu dalam otaknya—anak kotor, seharusnya aku tahu di dalam pikiranmu pasti kau merencanakan rencana gila!”

“Kau tidak tahu apa-apa tentangku. Berhenti berkata seolah kau mengenalku!”



Nate menatap gadis di depannya—menunggu jawaban dari pertanyaannya yang tidak pernah terjawab. Kenapa ini berakhir seperti ini—apa yang ia sudah melakukan sesuatu yang salah…? Matanya terlihat hampa—tapi seringai angkuh di bibirnya tetap bertahan. Ia tidak mengerti—tolong.seseorang.jelaskan. Setan mana yang berani mengusik Nate? Kepalanya terasa penuh. Ayah. Ibu. Miranda. Gisselle. Cassandra. Sylar. Szent. Michelle. Apa semua ini belum cukup? Tidak mau, tidak bisa. Don’t leave… Apa salahnya—kenapa semua orang, semua—apa ia begitu memuakkan hingga pantas ditinggalkan. "Sorry for always getting in your way—won't happen again, for sure." Nate mengangkat alisnya dengan ekspresi tenang. Kosong. Ia tidak pernah mengerti apa yang terjadi padanya—semua bertubi-tubi datang dan pergi. Semua orang pada ahirnya meninggalkannya begitu saja—karena ia tidak cukup berarti. Pada akhirnya ia hanya mengibas-ngibaskan tangannya dengan ekspresi yang bisa dikatakan bosan dan berkata acuh tak acuh, “fine, fine. Whatever.”

Ia membungkuk dan mengambil headphone putihnya yang tadi terjatuh. Menggantungkannya di sekeliling lehernya sebelum pemiliknya merapikan t-shirt garis-garisnya yang sedikit berantakan tadi. Matanya melirik ke arah benda mengkilap yang tergeletak di lantai begitu saja. Perlahan ia memungut benda itu—wajahnya tetap tidak menampakan emosi. Hanya senyum angkuh tidak wajar seolah tubuhnya hanya bertindak sesuai memori saja—tanpa perasaan.

“Whatever. You’re still mine anyway. That, you promise me.”



I want to wipe away the moment,
But I want to cling to it all the same.
I don't understand myself.


Anak laki-laki berumur dua belas tahun itu membawa sebuah tas hitam yang dipegangnya melewati bahunya. Sebuah t-shirt bergaris-garis putih hitam yang tidak terlalu ketat ataupun longgar membalut bagian atas tubuhnya, berhenti tepat di atas ikat pinggang bewarna hitam yang menahan celana jeans gradasi abu-abunya. Sebuah wristband bewarna hitam membelit pergelangan tangan kanannya yang menggenggam tas Mon Blanc hadiah dari ayahnya sebelum pergi berlibur di musim panas. Di kepalanya, sebuah headphone bewarna putih berdiam mencolok di antara rambut cokalat gelapnya—tanpa mengalunkan musik. Hanya bertengger di sana tanpa suara—seolah memberikan ketenangan yang dibutuhkan pemiliknya untuk berpikir.

Drap. Drap.

Langkahnya berderap sepanjang koridor yang sunyi—hanya terdengar suara celoteh riang dari pintu-pintu kompartemen yang penuh. Dahi anak itu sedikit berkerut—tahun kemarin ia adalah salah satu yang mengeluarkan tawa riang itu. Kenapa sekarang rasanya untuk tersenyum pun sudah sulit—eh? Sesak. Dan semua ini karena orang-orang brengsek yang merusak semua kesenangannya—menjatuhannya ke jurang terdalam. Bibirnya mengatup hingga membentuk garis tipis, matanya menatap tajam ke pemandangan di luar jendela—seakan-akan penyebab semua hal yang terjadi padanya akhir-akhir ini ada di luar kereta. Menertawakannya dengan raut muka puas. Entah kenapa—di dalam pikirannya terlihat sosok Miranda yang tersenyum puas dan Mic—Solathel yang juga sedang tertawa mencemooh. Yang benar saja. Nate mendengus kesal, kalau ada yang harus tertawa—ialah yang akan melakukannya.

I dreamed a world in my childhood.
I was born to make it come true.
I'm a baby, and I want to cry.


Ia membuka pintu kompartemen yang tampak masih sepi dan menemukan beberapa orang yang sudah ada lebih dahulu. Sienna dan Szent. Bocah itu memajukan bbirnya dan membuang muka begitu melihat Szent—duduk di samping gadis yang mengenakan kemeja dan rok putih pura-pura tak melihat salah satu sahabatnya ada di sana. Kok, mereka—ia dan Sienna obviously—bisa-bisanya kembaran dengan warna hitam putih begini, ya? Meskipun celana jeans-nya bewarna abu-abu, sih. Ia mengangkat bahu dan menoleh ke arah Sienna—siap untuk menyapanya seperti biasa hingga ia melihat mata sepupunya itu. Sienna itu… sahabatnya kan? Apa dia juga akan mengambil Sienna dari Nate—meninggalkannya lagi seperti yang ia lakukan barusan?

Tangannya merayap ke liontin berbentuk anak kunci yang masih bergantung dengan bangga di sekeliling lehernya. Tenggorokannya tercekat—ia memaki dalam hati sementara pandangannya jatuh ke lantai. Apa gunanya memiliki kunci yang tidak bisa dipakai? He feels lost. Seolah ia sedang mencari sebuah pintu keluar di dalam sebuah labirin—kuncinya sudah ada di tangannya, namun ia tidak dapat menemukan pintu yang dimaksud.

Nate meletakan tas hitam di tangannya di kursi sebelahnya—perlahan mengalihkan pandangannya ke wajah sepupunya. Don’t leave me. Mungkin ia memang tidak pantas memiliki siapa-siapa, tapi setidaknya—jangan biaran ia sendiri. Anak laki-laki yang biasanya berwajah angkuh itu mengangkat tangannya dan menarik pelan kemeja bagian lengan gadis di sebelahnya. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu gadis itu tiba-tibat—wajahnya tidak terlihat di balik potongan rambutnya yang cukup panjang dan bewarna gelap itu. Bisikan pelan hampir tidar terdengar keluar dari bibir anak laki-laki yang mengesampingkan tingkahnya yang biasanya selalu mendatangkan akibat buruk itu—sebenarnya tetaplah seorang anak kecil, “Sien… it hurts…”

But if I have to take this pain
To make my dreams come true,
It's not so bad...





Nate menyandarkan diri di dinding koridor berpenerangan remang-remang itu. Pintu masuk ruang rekreasi asrama tidak begitu jauh darinya—tapi ia ingin diam dulu di situ untuk beberapa saat. Meskipun malam sudah larut—ia hanya mengenakan t-shirt bewarna hitam meskipun malam sudah larut, sweater cashmere warna perak kesayangannya tersampir di bahunya. Hadiah ulang tahun yang diberikan ibunya. Kepalanya terasa berat—mungkin akibat kurang tidur beberapa akhir ini. Fenrir—burung hantu elangnya—belum membawa kabar apa-apa dari rumah. Apa ia benar-benar sudah dibuang sekarang? Bagus. Sangat bagus. Sampai muak rasanya.

Nate mengacak-acak rambutnya dan mendesah pelan sebelum akhirnya melangkah memasuki ruang rekreasi. Tempat itu sudah sepi—seperti yang sudah sewajarnya. Anak itu menatap sekelilingnya dengan wajah cengo—seolah menunggu seseorang melompat dari balik kursi dan berkata ‘Kejutan! Semua ini hanya lelucon!’. Tidak lucu. Pikirannya seperti bercabang-cabang—ia mulai berpikir ia bisa gila kalau terus menerus seperti ini. Terserah. Tidak peduli. Kalaupun ada banshee mengerikan yang muncul tiba-tiba dari balik sofa dan mencekik lehernya sampai mati kehabisan nafas, mungkin yang Nate katakan hanyalah terima kasih. Setidak waras itulah ia saat ini. Matanya menatap sosok sesuatu berambut panjang—bukan banshee, sayangnya. Tapi lebih baik lagi—atau lebih buruk? Ia tidak yakin. Tapi toh laki-laki berambut kecoklatan itu tetap mendekat dengan cengiran angkuh yang sudah menjadi trademark-nya.

“Menungguku pulang sampai selarut ini? Ck, ck... Michelle memang calon istri yang baik,“ ujarnya dengan wajah sok prihatin seolah tidak ada yang berubah di antara mereka. Seolah. Right. Nate melangkah ke arah asrama siswa—sebelum ia berhenti dan menatap sweater perak di bahunya beberapa saat. Cashmere buatan Perancis—kata Gisselle cukup mahal, lembut dan terlihat classy. Sweater kesayangannya. Nate mengernyit sesaat sebelum akhirnya berbalik dan melemparkan benda itu ke arah gadis berambut ikal yang entah kenapa masih ada di tempat itu. Menunggunya? Tidak mungkin—ia terlalu banyak bermimpi. Anak laki-laki itu meneruskan langkahnya ke asramanya—tidak berbalik untuk melihat bagaimana reaksi gadis itu.
0 Responses