Frilla
Bocah sebelas tahun itu—bukan, hampir dua belas tepatnya, hanya tinggal beberapa bulan lagi—merapatkan jaket abu-abunya yang cukup tebal hingga membuat tubuhnya tampak lebih besar daripada yang seharusnya. Alisnya mengernyit sedikit, tampak tidak terkesan dengan keadaan di sekitar jalan yang dilaluinya—kenapa ia mau merepotkan dirinya sendiri dengan melewati tempat yang seperti ini Nate sama sekali tidak tahu. Anak laki-laki berambut kecoklatan itu mengangkat bahunya sedikit dan mulai menyusuri jalannya menuju ke kastil, sesekali menepis salju yang jatuh di atas kepalanya dengan tidak sabar. Sarung tangan hitam yang dipakainya rasanya hampir-hampir tidak bisa menahan dinginnya cuaca hari itu, atau mungkin kondisi tubuhnya memang sedang tidak cocok untuk berjalan di tengah salju begini.

Matanya yang cokelat menyusuri lautan salju yang terhampar di depannya. Ada yang membuat orang-orangan salju—entah siapa yang kurang kerjaan begitu. Seulas senyum kecil muncul di wajahnya. Pikirannya menelusuri kenangan beberapa tahun yang lalu, di hari bersalju seperti kali ini—beberapa hari menjelang Natal ketika untuk pertama kalinya, Ayahnya menghabiskan waktu satu hari penuh hanya untuk Nate seorang—dan keluarga yang lain sebenarnya, tapi sampai sekarang Nate tetap menganggap hari itu sebagai hari miliknya dan ayah, berdua saja. Beliau menemaninya bermain perang salju di halaman, meskipun awalnya pria itu sempat ingin menolak dan terlihat kaku. Ia ingat ketika itu ia yang masih berumur lima tahun sangat gembira karena ia berhasil membeli waktu ayahnya.

“Ayah, berapa uang yang ayah hasilkan dalam waktu satu jam?”

Pria itu mengangkat wajahnya dan mengerutkan dahinya, menatap putra tunggalnya dengan tatapan tidak sabar. Pertanyaan macam apa itu, apa anak itu tidak bisa melihat bahwa ia sedang sibuk? “Untuk apa kau menanyakan pertanyaan macam itu?”

“Um... hanya ingin tahu.”

Odien menarik nafas panjang. Ia tahu ia bersikap tidak adil kalau ia sampai mengusir anak itu hanya karena merasa Nate mengganggunya. “Mungkin 100 Galleon.”

“Oh—“ mungkin Odien salah dengar, tapi ia merasa mendengar nada kecewa dalam ucapan anaknya “—boleh aku minta 45 Galleon, ayah?”

Ketidak sabarannya meluap lagi. Ia menatap putranya dengan dingin dan berkata keras, “kalau kau hanya mencoba untuk mendapat uang saku tambahan, itu tidak akan berhasil, Nathan. Kembali ke kamarmu.”

“Tapi—“

“Kembali ke kamarmu!”

Pria itu menatap kepergian putranya yang tampak lesu dengan sedikit bersalah. Ia tidak bermaksud sekeras itu—tapi akhir-akhir ini pekerjaannya menumpuk dan ia merasa tidak punya waktu untuk menghadapi omong kosong anak kecil. Odien memijat-mijat pelipisnya dan mendesah pelan. Mungkin Nate memang memerlukan uang itu, mungkin anak itu ingin membeli sesuatu yang penting.

Ini bukan sifatnya, tapi pada akhirnya ia memutuskan untuk pergi mendatangi putranya. Krieet. Pintu terbuka menampilkan kamar anak-anak yang didominasi warna laut, suara tarikan nafas yang terdengar memberitahunya bahwa anak itu belum tidur. “Nate, maaf soal yang tadi. Ini 45 Galleon yang kau minta.”

Sosok di tempat tidur berbalik—senyum yang muncul di wajah bocah lima tahun itu membuatnya hampir ikut tersenyum, meskipun rasa itu hilang seketika melihat Nate menarik kantung dari bawah bantalnya yang ketika dibuka berisi kepingan galleon. Kemarahannya muncul ke permukaan lagi, “kalau kau sudah memiliki uang, kenapa kau minta lagi?!”

“Tadi uangku belum cukup, tapi sekarang sudah,” jelas anak laki-laki itu dengan cengirannya yang khas dan mata penuh kegembiraan.

“Ada 100 Galleon, boleh aku meminta ayah untuk pulang satu jam lebih awal besok? Aku ingin merayakan natal dengan ayah.”


Sudah jadi rahasia umum bahwa Nate menghormati dan menyayangi ayahnya lebih dari siapapun. Tapi kejadian itu—titik balik dari keakraban mereka—adalah rahasia kecil mereka berdua. Senyumnya tetap bertahan kalau tidak semakin lebar mengingat tahun-tahun ke belakang, beberapa hari sebelum Natal waktu ia menghabiskan waktu bersama keluarganya. Mereka berenam adalah keluarga yang sempurna, Nate tidak bisa membayangkan keluarga yang lebih akrab dibandingkan mereka. Paling tidak, waktu itu. Sampai semuanya mulai berubah, sampai ia akhirnya mengerti apa maksud dari semua perkataan—sikap, semua kebenaran dan fakta yang selama delapan tahun terkunci rapat-rapat.

Kenapa—kenapa ia harus memiliki darah terkutuk ini?

Senyum miris muncul di wajahnya. Sesaat ia menatap langit yang kelabu, seolah ingin tenggelam di dalamnya—melupakan kenangan yang paling ingin ia hapus dari memorinya.

Di akhir usianya yang kesembilan, Nate baru mengerti betapa besar kekuasaan yang di bawanya dalam namanya. Betapa besar pengaruh yang ia timbulkan dengan hanya satu kalimatnya. Kejadiannya waktu ia dimasukan ke dalam sekolah muggle, setelah tragedi yang menimpa keluarga Lazarus—dan juga setelah Nate mengetahui tentang darah terkutuk yang mengalir dalam dirinya. Satu hal yang tidak berubah adalah hubungan Nate dan ayahnya—dan ia bersyukur untuk hal itu. Suatu ketika Nate mengeluh pada ayahnya bagaimana seorang gurunya bersikap tidak adil dengan menghukumnya—apa alasannya ia sudah lupa—dan bagaimana anak itu tidak menyukainya.

"I hate her, father."

Besoknya ia tidak pernah melihat atau mendengar tentang guru itu lagi. Tampaknya Odien menganggap bahwa tindakan kecil melawan anaknya adalah penghinaan terhadap nama keluarganya, sehingga ia sendiri yang memastikan—dengan uang dan kekuasaan yang ia miliki—bahwa guru itu tidak akan pernah mengajar lagi—sesuatu yang sangat ekstrim untuk sesuatu yang sangat sepele, namun Odien memang tidak dikenal karena kebaikan hatinya. Sisi itu, hanya ia tunjukan pada keluarga dan sahabat keluarga. Di lain waktu, ketika Nate dan duo S—yang juga masuk ke sekolah yang sama—memukul beberapa siswa yang mengejek mereka—mereka mengatai Szent dan Sylar anak yatim dan berkata Nate, Sylar, dan Szent tidak bisa apa-apa kalau ayah mereka tidak ada—gurunya sama sekali tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya tersenyum dengan wajah sedikit ketakutan dan meminta mereka tidak melakukan hal seperti itu lagi. Pengaruh ayahnya sebagai donatur terbesar—bersama dengan Lazarus dan Istvan—membuat Nate merasa superior, ia tahu ia bisa melakukan apa pun yang ia inginkan tanpa ada seorang pun yang merintangi jalannya.

Ia adalah orang yang ditakdirkan untuk menjadi pusat dari seluruh dunia—atau begitulah yang ia coba tanamkan dalam dirinya sendiri. Satu-satunya cara agar ia bisa melupakan keberadaan darah terkutuk yang mengaliri nadinya—satu-satunya cara agar ia bisa menerima eksistensinya tanpa merasa bahwa ia adalah anak yang tidak pantas hidup. Ini rahasia terbesarnya—ini rahasia yang ia kunci rapat-rapat sehingga tidak akan ada seorang pun yang tahu, agar dunia tidak membuangnya—agar keberadaannya tetap memiliki arti meskipun semu. Darah terkutuk ini...

Nate memejamkan matanya sesaat sebelum menyusuri jembatan yang seolah mengejeknya dengan mengatakan bahwa takdirnya pun akan berjalan lurus—ia tidak bisa lari, ia hanya bisa memperlambat langkahnya untuk mencapai akhir yang sudah ditentukan. Accursed.
0 Responses