Frilla
18.20, 24 Juni 1980


Seorang anak laki-laki berambut cokelat membuka pintu oak menuju kamar ayahnya—mendapati seorang pria dengan wajah pucat tidak sehat tengah duduk di tempat tidur merah tua di depan perapian sambil memegang cangkir putih berisi teh hangat yang masih mengepul. Dari suara-suara yang terdengar sudah bisa diketahui ayahnya sedang melakukan pembicaraan melalui floo. Padahal pria berumur kepala empat bernama Odieneer itu baru beberapa hari yang lalu keluar dari St. Mungo. Dan itupun, para penyembuh mengizinkan dengan berat hati—hanya takut karir mereka terancam jika tidak memenuhi keinginan seseorang bermarga Harvarth. Lalu belum ada seminggu, sekarang ia sudah menghubungi kolega-koleganya lagi untuk apa yang sepertinya mengurus Statoil, salah satu perusahaan muggle yang bergerak di bidang perminyakan tempat dia menanam saham—salah satu cara yang paling mudah meskipun berbahaya untuk mendapatkan uang.

“…Norsk Hydro sudah memberikan kabar? Katakan pada mereka untuk membalas secepatnya—pekerjaan di Rafsnes sudah terlalu lama ditunda. Lalu mengenai hak operasi—bagus. Tahun depan sudah harus selesai. Secepatnya,” ucap pria separuh baya di depan perapian itu dengan nada final, tanda perkataannya tidak bisa dibantah dengan argumen seperti apapun. Nada yang kerap kali digunakannya kepada anak laki-laki yang baru masuk itu ketika ia mencoba mengeluarkan pendapat menentang ayahnya mengenai suatu hal. Pria itu meneguk tehnya, sesaat tampak lebih lelah daripada biasanya. Odien akhirnya mengangkat kepalanya menemui mata bewarna kecokelatan milik anak laki-lakinya.

“Nathan.”

Anak yang dipanggil Nathan itu sedikit membungkuk dan berkata dengan agak segan, mengingat pertemuannya terakhir dengan ayahnya tidak berakhir dengan baik—sangat tidak baik malah, “sore, ayah. Bagaimana keadaanmu?”

“Baik. Bagaimana keadaanmu sendiri?”

“Yah, sama saja.”

“Kemari, duduk,” ucap sosok yang lebih tua menunjuk comfort chair di sebelah tempat tidurnya. Tidak tampak sekalipun berbeda dari biasanya, padahal Nate mengira bahwa beliau akan bersikap berbeda setelah insiden Gisselle kemarin. “Bagaimana tahun ini? Nilai-nilaimu—lalu, apa ada kejadian menarik?”

Nate tidak menjawab—kejadian menarik di sekolah. Michelle, kesalahannya hinga menyebabkan kekalahan asrama mereka dalam mempertahankan piala quidditch, detensi—tidak, ia tidak mendapat detensi tahun ini, hanya pengurangan poin asrama, lalu entah berapa kali ia tidak mengikuti kelas, nilai-nilainya yang menurun drastis... Tapi pada akhirnya ia menutup matanya dengan ekspresi seperti menderita kebosanan akut dan membuka mulutnya dengan yakin, “ah, sangat membosankan, tidak ada yang menarik.”

“Begitu...?” balas pria di depannya dengan wajah tidak percaya—seolah ia bisa mendeteksi tiap kebohongan di balik kata-kata anaknya. Tapi ia sepertinya tidak ingin mengorek lebih dalam, atau mungkin menunggu Nate untuk menceritakannya lebih dulu. Saat beberapa detik terlewat dan anak laki-laki itu tetap tidak tampak akan mengatakan apapun lagi, Odien membuka mulutnya lagi untuk mengalihkan pembicaraan, “Sudah dengar mengenai Kåre Willoch? Kalau beruntung, tahun depan dia akan menjadi perdana mentri muggle. Dan itu akan sangat menguntungkan untuk kita, tentu saja—mengingat Willoch sebenarnya seorang squib yang masih memiliki hubungan darah dengan keluarga kita. Perdagangan dan segala urusan kita dengan dunia muggle akan lebih mudah. Sungguh tepat keputusannya untuk berkiprah di dunia muggle.“

“Willoch, yang ada di pesta tiga tahun yang lalu?” tanya Nate dengan ekspresi tertarik.

“Ah, kau mengingatnya? Memang dia ada di sana waktu itu. Seorang pria yang karismatik, bukan? Besar kemungkinan dia terpilih di pemilu mendatang.”

Terdengar suara ketukan di pintu sebelum papan kayu oak itu terbuka dan menampilkan sosok wanita tinggi semapai dengan rambut pirang keemasan yang mencapai punggungnya. Tubuh rampingnya di balut gaun bewarna zamrud yang terlihat necis. Wajahnya memakai riasan warna natural, mempertegas kecantikan yang dimiliki wanita berdarah Itali itu. Di belakangnya peri rumah yang membawa baki dengan piring berisi scone di atasnya tampak terhuyung-huyung, sedikit kesulitan membawa benda yang lebih besar daripada tubuhnya. Meski begitu wanita itu hanya mengisyaratkan si peri rumah untuk meletakan nampan yang dibawanya di atas nakas sementara ia sendiri berjalan menghampiri suaminya, “dear, bukankah seharusnya kau beristirahat—kau kan belum sembuh benar, jangan memikirkan soal pekerjaan dulu.”

“Tidak apa-apa, Arianna.”

“Tapi kau juga harus menjaga kesehatanmu. Kalau sampai ada sesuatu yang terjadi padamu—“

“Tidak apa-apa,” potong pria itu sambil mengangkat tangannya, “sampai Nathan bisa mengambil alih tugasku, aku belum bisa melepas tanggung jawabku.” ujar pria bersuara berat itu sambil menatap Nate dan tersenyum tipis.

Nate merasa nafasnya mendadak tertahan tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya nyengir tanpa arti—seperti orang idiot yang tidak tahu harus mengatakan apa. Ia tahu, tahu dengan sangat pasti bahwa ayahnya selalu memiliki harapan yang besar padanya. Maklum saja, ia satu-satunya anak laki-laki yang bisa meneruskan namanya kelak. Satu-satunya yang bisa membawa nama keluarga mereka. Ia tahu tanggung jawabnya, tapi ketika disodorkan kepadanya secara langsung seperti ini, mau tidak mau ia jadi salah tingkah. Apalagi—apalagi karena ia menyadari ia tidak pantas diharapkan seperti itu. Menggantikan ayahnya berarti ia harus memiliki pengetahuan yang sangat luas dan menjadi sosok yang dihormati oleh semua orang. Penghormatan—ia bahkan tidak memiliki satupun alasan untuk dihormati.Ia hanya seorang anak tidak sah. Harapan itu terlalu tinggi, Nate tidak yakin bisa mencapainya.

“Ah, aku belum menyuruh Naine untuk merapikan barang-barangku. Aku akan datang lagi nanti,” ujarnya sambil sedikit membungkuk pada ayahnya. Baru kemudian keluar dari kamar itu dengan sedikit terburu-buru meskipun ia berusaha menutup-nutupinya.

Begitu pintu oak di belakangnya tertutup, Nate menyandarkan tubuhnya ke dinding. Ia menyibakan rambutnya ke belakang dengan wajah frustasi dan menghela nafas pelan. Ini sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya—bukan. Lebih tepat belum ia sadari benar-benar sebelumnya. Beban yang ada di pundaknya, belum pernah terasa seberat ini. Bagaimana mungkin ia bisa mencapai ekspektasi yang setinggi itu—ia tidak bisa apa-apa. Dia—bahkan bukan siapa-siapa. Hanya serumpun rumput liar di tengah-tengah taman bunga. Apa yang bisa ia lakukan?

“Berat, ya, ketika semua orang mengharapkanmu dan kau tahu kau tidak akan pernah memenuhi harapan mereka.”

Sebuah suara dengan nada dimanis-maniskan mencapai indranya. Bola mata bening milik anak laki-laki itu bergulir malas ke sisinya—tidak perlu melihat ia juga sudah dapat menebak siapa pemilik suara itu. Seorang gadis berambuk pirang kecokelatan yang sedang mengenakan summer dress bewarna ungu berdiri sekitar dua meter darinya. Cantik dan terlihat memikat meskipun dengan baju dengan model sederhana—tapi Nate yakin, harganya tidak mungkin masuk ke dalam kategori ‘sederhana’. Sosok cerminan dari ibunya—hanya saja lebih jauh lebih muda dan berbeda warna rambut. Dan kesan yang ditimbulkan. Itu perbedaan yang paling mencolok. Sementara ibunya—betapapun menyebalkan dan ingin ia singkirkan—terlihat anggun, gadis di dekatnya itu lebih berkesan ingin mendominasi dan penuh kepercayaan diri yang membuat darahnya mendidih. “Berisik. Ini bukan urusanmu, Miranda.”

“Touché,” ujar gadis berumur kepala dua yang bernama Miranda itu sambil memilin rambutnya dengan ekspresi puas yang tidak ditutup-tutupi—tampak menikmati setiap detik dari penderitaan yang ditimbulkan oleh kata-katanya. Sosok pirang itu membalikan tubuhnya membelakangi adik laki-lakinya dan berkata, “well, mungkin sebaiknya kau menyerah saja, Nathan. Gagal di berapa pelajaran tahun ini, hm? Sungguh—Ayah bermimpi terlalu besar untuk menjadikanmu penerusnya.”

Anak laki-laki itu menatap sosok yang berjalan menjauh tersebut dengan wajah geram. Beraninya berkata seperti itu—memangnya dia pikir dia itu siapa? Meskipun, meskipun ia tahu benar semua perkataan itu benar. Bagaimana bisa dia mewujudkan harapan ayahnya jika ia terus seperti ini. Pikirannya sibuk sendiri meratapi nasib hingga ia melupakan kewajibannya—statusnya yang tidak dapat disangkal. Memang ia bukan anak yang diharapkan, anak seorang wanita lain, hal itu tidak akan pernah berubah. Tapi setidaknya, ia tetap memiliki darah Harvarth di dalam nadinya. Harvarth—high defender, ia juga bisa bertahan, melindungi, apapun. Nate akan membuktikannya.

Ia—Nathan Kehl Harvarth—lah yang akan berdiri di posisi puncak.
Label: , edit post
0 Responses