Malam telah tiba. Mentari tiba di peraduan—menyembunyikan cahayanya dari manusia yang tidak pernah puas mengharapkan siang agar tak pernah berakhir. Kesunyian yang menyelimuti jalan yang tadi siang dipenuhi oleh orang-orang yang berteriak seperti kesetanan ketika menjajakan barang dagangannya tampak surreal. Seperti ilusi—terlalu kontras. Seorang anak laki-laki berambut cokelat ikal menyusuri jalan setapak itu. Wajahnya masih terangkat meskipun di sudut hatinya tersimpan ketakutan. Masa-masa rawan—sekarang ini. Ia—bagaimanapun ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia sebagai yang terbaik dan pasti menang dalam segala hal—tahu bahwa ada sudut-sudut yang tidak terjangkau oleh seorang anak berumur tiga belas tahun. Seorang Harvarth sekalipun. Sudut gelap tempat kuasa jahat bersemayam, melemparkan kepingan-kepingan perpecahan. Kau-Tahu-Siapa dan pengikutnya—
—sedang Berjaya.
Tahu apa dia untuk melawan sosok sebesar itu? Tidak ada. Tidak ada sama sekali. Jadi apa yang dilakukannya di sini—di tempat yang begitu rawan ketika kemungkinan ia bisa mati sebelum ia bisa mengucapkan ‘kau-‘ mencapai lebih dari delapan puluh persen. Selesaikan perjalanan sebelum gelap. Begitu kata selebaran yang dibagikan melalui Daily Prophet, terpampang besar-besar di kaca etalase toko. Tapi ia melanggarnya. Kalau ia mati—setan. Lucifer akan menariknya ke neraka paling bawah.
Sosok yang bergerak-gerak di ujung jalan membuatnya was-was. Berhenti. Ketakutan—mencoba berbalik dan kabur. Menyelamatkan diri. Nyawanya adalah yang terpenting. Memangnya ia peduli sekalipun satu-dua keluarga mati karena ia pergi tanpa memperingatkan orang lain? Tidak. Tidak akan. Lagipula tidak akan ada yang tahu—ia hidup. Itulah yang terpenting. Nate menyipitkan pupilnya, memaksa daya akomodasi matanya untuk bekerja lebih keras. Bukan. Bukan mereka yang para pengikut Kau-Tahu-Siapa, bukan. Setidaknya ia kira bukan—mereka, murid. Prefek-prefek berkumpul… du Noir, Beau, Bloomberg. Ada Morcerf dan seorang perempuan berambut hitam. Dan dua orang lulusan terbaik tahun kemarin… Pavarell dan Zeev. Hebat juga dia masih hafal nama orang-orang ini. Well—dia Nate yang itu. Jelas saja.
Entah dia harus berterima kasih karena tidak bertemu dengan apa yang dicemaskannya atau merasa heran terlebih dahulu dengan pertemuan yang—aneh ini. Seperti sebuah reuni dari keluarga besar. Takdirkah yang membuatnya menyaksikan pertemuan ini? Bisa saja. Meskipun kepercayaan bahwa dunia berpusat padanya juga cukup menggiurkan. Dua kemungkinan. Ia lebih menyukai yang kedua.
Tap. Tap. Tap.
“Malam semuanya, reuni?” ucapan yang terlontar dari mulut anak itu bernada dipanjang-panjangkan dengan kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman percaya diri. Percaya bahwa dirinya patut berada di sana—berada di tengah-tengah prefek-prefek yang sama artinya dengan yang siswa terbaik di angkatan mereka. Memang ada yang bukan—yang perempuan dan Morcerf yang entah mendapat lencana ‘P’ itu tahun ini atau tidak. Tapi berada di sini—berarti mereka orang yang diakui oleh orang-orang itu. Mungkin ini bukan reuni atau kebetulan semata—mungkin ini perkumpulan rahasia dari orang-orang yang terbaik. Perkumpulan rahasia—ia suka bunyi kalimat itu. Well, kalau begitu ia tidak salah—Nate adalah yang terbaik juga. Sesuai dengan pasal ke empat dalam Sepuluh Pasal dalam Pedoman Hidup N.K.H.
—sedang Berjaya.
Tahu apa dia untuk melawan sosok sebesar itu? Tidak ada. Tidak ada sama sekali. Jadi apa yang dilakukannya di sini—di tempat yang begitu rawan ketika kemungkinan ia bisa mati sebelum ia bisa mengucapkan ‘kau-‘ mencapai lebih dari delapan puluh persen. Selesaikan perjalanan sebelum gelap. Begitu kata selebaran yang dibagikan melalui Daily Prophet, terpampang besar-besar di kaca etalase toko. Tapi ia melanggarnya. Kalau ia mati—setan. Lucifer akan menariknya ke neraka paling bawah.
Sosok yang bergerak-gerak di ujung jalan membuatnya was-was. Berhenti. Ketakutan—mencoba berbalik dan kabur. Menyelamatkan diri. Nyawanya adalah yang terpenting. Memangnya ia peduli sekalipun satu-dua keluarga mati karena ia pergi tanpa memperingatkan orang lain? Tidak. Tidak akan. Lagipula tidak akan ada yang tahu—ia hidup. Itulah yang terpenting. Nate menyipitkan pupilnya, memaksa daya akomodasi matanya untuk bekerja lebih keras. Bukan. Bukan mereka yang para pengikut Kau-Tahu-Siapa, bukan. Setidaknya ia kira bukan—mereka, murid. Prefek-prefek berkumpul… du Noir, Beau, Bloomberg. Ada Morcerf dan seorang perempuan berambut hitam. Dan dua orang lulusan terbaik tahun kemarin… Pavarell dan Zeev. Hebat juga dia masih hafal nama orang-orang ini. Well—dia Nate yang itu. Jelas saja.
Entah dia harus berterima kasih karena tidak bertemu dengan apa yang dicemaskannya atau merasa heran terlebih dahulu dengan pertemuan yang—aneh ini. Seperti sebuah reuni dari keluarga besar. Takdirkah yang membuatnya menyaksikan pertemuan ini? Bisa saja. Meskipun kepercayaan bahwa dunia berpusat padanya juga cukup menggiurkan. Dua kemungkinan. Ia lebih menyukai yang kedua.
Tap. Tap. Tap.
“Malam semuanya, reuni?” ucapan yang terlontar dari mulut anak itu bernada dipanjang-panjangkan dengan kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman percaya diri. Percaya bahwa dirinya patut berada di sana—berada di tengah-tengah prefek-prefek yang sama artinya dengan yang siswa terbaik di angkatan mereka. Memang ada yang bukan—yang perempuan dan Morcerf yang entah mendapat lencana ‘P’ itu tahun ini atau tidak. Tapi berada di sini—berarti mereka orang yang diakui oleh orang-orang itu. Mungkin ini bukan reuni atau kebetulan semata—mungkin ini perkumpulan rahasia dari orang-orang yang terbaik. Perkumpulan rahasia—ia suka bunyi kalimat itu. Well, kalau begitu ia tidak salah—Nate adalah yang terbaik juga. Sesuai dengan pasal ke empat dalam Sepuluh Pasal dalam Pedoman Hidup N.K.H.